t h i r t y s i x

351 18 0
                                    

Selama beberapa saat, Athena memandangi langit malam dengan awan hitam menggumpal menutupi bintang-bintang dengan gelisah.

Hujan akan turun. Dan Ayahnya belum saja kembali.

Athena menyingkirkan pemikiran-pemikiran buruknya yang mengatakan Ayahnya sudah tak kembali lagi karena sibuk dengan kantornya atau asik dengan keluarganya. Athena yakin Ayah pasti kembali.

Ia melirik jam, sudah tiga jam dia duduk di depan rumah menunggu Ayahnya. Kemudian matanya mendongak menatap langit. Perlahan, setitik air mulai berjatuhan. Lama-lama, rintik-rintik itu berubah deras. Athena langsung mengangkat kakinya masuk ke dalam rumah dengan penyesalan menyelimutinya.

Ini sudah hujan, mana mungkin Ayah sempat-sempatnya datang ke rumah yang berisi jenis orang tidak tahu diuntung seperti Athena sementara di rumah lainnya terdapat keluarga yang setia menunggu serta menyambut kedatangannya. Juga lebih membutuhkannya.

Athena tersenyum miris. Mungkin saja dia sudah terlambat.

Sebuah ketukan menghentikan langkah Athena. Seiring berubahnya semangat Athena, dia berjalan membuka pintu. Namun, senyumnya langsung memudar dalam sekejap begitu yang ditemuinya adalah Bu Lastri dengan sebuah payung yang dipakainya.

Beliau memberikan dua nasi kotak dari acara syukuran keponakan beliau pada Athena. Athena balas tersenyum—yang malah terlihat seperti meringis—menerima kotak itu. Selepas perginya Bu Lastri, Athena hendak menutup kembali pintunya perlahan dengan menelan pil pahit kedua kalinya.

“Tunggu!” Sebuah kaki menyelip di celah pintu dan dinding, menahan agar pintunya tidak tertutup. Athena membesarkan matanya seiring dia menahan napas melihat sepatu hitam yang dilihatnya. Dan dalam sekejap, senyumnya mengembang sempurna. Dia membuka pintunya. Menemukan Ayahnya berdiri di depannya dengan keadaan basah kuyup dan kantung keresek di tangannya. Ayah meringis bersalah.

“Maaf, ya, Then, Ayah pulang telat. Kerjaan Ayah banyak di kantor, terus pulangnya Ayah sempetin buat beli nasi kuning kesukaanmu. Sekali lagi, maaf, kamu pasti udah lapar bang—loh, itu makanan dari mana?” Andra menatap heran dua kotak di tangan Athena. Tanpa ia sangka Athena tiba-tiba bergerak cepat memeluknya setelah menaruh kotak itu.

“Ayah, Athena minta maaf selama ini Thena selalu jahat sama Ayah. Juga kasar ngomongnya. Thena sadar kalau Ayah merupakan Ayah paling baik sedunia yang Athena punya. Thena bego gak ngehargain jasa Ayah selama ini. Tapi Thena yakin nggak lagi. Athena janji bakal berubah. Thena sayang Ayah!” kata Athena, ia semakin mengeratkan pelukannya. Menyembunyikan isak tangisnya di pundak Andra.

Andra yang juga mengeratkan pelukannya, kini terharu. Dia tersenyum. “Anak Ayah nggak bego, kok. Wajar aja kamu marah, selama ini Ayah nggak pernah ada buat kamu. Maafin Ayah juga, ya?”

Terima kasih Nenek, dan Ibu.

Dibalik rasa duka mendalam, pastilah ada hikmah terindah menyertainya. Dan malam ini, merupakan malam paling membahagiakan bagi Athena. Juga Ayahnya.

Beberapa hari kedepan terasa berbeda untuk Athena. Terasa lebih menyenangkan dan rumahnya kembali menghangat. Di setiap pagi, Ayah selalu mengajaknya jogging. Lalu Athena mengajak Ayah memasak bersama, Athena ingat betul kejadian-kejadian lucu Ayahnya yang payah dalam hal memasak. Mereka juga melakukan movie marathon, nonton bola dengan heboh saat salah satu tim menang dan tertawa hingga mata berair saat melihat acara komedi bersama sampai larut malam. Terakhir malamnya Ayah yang sering menyanyikan Athena lagu happy family dengan suara sumbangnya.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang