t h i r t y t w o

348 24 0
                                    

Bianca menatap Athena lekat-lekat. “Ada lagi, gue tahu lo benci sama Ayah,” katanya, seketika Athena langsung sensitif. “Tolong maafin, ya? Lo tahu, Ayah sering cerita ke gue tentang lo. Tentang bangganya dia sama lo. Fradella, yang gue tahu ternyata itu lo. Waktu itu gue speechless. Tapi jujur gue seneng. Lo tahu, dari dulu gue pengen banget ketemu lo, adik gue.”

Melihat ekspresi tidak enak yang ditampakkan Athena, Bianca mengangkat tangannya. Segera beranjak. “Meskipun Ayah Andra bukan ayah kandung gue, tetap aja gue sayang, dan terutama kasihan lihat beliau belakangan ini tampak murung. Lo tahu, Ayah nggak seburuk itu kok. Ayah juga benar-benar nyesel. Tolong pertimbangin lagi, ya? Kita bisa jadi satu keluarga. Lo. Dan gue.”

[]

Alfa tidak bisa seperti ini terus-menerus.

Alfa mengacak-acak rambutnya, kemudian memijat pelipisnya. Seharusnya dia serius latihan. Bukan malah kacau tidak jelas seperti ini dengan pikiran bercabang entah ke mana. Kemarin, pihak seleksi menghubunginya, mengatakan kalau lagu yang dikirimnya menang. Bulan depan, Alfa akan tampil pertama kalinya di resital pianonya yang dia idamkan.

Lagi-lagi, ketakutan dari masa lalunya menyerang. Untuk apa dan teruntuk siapa dia melakukan ini? Apa orangtuanya bangga padanya? Terutama Athena, dia tentu bangga. Namun, dia belum tahu. Alfa tak berminat memberitahunya karena dia bukan siapa-siapa lagi.

Rasanya pedih mengakui kebenaran yang hanya berdasarkan kepercayaan semata.

“Sudah lama nggak dengar kamu main, Fa,” kata seseorang yang mampu mengagetkan Alfa. Arden, dengan balutan kemeja birunya, tersenyum. Hanya Arden yang memanggilnya dengan nama belakang Alfa tersebut. “Terakhir kalinya dengar, kamu malah lari dari panggung. Kenapa?”

Alfa masih berusaha mencerna kehadiran Arden yang tiba-tiba seperti ini. Matanya melihat Arden berjalan santai, mengambil duduk di sebelahnya. Alfa bisa menebak kalau sekarang ini wajahnya nggak karuan. Segala jenis emosi bercampur jadi satu.

Tak ada tanda-tanda Alfa akan menjawab, Arden tersenyum maklum. “Ya, seharusnya aku nggak tanya itu. Alasanmu pasti karena aku kan? Kalau begitu aku minta maaf, atas semuanya. Gara-gara aku kamu jadi merasa terbebani kayak gini. Gak fokus. Berprasangka buruk terus.”

“Aku minta maaf,” Alfa tiba-tiba berkata dengan raut datarnya, Arden sedikit tersentak. “Kalau saja aku tidak iri, mungkin aku takkan menyebabkanmu celaka seperti dulu.”

Arden tidak marah atau pun tertawa puas sambil mengejeknya. Dia malah merangkul pundak Alfa, yang nyaris membuat Alfa terjengkang saking kagetnya—kaget, merasakan sentuhan dari masa lalu. “Aku tak menganggap itu hal besar. Hanya sebuah angin lalu. Dengar aku sama sekali nggak pernah nyalahin kamu. Tolong lupain, ya? Kamu harus maju, jangan lihat ke belakang lagi. Kamu masih punya orang-orang yang kamu sayang. Mereka ada buat kamu, jangan merasa mereka sudah jauh. Termasuk aku.”

Alfa mencerna perkataan itu. Meskipun pikirannya menolak menyetujuinya, hatinya mengatakan sebaliknya. “Soal Athena, kau—”

“Nggak,” potong Arden cepat. “Ini bukan seperti yang kamu pikirin kok. Selama ini aku hanya ingin berterima kasih dengan Athena. Aku sangat ingat dia pernah menolongku dulu pas kamu nyeburin aku ke kolam. Jadi, jangan bertindak bodoh dengan mutusin dia kayak gitu.”

Alfa menegakkan punggungnya. Benar-benar menolehkan kepalanya. “D-dari mana kautahu?”

Arden melepas rangkulannya. “Aku lihat semuanya. Lihat kamu bersikap nggak wajar sama Athena. Kamu tahu, Athena benar. Kenapa kamu nggak dengerin apa yang dia bilang sementara kamu sendiri tahu kalau dia benar?”

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang