t h i r t y e i g h t

311 17 0
                                    

Masih di rumah Andra, rencananya, sore itu Athena habiskan waktunya untuk movie marathon sesuai ajakan Bianca dan Disa. Dan di tangan Athena, tersiap popcorn yang baru matang untuk menemani mereka selama nonton. Dia hendak ke ruang tamu dimana Bianca, Disa menunggunya. Namun langkahnya berhenti di depan kamar Andra yang pintunya terbuka sedikit.

Terlihat Andra dengan mimik serius duduk di samping ranjang yang Athena duga sedang berbicara dengan Hilla. Athena tidak dengar apa-apa. Tak ingin menguping, Athena memutuskan untuk lanjut jalan. Baru beberapa langkah, pintu kamar Andra terbuka yang membuat Athena membalikkan badannya lagi.

“Athena,” panggil Andra. “boleh ngomong sebentar?”

Athena yang awalnya mengerutkan kening kini menganggukkan kepalanya. Dia mengikuti langkah Andra yang membawanya sampai di halaman belakang rumah. Kemudian Andra berbalik. Selama beberapa saat Andra bergeming, seperti berpikir keras untuk mengolah kata-kata yang pas dibicarakan. Sementara Athena masih menatapnya bingung.

Akhirnya Andra berdeham pelan. Dia menatap Athena. “Ayah ada proyek baru di Jerman. Yang mana Ayah harus mengurus banyak hal di sana dalam kurun waktu lama. Ayah hendak mengajak sekeluarga pindah. Bianca sama Disa bisa lanjutkan pendidikannya di sana,” jedanya. Athena menatap datar, menunggu perkataan selanjutnya. “termasuk kamu. Kamu mau ikut Ayah kan?”

Sesaat Athena tercenung. Terlihat raut wajahnya yang ingin menolak, dia tidak ingin meninggalkan semua yang ia punya di sini. “Kenapa harus pindah, Yah? Aku juga baru kelas dua belas. Nanggung amat lanjutin di Jerman.”

“Ayah tahu. Tapi Ayah nggak bisa ninggalin sekeluarga di sini. Ikut, ya, Then? Ayah nggak tega biarin kamu sendirian di sini. Jangan khawatir, kerjaan di Jerman nggak akan menyita seluruh waktu Ayah, kok. Ayah masih ada waktu untuk melatih kamu memanah. Dan Ayah usahakan cari peluang kamu untuk mewujudkan mimpimu itu. Tolong, ya?”

Athena gelisah. Melihat binar mata Ayahnya memohon, dengan berat hati Athena mengangguk, menyetujui permintaan itu.

[]

Lalu, di sinilah Athena berada. Setelah berbicara dengan Andra tadi ia memutuskan langsung pergi menuju ke rumah Alfa untuk menemuinya. Bagaimana pun, dia harus tahu soal kepindahannya. Athena mengetuk pintu kamar Alfa setelah dipersilakan masuk oleh Mama cowok itu.

“Siapa?” sahut Alfa dari dalam.

Athena mendadak merasa berat untuk pergi meninggalkan semuanya di sini. Termasuk Alfa. Sebentar lagi, ia takkan sering-sering mendengar suara cowok itu. Athena menghela napasnya. “Gue.”

Tak lama pintu kamar Alfa terbuka. Dia menatap Athena dengan kebingungan kentara. Namun ia tersenyum. “Hei, kau di sini? Kenapa tidak bilang padaku sebelumnya?”

Athena mendongak. Mencoba tersenyum tapi entah kenapa jatuhnya malah meringis. “Lo, sibuk?”

“Tidak.”

“Boleh gue masuk?”

Masih dengan kening yang mengerut, Alfa menyingkir, mempersilakan Athena masuk. Ia membiarkan pintunya tetap terbuka. Alfa menatap Athena yang duduk di pinggir ranjang. Dia sedikit bicara. Rautnya sangat beda, sulit dibaca. Dan tumben sekali dia tidak menguncir rambutnya.

Di sisi lain, Athena mencoba tenang dengan memindai kamar Alfa yang tampak rapi. Yang membuat Athena berdecak adalah, dia memiliki dua tiga rak buku di sisi ruangan. Memang, ya, nggak di sekolah, di kamar pun ada perpustakaannya. Hal itu membuat Athena tersenyum miris karena tak lama dia takkan melihat benda itu lagi.

Athena menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia menatap Alfa yang mengambil duduk di sebelahnya. “Minggu depan gue pindah, Alf,” kata Athena akhirnya. Alfa membesarkan matanya. Lalu menatap Athena butuh penjelasan. Athena mengangguk pelan. “Ayah dapat proyek baru di Jerman. Jangka waktunya lama—lima tahun? Enam tahun? Nggak tahu. Yang jelas kami sekeluarga bakal pindah dan gue melanjutkan sekolah di sana.”

Terjadi keheningan lama yang dipecahkan oleh suara jam berdenting. Baik Athena maupun Alfa memilih diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kemudian Alfa membuka suara.

“Apa kau senang?” tanya Alfa.

“Ayah udah berubah, mulai sekarang dia udah ngerestuin gue buat panahan lagi. Bahkan Ayah mengajukan diri jadi pelatihnya. Terus ada keluarga baru yang welcome banget sama gue. Itu yang gue seneng,” kata Athena. “Yang gak seneng adalah gue harus ninggalin semuanya di sini. Elo. Temen-temen gue. Dan semua kenangan yang gue lalui di sini.”

Alfa menaruh tangannya di pundak Athena. Dia tersenyum. “Pergi saja.” Jawaban itu membuat Athena membulatkan matanya. “Ini kesempatanmu untuk kembali pada Ayahmu dan memiliki keluarga baru. Jangan sia-siakan hal itu. Kau juga bisa mewujudkan impianmu di sana karena adanya pelatih baru. Dan, jangan khawatirkan aku. Selama itu yang terbaik. Aku ikut senang. Aku yakin teman-temanmu juga sependapat denganku.”

“Tapi gue nggak bisa nonton resital lo. Gue juga nggak bakal ketemu sama lo.”

“Siapa bilang?” Alfa mengangkat dagunya. Athena menatapnya bingung. “Aku akan mengirimkan videonya padamu. Dan aku akan menunggumu selama lima tahun mendatang, saat kau pulang.”

Senyum Athena melebar. Namun hanya sesaat karena dia lantas bertanya, “Kenapa harus lima tahun?”

“Karena kita masih muda. Dan lima tahun ke depan adalah tahap-tahap pencarian jati diri remaja. Aku ingin kita bertemu saat kita sudah mewujudkan mimpi masing-masing. Sudah dewasa. Sudah berbeda. Pasti seru membicarakan segala pengalaman lima tahun terakhir kita di sana,” ujar Alfa. “Lagi, selama seminggu ke depan, aku akan mengajakmu bersenang-senang sebagai kenangan terakhir. Bagaimana?”

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang