f i v e

762 38 2
                                    

Alfa mengoceh panjang lebar sejak dua puluh detik yang lalu. Tak ada respon yang keluar dari mulut Athena. Sejak dua puluh menit itu, dia terus memandangi Alfa dengan pikiran campur aduk. Aneh, bingung, terkesima.

Eh buset, ini cowok emang beneran polos apa dungu, sih? Niat bener ke rumah gue, pikir Athena. Padahal, Athena hanya bercanda saat mengatakan itu. Ia hanya ingin cepat lepas dari Alfa.

Lagipula, saat kelas sepuluh, hampir satu kelas sudah pada tahu kalau Bianca adalah teman Alfa saking dekatnya mereka. Seperti hubungan adik-kakak—malahan dia pikir mereka ada hubungan darah karena satu ibu. Makanya alasan mereka sebenarnya berteman adalah karena ayah-ayah mereka nggak sudi anak-anak mereka memiliki hubungan darah dari ibu yang sama.

Athena bergidik dengan hasil pemikirannya. Segera ia mengenyahkan pikiran itu. Benar-benar analisa yang payah!

“Oh,” jawab Athena sekenanya. Dia baru sadar kalau tas pinggangnya masih melekat di tubuhnya. Kontan Athena melepasnya. Dan menaruh di meja. “Yaudah gih, pulang sana!”

Tapi Alfa mengabaikannya. Ia malah menyandarkan tubuhnya di punggung sofa dengan nyaman. Tangannya bersedekap dada. Matanya menatap Athena. “Setelah ini, apa yang akan kaulakukan? Belajar? Sholat? Main?”

“Ngusir lo,” jawab Athena cepat. “Urusan lo kan udah selesai.”

Alfa melayangkan tatapan dramatisnya. “Wah, kau tega sekali. Tidakkah kau kasihan pada pacarmu ini yang susah payah mencari rumahmu? Kau tahu, aku hampir teresat tadi.”

Athena mendelik. “Ah, pasti menyenangkan!” katanya penuh penekanan. “Gausah alesan lo. Cepet balik! Orang udah numpang molor juga, masih aja kurang!” Dia menarik-narik tangan Alfa. Menariknya keluar. Namun, baru sampai di ambang pintu dan hampir saja Athena akan menendang Alfa dari dalam, suara Nenek terdengar.

“Athena, Alfa, masakan Nenek udah siap! Ayo makan bareng!” kata Nenek yang suaranya berasal dari dapur. “Thena juga, jangan kasar-kasar sama Alfa!”

Di sebelahnya, Alfa tersenyum kemenangan. Athena makin geram karenanya. Mau tak mau dia menuruti kemauan Nenek. Ah, Nenek!! Awas saja, khusus buat Alfa, bakal Athena jatah nasinya sesendok! Mau lebih? Minta aja sana sama Ibunya. Udah numpang molor masih aja minta makan.

“Kurasa, urusanku belum selesai,” Alfa masih saja tersenyum. Dia merangkul pundak Athena. “Oke Athena, sekarang, mari kita makan! Omong-omong, Nenek ipar memang peka sekali. Aku suka itu.”

Hari itu, Athena makin merutuki nasib sialnya yang kian bertambah. Beruntung keesokan paginya amarah beserta kekesalan Athena mereda setelah bangun tidur. Di depannya, berdirilah Novan dengan balutan sweaternya. Ia tersenyum manis. Terlihat sangat rapi bagai murid teladan. Bersiap menjemput Athena.

Sedangkan Athena sendiri? Dia bahkan belum sarapan dan rambut kusut belum tersisir saat membukakan pintu. Tak perlu menatap cengo dengan dahi mengkerut begitu yang dilihatnya Novan. Seperti ciri khasnya, cowok itu selalu tepat waktu. Bukan lagi tepat, malah terlalu awal!

Waktu kurang setengah jam begitu mereka berangkat. Athena mengajak Novan ikut sarapan bersamanya. Tipikal Athena, selalu melakukan aktivitas dengan metode all in one. Di meja makan, setelah menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya, tangannya beranjak menyisir rambutnya. Kemudian menyendokkan sesuap lagi begitu makanan yang dikunyahnya tertelan. Selagi mengunyah, tangannya bergerak menguncir rambutnya.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang