t w e n t y s e v e n

336 20 14
                                    

Semenjak kejadian salah paham kemarin, esoknya Alfa tidak menampakkan diri lagi di depan Athena. Bahkan tidak memberi kabar apa pun. Entah kenapa tidak terlihat seperti biasanya. Athena sudah mencarinya di kelas cowok itu, dan perpustakaan. Nihil. Alfa seolah sengaja menghindar atau apa Athena tak tahu. Meskipun begitu Athena mencoba mengerti Alfa, mungkin dia ada masalah.

Masalah.

Athena mulai mempertanyakan kejelasan statusnya saat baru berkata mungkin ada masalah. Halo, Athena merupakan pacarnya! Seharusnya dia tahu masalah Alfa. Seharusnya cowok itu terbuka padanya, seperti yang sering cowok itu katakan pada Athena untuk saling terbuka. Dan sekarang ini dia hanya menghindar. Kemudian kembali saat dia sudah merasa baik-baik saja.

Alfa kira Athena itu apa? Hanya tempat utama yang ia datangi saat semua normal. Menganggap masalahnya merupakan privasinya sendiri. Seakan-akan dia tak mempercayai Athena sebagai pacarnya. Lain soal jika Alfa tak ingin membebani Athena. Namun, untuk apa Athena memiliki status khusus dengan cowok itu?

Bukankah selain berlandaskan kepercayaan, suatu hubungan lebih erat jika keduanya saling membutuhkan? Athena butuh Alfa. Alfa butuh Athena. Itu seharusnya.

Dari lubuknya yang terdalam dia tercenung. Memang begini ya, rasanya tidak dianggap? Dia merasa mendapat karma. Untuk apa dia menyalahkan Alfa sementara dia sendiri pernah memperlakukan cowok itu dengan hal yang sama?

Jujur saja, dia lebih suka Alfa marah dengan menggebu-gebu ketimbang diam seperti ini. Itu jauh membuat Athena bingung, khawatir, sekaligus takut. Kembali ke sifat Alfa yang kurang ekspresi atau apa yang memang seperti itu. Sejenak Athena merasa hanya dirinya lah yang rumit dengan masalahnya. Dia salah. Nyatanya Alfa jauh lebih rumit.

[]

Alfa berhenti bermain piano. Matanya melirik jam dinding kemudian menghela napas kasar sambil mengusap mukanya frustrasi. Sekitar tiga jam dia berdiam diri di ruang musik di rumahnya untuk berlatih. Dan selama tiga jam itu lah dia merasa usahanya sia-sia. Semua nada yang dimainkan terdengar fals, tak jarang dia juga salah kunci.

Semua itu karena pikiran Alfa yang tidak fokus. Bayang-bayang masa lalunya seperti teringat kembali. Tatapan penuh kekecewaan. Terdengar suara tangisan, dan suara-suara yang tidak seharusnya mereka ucapkan karena ketidakadilan atas perbuatannya. Juga, momen di mana Alfa kehilangan semuanya. Semua orang terpenting baginya.

Semuanya berawal dari keegoisan Alfa sendiri.

Dulu, dia senang atas persahabatannya bersama Bianca dan Arden. Kemudian memiliki orangtua yang sayang padanya, kembaran yang mengasyikkan. Hal itu membuat Alfa merasa bersyukur memiliki mereka. Namun, belakangan ini tak lagi sama. Bianca tak bersamanya, dia memilih bermain dengan Arden. Rean juga sama halnya seperti Bianca. Lalu orang tuanya, yang awal-awal sering memuji Arden dengan kecerdasan, kesopanan cowok itu, kini selalu membanding-bandingkan Alfa dengan Arden.

Bahkan di saat nilai Alfa menurun, orang tua Alfa memarahinya sembari menyuruh untuk belajar bersama Arden, dengan embel-embel Arden si Cerdas karena berhasil memenangkan olimpiade Matematika. Hal itu tidak menyurutkan keinginan Alfa untuk menyainginya. Maka dari itu dia belajar mati-matian—tentu bukan dengan Arden—agar menguasai Matematika. Dia bertekad untuk membuat orang tuanya bangga padanya.

Namun itu adalah harapan belaka, nyatanya, saat nilai Alfa meningkat drastis pun, orangtuanya masih menganggap Alfa sebelah mata. Alfa berpikir, apa yang dilihat dari mereka? Apa sebuah prestasi baru diakui setelah memenangkan olimpiade?

Kalau begitu Alfa bisa apa? Mulai sekarang dia membenci Arden apa pun alasannya. Hingga terbesit keinginan buruk untuk menyingkirkan Arden. Yaitu bersikap ketus padanya, menjauhinya. Bahkan pernah sekali Alfa mendorongnya ke kolam renang begitu tahu Arden tidak bisa berenang. Kemudian meninggalkannya.

Sampai suatu ketika, Alfa berencana menjebak Arden dengan mendorongnya dari atas pohon. Pertama dia berakting ketakutan di atas pohon, begitu Arden melihatnya, dia langsung memanjat guna menolong Alfa. Dan saat itulah kesempatan Alfa mendorongnya hingga jatuh.

Ya, Alfa memang sejahat itu. Dan dia memang tak pantas untuk didekati.

Arden lalu dibawa ke Rumah Sakit dan diagnosa penyakit memar tulang rusuk yang mengharuskannya melakukan fisioterapi saat penyakitnya kembali kambuh, kemudian mengonsumsi obat agar mengurangi efeknya.

Terdengar isak tangis orang tua Arden. Tapi yang mereka lakukan hanya tersenyum pada Alfa, mengatakan kalau ini bukan salahnya. Alfa masih terlalu kecil dan belum mengerti apa-apa. Perlakuan mereka tetap baik padanya. Begitu pun Arden.

Berbeda dengan orangtuanya yang menatapnya dengan sorot kecewa, yang langsung saja membuat Alfa menyadari kesalahannya. Mereka kini mendiamkan Alfa tanpa memberikan hukuman apa pun. Hingga membuat Alfa makin merasa bersalah. Dia tak pantas dianggap begitu. Dia pantas diberi pelajaran. Maka dari itu dia diam saja saat Bianca dan Rean menghinanya habis-habisan.

Itu lebih baik. Alfa akan mengabulkan apa saja keinginan Arden demi menebus kesalahannya. Termasuk kehilangan seseorang yang terpenting baginya seperti orang tuanya, Rean, Bianca.

Tak lama terdengar kabar kepindahan Arden dari seberang rumahnya. Menyadari hubungan orang tuanya, Rean, dan Bianca dengan Alfa yang terkikis, perlahan mereka mendekati Alfa lagi. Memaafkan kesalahan cowok itu.

Tanpa sadar tangan Alfa mulai basah. Dahinya berkeringat. Sungguh, mengingat peristiwa masa lalunya memang membuat Alfa kacau. Tahu-tahu ponselnya bergetar, dia mengambil benda itu. Matanya terpaku saat melihat nama pemanggilnya. Ragu, Alfa menjawabnya.

Langsung suara keras Athena terdengar dari telepon. “HEH, KE MANA AJA SIH LO? GAK TAU, YA GUE KHAWATIR?” Alfa kaget, dan menjauhkan ponselnya dari telinga. “Berapa hari lo ngilang nggak ngasih kabar ha? Gak mikir ya kalo gue udah nyari lo ke mana-mana? Heh, dengerin gue gak?!”

“Iya, dengar. Aku minta maaf,” kata Alfa.

Maaf-maaf! Gak mau tau, awas aja kalo lo ngehindar gak kasih kabar lagi! Gue tonjok lo kayak kemarengak peduli seberapa bonyok muka lo sampai rata karena gue. Dah!

Athena menutup sambungan.

Alfa memandangi layar ponselnya. Athena itu aneh, tiba-tiba telepon tanpa menanyai kabar Alfa dahulu dan langsung menyemprotnya. Tapi dia lucu, setidaknya, karena Athena Alfa menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan selain keluarganya.

Seulas senyum tersungging dari bibirnya. Apa pun akan dia ikhlaskan untuk Arden. Namun tolong, jangan Athena. Hanya Athena yang ia miliki.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang