e p i l o g

980 41 15
                                    

“Apa kabar?” Alfa bertanya, membuka suaranya kali pertamanya setelah lima tahun terakhir. Dia mengajak Athena ke sebuah lapangan voli terdekat.

Athena menatap dalam-dalam cowok itu. Kenangan-kenangan lamanya kembali teringat di otaknya, membuat Athena bungkam. Ya, dia masih terkejut dengan fakta bahwa Alfa benar-benar berada di depannya, masih menggunakan pakaian yang ia gunakan saat resital tadi. Tahu-tahu, Alfa mendengus keras, menyentakkan Athena.

“Kau tidak benar-benar mendiamkan aku, kan?” Ia memberengut.

Setelah beberapa saat, Athena bisa mengambil napas setelah sebelumnya dia mendadak lupa caranya bernapas. Dari posisinya yang dekat, dia bisa mencium parfum Alfa. Dia mendongak. Dengan satu sentakan dia mendorong Alfa keras.

“Ke mana aja, sih, kamu? Gila, hampir enam tahun, ya! Kenapa ngaret banget datangnya? Udah nggak pernah ngasih kabar lagi! Kenapa gak angkat telpon aku? Kenapa gak bales Line aku? Sok sibuk sekarang? Aku udah gak penting lagi gitu? Sialan kamu!” cecar Athena.

“Hei-hei, bukan begitu, dengarkan aku dulu,” Alfa menangkap tangan Athena. Dia menunduk, menatap cewek di depannya lekat-lekat. “Aku melakukan itu karena aku ingin fokus dengan pencapaianku. Kau sendiri yang bilang, kan, kalau aku harus bisa membuktikan kalau aku mampu mengejar impianku sendiri? Aku takut kalau aku tak bisa melakukannya. Itulah alasan kenapa aku tak menghubungimu selama ini. Maafkan aku. Aku hanya ingin menemui langsung saat aku sudah berhasil.”

Athena terpaku. “Tapi jangan gitu juga. Kamu nggak mikir gimana perasaan aku? Aku pikir kamu lupa sama janji kamu.”

Alfa tersenyum, kemudian menarik Athena ke dalam pelukannya yang erat. Ia menggeleng pelan. “Aku nggak mungkin lupa. Kau itu alasan utama aku serius mengejar cita-citaku. Dan aku bela-belakan untuk menyusulmu ke sini dengan resital tadi,” katanya. Alfa menarik napasnya dalam-dalam, menghirup aroma sampo Athena. “Aku merindukanmu.”

Athena mengeratkan pelukannya. “Aku juga. Dan terima kasih udah menepati janji kamu, juga buat resitalnya yang spektakuler itu. Kamu hebat banget, aku bangga sama kamu. Meskipun begitu, aku tetep masih kesel, ngambek, marah sama kamu. Tahu nggak, aku hampir aja mau ngelupain kamu.”

Alfa mengeleng dramatis. “Teganya,” desahnya. “Oh, ayolah, kau tidak benar-benar ingin melupakan aku, kan? Jangan berlaku seperti ini.”

“Bodo.”

“Ya sudah,” kata Alfa pada akhirnya. “Omong-omong, kau keren kemarin saat pertandingan.”

Athena langsung melepas pelukannya, dia membulatkan matanya. “Kamu nonton?” pekiknya.

Alfa tersenyum tipis, sambil mengangguk kalem. Dia menarik kembali Athena ke dalam pelukannya.

“Kok aku nggak lihat kamu? Kamu ada di mananya? Kenapa nggak bilang-bilang, sih?” tanya Athena bertubi-tubi.

“Bianca yang nyuruh,” seloroh Alfa. “tapi, harus kuakui, rencananya sungguh hebat. Tidak salah aku meminta pendapatnya.” Kali ini mata Athena terbelalak sempurna, nyaris saja jatuh. Dia hendak melepas pelukannya saat Alfa makin mengeratkan pelukannya sambil mendecak. “Bisakah kau diam sebentar? Aku masih kangen tahu.”

“Jadi Bianca?” tanya Athena, mengabaikan ocehan Alfa. “Sejak kapan kamu komunikasi sama dia?”

“Seminggu lalu,” ceplos Alfa yang kemudian merasakan amarah Athena mulai tersulut, dia lalu menambahkan. “Hei, jangan marah dulu. Waktu itu aku meminta pendapatnya karena aku bingung harus mempersiapkan kejutan apa saat menemuimu.”

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang