t w e n t y f i v e

365 22 0
                                    

Athena tersenyum puas setelah menyiksa Rean habis-habisan, hingga membuat cowok itu berkali-kali meringis seraya mengusap kepalanya yang Athena yakini pasti cenat-cenut karena dijambak rambutnya. Kemudian mengusap lengannya yang terasa nyeri akibat tonjokan melayang di sana. Sebenarnya kegiatan itu masih berlanjut kalau saja Alfa tidak menghentikannya.

Dia berkata, “Kurasa kau sudah puas bukan? Kalau begitu berhentilah, kau tidak lihat dia sudah kesakitan begitu? Jangan lupa, dia belum sembuh total.”

Pernyataan itu membuat Athena berdecak. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya, Athena senang.

“Mau ke mana?” tanya Alfa saat Athena membuka pintu. Athena menoleh.

“Keluar bentar,” jawab Athena sebelum dia meluncur keluar. Athena berjalan di sepanjang koridor. Sebenarnya dia hanya ingin berjalan-jalan di sekitar Rumah Sakit tanpa tujuan tertentu. Ya, Athena suka mengeksplor ke sekitar—termasuk tempat ini. Hal itu merupakan kebiasaannya dari kecil—kecuali rumah orang, sih. Kata Mama Athena, nggak sopan.

Tidak sengaja Athena melewati Ruang Administrasi. Di sana ia melihat siluet seseorang berperawakan tinggi dan berambut spike sedang melakukan pembayaran. Athena menyipitkan matanya saat melihat cowok tersebut, memastikan perkiraannya tidak salah. Seolah Athena sedang beruntung, tiba-tiba cowok itu berbalik. Matanya beradu pandang dengan Athena. Senyum cowok itu merekah, dia melambaikan tangannya pada Athena.

Athena membalas dengan lambaian tangan juga. Kemudian menghampiri cowok itu. “Hai, ngapain di sini?” tanya Arden.

“Ngejenguk temen,” jawab Athena separuh tak yakin mengakui Rean adalah temannya. “Udah lama nggak ngobrol, ya. Omong-omong, lo sendiri ngapain?”

Arden memasukkan beberapa kertas yang Athena duga struk pembayarannya ke saku. “Abis fisioterapi, terus sekalian beli obatnya.”

Dahi Athena mengernyit. “Lo sakit apa?”

“Patah tulang rusuk.”

Mata Athena membesar. “Astaga, kok bisa? Udah lama?”

Arden mengangguk singkat. “Yap. Bukan perkara besar, sih, cuma karena—”

“Athena.”

Athena baru saja akan menyimak penjelasan Arden dan membahas lebih lanjut tentang keingintahuannya terhadap penyakit cowok itu kalau saja Alfa tidak memanggilnya. Athena menoleh. Entah perasaannya saja yang terlalu berlebihan dia berasumsi kalau kedua cowok di sekitarnya ini saling tatap satu sama lain. Alfa melihat Arden dengan pandangan datar, seperti tak suka. Dan rautnya berubah keruh. Sebaliknya, Arden menatapnya tenang.

Arden tersenyum simpul ke arah Athena. “Pacar kamu manggil, tuh. Kalau gitu, aku duluan, ya?” pamitnya. Dia menatap Alfa, masih dengan pandangan yang sulit Athena baca. “Hai, Alfa, duluan, ya?” Alfa tak membalasnya.

Sedangkan Athena tersentak. Bagaimana dia tahu nama Alfa? Juga mengatakan hubungannya dengan cowok itu? Padahal Athena tak pernah membicarakan soal Alfa. Kalau pun pernah—seperti tempo hari—Athena menggunakan nama samaran. Sebuah bohlam menyala di otaknya. Wajar saja dia tahu, tanpa ditutup-tutupi pun kabar kedekatannya dengan Alfa sudah viral beberapa bulan lalu.

Dan itu pasti terdengar sampai di telinga teman-teman Arden hingga dia sering mendengar gosipan temannya.

“Kenapa?” tanya Athena yang sudah berdiri di sebelah Alfa sembari berjalan. Tatapan cowok itu masih datar.

“Aku mencarimu. Hanya ingin menemanimu saja,” jawab Alfa.

Senyum Athena berubah jail. Dia menyenggol siku Alfa. “Cie yang nyariin. Kengen nih ceritanya?” godanya. Biasanya, Alfa akan langsung memalingkan mukanya yang memerah atau mendengus geli. Tapi sekarang dia berhenti berjalan. Dia menatap Athena serius.

“Kaukenal Arden?”

Athena kembali terlonjak. “Loh, kok lo tau nama dia Arden?”

“Kaukenal Arden?” Alfa mengulangi pertanyaannya. Athena rasa atmosfer kini berubah. Dia mengangguk.

“Dia temen gue. Kenapa? Lo kenal?”

Sebuah perasaan buruk menyelimuti diri Alfa. “Dia ... temanku juga.” Mereka sampai di depan kamar Rean. Bisa dilihat ekspresi kekagetan tampak dari wajah Athena. Dia tahu setelah ini Athena akan bertanya macam-macam, maka dari itu dia berkata, “Kau masuk dahulu saja. Aku ingin ke toilet dulu,” katanya sembari cepat-cepat pergi.

Meninggalkan Athena dengan segala pertanyaan di otaknya. Memangnya Alfa itu kenapa sih? Kenapa sikapnya seolah berubah semenjak adanya Arden? Seperti ingin menghindar. Dan, teman? Athena bahkan tidak tahu Alfa memiliki teman lain selain teman sekelasnya dan Bianca.

Rupanya, benang kusut di otaknya belum tersambung rapi begitu dia memilih menanyai Rean soal ini. Cowok yang ternyata sudah pulih dari kesakitannya dan kini sudah menyibukkan dirinya dengan permainan Farm Frenzy 2 di ponselnya lantas menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. “Ah, Bang Arden, ya? Kenapa lo nanyain dia?”

Athena berdecak. “Ya karena gue kepo, dodol!”

“Gitu aja dikepoin. Gue aja kagak pernah lo kepoin, Then.”

“Ngapain juga gue kepo sama lo?” dengus Athena. “Cepet jawab atau gue rebut hape lo.” Ancaman itu sukses membuat Rean cemberut sambil mematikan ponselnya setengah hati. Athena tersenyum puas.

“Gini, ya, gue gak tau apa-apa soal mereka,” kata Rean. “Alfa gak pernah cerita soal itu ke gue. Tapi, kalau lo ragu yang aneh-aneh soal dia sama Bang Arden, percaya deh, semua bakal baik-baik aja. Gue yakin Alfa nantinya bakalan cerita sendiri ke lo.”

[]

Athena dekat dengan Arden.

Jari-jari Alfa memutih seiring kepalan tangannya yang gemetar. Tersirat sorot ketakutan, kebencian, kekhawatiran di matanya yang menatap menerawang. Peristiwa masa lalu itu kembali terngiang di otaknya.

Sebelumnya Alfa tak berpikir kalau Athena mengenal cowok itu. Nyatanya dia bodoh, mereka sudah saling mengenal entah sejak kapan itu. Alfa tahu Athena merupakan cewek populer di sekolah, dia banyak mengenal orang lain dibanding dirinya. Tapi, dari sekian banyaknya orang yang Athena kenal, mengapa harus orang itu?

Telat Alfa sadari kalau seseorang yang mengirimkan lagu La Da Dee ke Athena hingga cewek itu memasangnya sebagai ringtone adalah Arden. Itu lagu kesukaanya. Dan lagi, Alfa melihat kilatan aneh yang tak asing tersorot dari mata Arden. Kilatan yang selalu membuatnya khawatir seperti pertanda awal kehilangannya pada seseorang terpenting baginya.

Sebuah ketakutan terbesarnya. Yang sebenarnya bisa dicegah namun sukar dilakukan. Sekarang, keinginannya untuk memiliki Athena kian memudar.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang