t h i r t y f i v e

357 16 0
                                    

Kemudian, mata Andra terpaku pada sebuah pigura yang menampakkan sebuah foto keluarganya dulu di nakas samping televisi dan lemari. Andra menatap pahit fotonya dengan Wenda, almarhumah mantan istrinya, lalu Athena tersenyum bahagia dengan latar belakang Disneyland. Saat itu, Andra sedang cuti. Ia sepakat mengajak keluarganya bertamasya. Suasananya jauh terbalik dibanding sebulan setelahnya.

Karena banyaknya perbedaan pendapat yang memicu pertengkaran, akhirnya Andra memilih jalan untuk pisah. Tanpa peduli dampak besar yang diakibatkan pada anak dan istrinya. Ia teringat dimana dia mengusir Athena dari rumahnya. Sungguh, itu bukan berasal dari hati nuraninya. Wenda kala itu menginginkan Athena diasuh dengan neneknya sebelum dia meninggal.

Andra merasa itu tak adil. Namun, melihat kondisinya yang jarang pulang ke rumah karena sibuk akan pekerjaan, Andra takut tak bisa mengurus Athena dan takut anaknya itu tak nyaman dengan keluarga barunya. Maka dari itu Andra mengiyakan permintaan Wenda.

Tatapan mata Andra beralih pada piala besar yang terletak di sebelah pigura. Dari posisinya pun dia bisa membaca tulisan yang tertera di sana. Tatapan dan senyumnya pun berubah pedih. Setelah hubungannya merenggang dengan Wenda pun Andra masih melarang keras Athena untuk bermimpi menjadi atlet panahan dengan asumsi menjadi atlet takkan merubah apa pun. Tidak berguna. Bahkan Andra sering membanting vas bunga marah karena Athena membangkangnya.

Kali ini, Athena telah membuktikan segalanya. Usaha pencapaiannya tak sia-sia. Athena telah menunjukkan keberanian dan kehebatannya. Hal itu membuat mata Andra berair. Hatinya bergetar bangga. Mulai sekarang, dia percaya Athena sepenuhnya. Dan takkan mengulangi kesalahannya untuk melarangnya meraih cita-citanya. Karena apa pun yang ingin Athena capai, Andra akan mendukungnya.

Father finger, father finger, where are you? Here I am, here I am, how do you do?” Andra tiba-tiba bernyanyi dengan suara pelan. Athena tersentak, perhatiannya teralih pada Ayahnya. “I'm great!”

Athena menatap lurus-lurus dengan sorot mengenang. Dia sangat ingat lagu ini, lagu anak-anak berbahasa Inggris yang dulu seringkali Ayah nyanyikan untuknya di saat mati lampu guna menghibur Athena saat ia meminta Ayah menyanyikan sebuah lagu—yang menurut Athena sendiri waktu itu berpikir lagunya sangat norak namun ia hanya maklum karena pengetahuan Ayah soal musik memang minim.

Kebiasaan itu sudah lama. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, kala itu Athena masih berumur tujuh tahun. Tanpa beban apa pun, ia bernyanyi riang bersama Ayah. Saat ini, mata Athena menatap nanar, tak menyangka kenangan itu akan terjadi kembali.

Mother finger, mother finger, where are you? Here I am, here I am, how do you do?” Andra bernyanyi lagi. Kali ini, suara terdengar percaya diri karena kekerasan pada volumenya. Sama halnya seperti Athena, mata Andra menyiratkan kerinduan. Dia tersenyum lebar, seperti mengajak Athena bernyanyi. “I’m thirsty!”

Andra lalu mengangkat dagunya seperti menyuruh Athena melanjutkan. Perlahan namun pasti, Athena mengulum senyumnya. “Brother finger, brother finger, where are you? Here I am, here I am, how do you do? I’m hungry!” Ia ikut bernyanyi.

Diselingi kegelapan malam yang diterangi sebuah lilin, malam itu, mereka bernyanyi riang. Kembali mengulang kenangan lama seperti awal. Tanpa beban.

[]

“Kau baik-baik saja, kan? Bagaimana kabar Ayahmu?” Alfa bertanya dengan menyenggol siku tangan Athena saat pandangan cewek itu tak terarah padanya. Pagi ini mereka sedang bersepeda mengelilingi berbagai komplek perumahan dengan asumsi Alfa bisa membuat pikiran Athena segar karena belakangan ini dia tidak pernah keluar rumah dan lebih suka menyendiri di kamarnya.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang