Setelah Pakdhe menandatangani surat persetujuan, Ibu segera dibawa ke ruang ICU. Saat itu hari menjelang sore. Pakdhe terpaksa pamit untuk berangkat kerja karna sedang shift malam. Jadi tinggal aku yang ditemani oleh Budhe, menunggu di rumah sakit.
Kami berdua menunggu di ruang tunggu dekat ICU yang emang udah disediakan. Ada televisi yang menyala menampilkan tontonan berita. Tapi aku gak tertarik sedikit pun untuk melihatnya. Aku masih kepikiran dengan keadaan Ibu. Semalaman aku dan Budhe tidur bergantian, untuk berjaga-jaga bila kami diharuskan menebus obat di apotek.
"Dengan keluarga Bu Aminah?" tanya seorang dokter yang keluar dari ruang ICU.
Aku dan Budhe segera berdiri dan menghampiri dokter tersebut.
"Ya, kami Pak Dokter," jawab Budhe.
"Kondisi Ibu Aminah sangat kritis sekarang. Mungkin ada keluarganya yang mau mendampinginya. Tapi cuma satu orang saja yang diperbolehkan masuk," kata dokter itu kemudian.
Aku dan Budhe yang sama khawatirnya saling berpandangan. "Kamu aja yang masuk Al. Ibumu pasti lebih membutuhkanmu sekarang," putus Budhe cepat.
Aku mengangguk, mengiyakan perintah Budhe. Untuk selanjutnya aku mengikuti dokter itu masuk ke ruangan ICU. Sebelum masuk menemui Ibu, aku memakai baju, sarung tangan dan penutup kepala steril yang emang udah disediakan oleh rumah sakit.
Baru kali ini aku masuk ke ruangan ICU. Hawa dingin dari pendingin ruangan serasa menusuk kulitku. Bau obat-obatan, alat-alat medis yang banyak dengan bunyinya yang bikin aku merinding, dan beberapa pasien yang terbaring lemah di ranjang, membuatku serasa berat untuk melangkahkan kaki lebih jauh masuk ke dalam ruangan ICU. Tapi aku harus bisa melakukannya. Ibu membutuhkanku sekarang.
Dokter itu menuntunku ke arah ranjang Ibu berada. Ibu masih belum sadar juga. Beberapa alat medis diletakkan di bagian tubuh Ibu. Bahkan sekarang di mulut Ibu ada alat bantu pernapasan. Alat monitor pasien yang terpasang dekat ranjang menunjukkan detak jantung Ibu yang semakin melemah dan berhenti. Dokter segera memeriksa denyut nadi Ibu di pergelangan tangannya.
Selanjutnya dengan cekatan dokter menekan dada Ibu berulang kali. Selang kemudian detak jantung Ibu kembali normal tapi tak lama kemudian detak jantung Ibu mulai berhenti lagi. Dan untuk kesekian kalinya dokter kembali menekan dada Ibu. Aku yang gak kuat melihatnya, ijin untuk keluar sebentar menemui Budhe.
"Budhe...." Aku menghambur ke pelukan Budhe sembari berurai air mata. "Ibu, Budhe. Ibu berkali-kali detak jantungnya berhenti tapi setelah dokter menekan dada Ibu, detak jantung Ibu ada lagi. Tapi setelah itu berhenti lagi. Alya gak kuat liat Ibu, Budhe," kataku dengan sesenggukan.
"Ya Allah.... Jika memang ini sudah menjadi ketetapan Allah, ikhlaskan ibumu, Alya. Kasihan jika ibumu terlalu lama menderita," suara Budhe ikut bergetar ketika mendekapku.
Tangisku semakin keras mendengar perkataan Budhe. Secepat inikah aku akan kehilangan Ibu? Sungguh aku belum siap.
"Tuntun ibumu mengucapkan kalimat 'laailahaillallah...' Bisikkan di telinganya Alya. Katakan juga kau ikhlas melepas kepergiannya."
"Tapi Budhe...."
"Kamu pasti bisa Alya. Cepat masuklah kembali," perintah Budhe padaku.
Mau tak mau aku pun mengikuti perintah Budhe untuk masuk kembali ke ruangan ICU. Aku dekati Ibu. Ku genggam tangannya yang dingin.
"Ibu, maafin semua kesalahan Alya. Alya ikhlas jika Ibu pergi meninggalkan Alya. Laailahaillallah...," bisikku lirih di telinga Ibu.
Tak terasa air mataku jatuh mengalir deras seiring dengan suara nyaring yang panjang dari alat monitor pasien. Detak jantung Ibu udah gak ada dan dokter pun menghentikan penekanan di dada Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Siapa yang Kupilih?
Teen FictionKetika banyak cinta yang datang menyapa di saat hati ini masih merindu cintaNya, lalu cinta siapa yang kupilih?