t w e n t y t h r e e

320 25 0
                                    

Athena berlari kencang di sepanjang koridor Rumah Sakit setelah menanyakan kamar Alfa, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang merasa terganggu dengan hentak larinya yang bersuara. Ya, Athena tadi mengecek GPS Alfa yang menunjukkan tempat keberadaannya Rumah Sakit. Dan itu membuat Athena shock, berlari kalang kabut seperti ini.

Dengan napas terengah-engah, Athena menatap sebuah pintu di depannya, yang merupakan pintu kamar Alfa. Segera saja dia membukanya. Dadanya seketika sesak, seperti terhimpit oleh sesuatu. Di depannya, terbaring sosok Alfa dengan balutan alat di tubuhnya. Tubuhnya mengurus, terlihat lemah.

Matanya terpejam damai di wajahnya yang pucat. Bibirnya seolah menyunggingkan senyum tipis.

Hati Athena perih, dia merangsek maju dan memeluk Alfa. Tangisnya kembali luruh. “Alfa bangun, Alf! Lo jangan tinggalin gue!” raung Athena, mengguncangkan badan Alfa. “Gue udah maafin lo. Justru gue yang minta maaf udah nuduh lo yang gak bener. Alfa please, bangun, jangan kayak gini. Gue sayang lo, gue juga kangen banget sama lo. Lo gak boleh mati. Lo sayang gue kan? Please jangan tinggalin gue!”

“Karena kehadiran lo, gue jadi lebih baik. Alfa bangun dong! Gue minta maaf atas sikap gue kemarin, gue janji gue gak akan nyia-nyiain lo lagi. Gue janji bakal anggep lo sepenuhnya. Alfa please kasih gue kesempatan. Alfa jawab jangan diem aja!” Athena makin mengguncang tubuh Alfa. Nggak, dia belum siap kehilangan Alfa. Belum siap kehilangan orang yang Athena sayangi untuk kesekian kalinya.

Athena menyandarkan kepalanya di dada Alfa. Aliran tangisnya yang deras membasahi baju milik cowok itu. Athena tak peduli, yang dia inginkan hanya berdoa agar Alfa kembali.

Kembali bersamanya. Kalau pun tidak, Athena ingin Alfa membawa hatinya bersamanya. Di tempat terindahnya yang tenang. Untuk selamanya.

“Jangan mengguncang terlalu keras begitu, kau—kamu bisa menyakitinya.” Seseorang tiba-tiba berkomentar di belakang Athena. Refleks dia berbalik. Selama beberapa saat Athena membeku di tempatnya, mencerna lamat-lamat wajah seseorang di otaknya. Seseorang orang di depannya tersenyum tipis. “Hai, aku dengar semuanya. Terima kasih sudah memaafkanku. Meskipun aku heran kamu tiba-tiba datang dan yah, begitu.”

Athena masih tak bereaksi. Tanpa dia sadari kepalanya sudah menoleh ke belakang, tempat sosok Alfa yang terbaring, dan kemudian pada Alfa yang berada di depannya. Athena tahu Alfa memiliki bola mata biru cerah. Sedangkan yang satunya tidak. Lalu Athena kenal betul dengan senyuman Alfa. Dan seseorang di depannya yang mengenakan sweater putih itu memilikinya.

Athena menyeka air matanya. Sebuah pemikiran membuat Athena sadar kalau dia sedang dibohongi. Ditipu atas kesalahpahaman antara Alfa-Rean untuk kedua kalinya. Dan soal Resepsionis yang memberitahunya tadi, mungkin menyangka Rean adalah Alfa karena nama lengkap mereka yang ada unsur Alvareznya.

“Lo bohongin gue,” desis Athena dengan tatapan nyalang. “Gak nyangka lo masih sama berengseknya.” Belum sempat Athena bergegas keluar, Alfa menahan tangannya di depan pintu.

“Ikut aku.” Tanpa persetujuan Athena, Alfa menarik cewek itu menuju rooftop. Sesampainya di sana, Athena menyentak tangan Alfa. Meraih kerah sweaternya dan melayangkan satu tonjokkan tepat di pipinya.

“Gila lo, ya! Belum puas lo bohongin gue? Apa maksud lo ngelakuin ini? Lo tau gak sih gue kalang kabut banget denger lo mau mati, ha! Pinter banget ya lo manfaatin keadaan, pura-pura sekarat biar gue kayak gini.” Athena meluapkan segala kekesalannya. Marah. Kecewa. Rindu. Dan lega. Sudah berkali-kali dia menonjok wajah Alfa hingga sudut bibirnya berdarah. Namun Alfa bergeming. Dan terakhir, dia melayangkan pukulan paling kerasnya hingga Alfa jatuh tersungkur.

“Bangun lo!” gertak Athena. Alfa terbatuk-batuk. Dengan badan sempoyongan dia mencoba bangkit. Dan Athena kembali memukulnya. Alfa tak berniat menghentikannya, karena dia pantas mendapatkannya. Akhirnya, Athena berhenti. Cewek itu menangis, dengan kepalanya yang tertunduk. Alfa bergerak mendekat. Sebuah sentakan diterimanya saat Alfa meraih tangan Athena.

Alfa tak menyerah. Diraihnya kembali tangan Athena, kemudian membawanya ke dekapannya tanpa mempedulikan Athena yang histeris mengusirnya. Tak lama Athena kelelahan, dia diam saat Alfa makin memeluknya erat. Dia menenggelamkan wajahnya di leher Athena, menyalurkan rasa rindunya. Tercium bau shampo rambut cewek itu yang menenangkan.

“Al,” panggil Athena lirih. “kapan sih lo gak mainin gue? Gue capek,” kata Athena di sela-sela tangisnya.

Alfa menggeleng. “Aku gak pernah bohongin kamu.”

“Berhenti pake aku-kamu karna lo biasanya gak pake itu!”

“Kautahu, aku serius menyayangimu. Dan itu berawal saat kelas sepuluh dulu,” Alfa memulai ceritanya. “aku sering memperhatikanmu. Berharap setidaknya kita bisa saling mengenal jauh. Dan aku mendapatkan kesempatan itu saat kau menemuiku untuk kali pertamanya di perpustakaan waktu itu. Maafkan aku kalau aku egois dan membuatmu tertekan.”

Athena melepas pelukannya. Dia menatap Alfa, rambutnya yang biasa rapi kini berantakan, raut wajahnya pun kacau penuh lebam sana-sini, ditambah lingkaran hitam di matanya yang menandakan dia kurang tidur. “Soal surat itu? Apa maksudnya ‘lebih hidup’? Apa maksud ‘terakhir kalinya’? ‘Selamat tinggal’?”

“Itu,” Alfa meringis merasakan bibirnya yang perih, tanpa sadar Athena ikutan meringis tidak enak telah memukulnya seganas itu. “itu memang sungguhan. Bukan kah kau lebih sakit jika aku berada di dekatmu? Soal lebih hidup, itu juga benar. Memang sih, terkesan dramatis. Karena, kupikir kau akan suka.”

Athena mengernyit. “Kenapa bisa gue suka?”

Gantian Alfa mengernyitkan dahinya. “Bukan kah kau menyukainya film drama percintaan Korea? Itu sebabnya aku, yah, berusaha memaksimalkan agar terlihat mirip, dari segi kalimat, juga intonasi.”

Alasan yang satu itu memang membuat darah Athena mendidih ke ubun-ubun karena, ya, itu cuma rekayasa! Tapi kekesalannya tak berlaku karena dia bingung satu hal. “Gue gak pernah suka nonton begituan. Dari mana lo ambil kesimpulan itu?”

“Aku pernah melihatmu serius menonton suatu drama itu di tivi yang terpajang suatu toko elektronik, saat kali pertama kita jalan-jalan waktu itu.”

Athena mencoba mengingat-ingat. Tivi di toko elektronik? Sebuah bohlam menyala di otaknya, dia baru ingat. Sangat ingat hingga Athena melongo. “Elo pikir waktu itu gue nonton dramanya? Dan karena itu lo ambil kesimpulan kalau gue suka sampai sekarang lo bela-belain mirip sama pemainnya? Halo, gue waktu itu serius merhatiin informasi turnamen panahan dari running text kali!” tawa Athena pecah.

“Gausah lah lo belagak mirip. Nggak cocok! Udah bagus-bagus jadi pianis malah nyemplung dunia akting. Lo tahu, suara lo itu kayak orang kena asma tahu gak? Bikin orang lain jantungan. Terakhir, gak usah pake aku-kamu. Nggak biasa didenger.”

Melihatnya, Alfa menggaruk tengkuknya dan tersenyum malu-malu. “Begitu, ya? Maaf kalau begitu. Aku tak tahu. Yang kupikir saat itu adalah kau. Aku ingin kau kembali. Dan cara satu-satunya yang terpikir hanya itu.”

Tawa Athena meledak lagi. Gemas, dia menekan luka di sudut bibir Alfa hingga membuat cowok itu memekik dan melayangkan pelototan padanya. “Lo lucu,” katanya. Beban utamanya hilang. Sesaat dia menikmati momen ini. “Eh, iya, Matematika sama Biologi gue serba sembilan loh.”

Mata Alfa melebar. “Oh ya?” serunya senang. “Kalau begitu sudah tidak ada lagi titel ‘Athena Bego’ lagi, ya?” ejeknya. Athena hanya mendengus sebal. Alfa lalu berdeham, membuat Athena menoleh ke arahnya. “Omong-omong, soal kita ... bagaimana?”

Athena mengendik. Dia tahu betul maksud Alfa. Maka dari itu dia tersenyum miring. “Gatau. Ya lo gimana? Giliran lo yang nembak dong. Masa gue mulu, gue kan udah.”

“Baiklah, satu hal yang kautahu. Alasan nomor tujuh; aku takkan mempermainkanmu.”

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang