s e v e n t e e n

416 24 4
                                    

Athena memperhatikan Alfa seksama sementara cowok itu memainkan pianonya. Musik klasik yang Alfa mainkan kini menjadi daftar musik yang paling Athena suka. Belum lagi cara bermain cowok itu yang serius dan sesekali melempar senyuman saat bertemu pandang dengan Athena.

Meskipun pertemuan mereka hanya sebatas belajar, dua bulan bersama Alfa membuat Athena tak merasa hubungannya sekacau dulu. Dan menurutnya, Alfa tak seburuk yang ia kira—meskipun sesekali cowok itu memang mengesalkan. Selain itu, ada hal yang ia ketahui tentang Alfa yang bercita-cita menjadi pianis muda berbakat. Cita-citanya juga didukung dengan kemampuannya menciptakan musik.

Tekanan jemari Alfa semakin keras seiring jemarinya berpindah-pindah tuts di nada akhir, membuat nada bersemangat. Kemudian alunan itu melembut hingga tekanan akhir jari Alfa pada tuts. Athena bertepuk tangan.

“Keren astaga! Gila, lo bisa banget ya buat lagu unik kayak gitu,” kagum Athena. Alfa hanya tertawa canggung mendengarnya sambil menggaruk tengkuknya, yang merupakan kebiasaannya saat Athena memujinya.

“Hanya bagian dari imajinasi saja,” kata Alfa.

“Omong-omong, nggak ada niatan ngirimin itu lagu ke seleksi resital? Impian lo kan?”

Alfa bergerak memutar posisi duduknya, menghadap Athena. Ia menggigit bibir bawahnya. “Belum. Lagu ini terlalu mentah. Aku harus merevisi dahulu kekurangannya.”

Athena mengangkat bahunya. “Yah, gue gak ngerti apa yang lo lakuin setelah ini. Terpenting, gue bakal dukung lo,” katanya. Senyum Alfa melebar.

“Makasih.”

[]

Athena menatap sebuah brosur yang bertuliskan pemberitahuan kompetisi panahan tingkat kota dengan penuh harap. Pendaftaran kompetisi itu gratis untuk melakukan seleksi. Athena ingin sekali mewujudkan mimpinya menjadi atlet panahan dunia. Dan kesempatan itu seperti terbuka lebar untuknya begitu ia melihat hadiah yang tertera.

Akan dipromosikan untuk mengikuti seleksi kompetisi tingkat nasional.

Athena benar-benar serius akan impiannya yang satu itu. Berhari-hari ia sisihkan waktu istirahatnya untuk berlatih di Taman belakang. Dan soal ini, Athena hanya memberitahukan pada Neneknya. Ia belum memberitahukan pada Alfa.

Rahayu muncul dari kamarnya, dia tersenyum memandangi Athena di ruang tamu yang tatapannya masih tertuju pada brosur di tangannya. Rahayu sangat mengerti keantusiasan cucunya itu. Athena ingin meneruskan cita-cita almarhum Pamannya yang menjuarai kejuaraan sebagai atlet. Karena almarhum yang sedari kecil mengajarkan Athena bagaimana untuk bisa bermain panahan.

Rahayu menghampiri Athena, mengambil duduk di sebelahnya. Tangannya mengusap kepala Athena dengan kasih sayang. Athena sendiri sudah menoleh, dan tersenyum.

“Sebentar lagi, Nek,” kata Athena. “Thena udah siap. Pokoknya, waktu kompetisi, Athena mau Nenek ikut buat nonton.”

“Oh ya? Pasti dong Nenek nonton. Nenek bangga sama kamu.”

Semenjak Pamannya meninggal, Athena bertekad melanjutkan usahanya sendiri. Seperti berlatih tiap hari. Namun sayangnya Ayah Athena menentang cita-cita itu dengan alasan sebagai atlet itu tak berarti apa-apa. Tak bisa menunjang kehidupan lebih layak. Dan semenjak beliau memutuskan tinggal bersama istri barunya, Athena seakan tak peduli lagi akan larangan beliau.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang