t h i r t y o n e

358 17 0
                                    

Sudah tiga hari Athena berdiam diri di kamarnya tanpa aktivitas apa pun. Hanya keluar kamar untuk makan, dan mandi. Dia ingin sendiri. Belakangan ini banyak kejadian menimpanya. Belum soal Alfa, kini Ayahnya. Semua itu butuh waktu untuk Athena sekadar menenangkan pikirannya yang berkecamuk.

Selama tiga hari itu, dia tak berbicara sama sekali dengan Neneknya. Di sisi lain, Neneknya kecewa dengan Athena akan sikapnya kemarin pada Ayahnya, tak menyangka kebenciannya sejauh itu. Namun, beliau mencoba memaklumi. Ini salahnya. Dan Nenek sangat paham penderitaan Athena yang dibesarkan tanpa orangtua, juga tertanam kebencian pada dirinya.

Nenek mengetukkan pintu kamar Athena. “Then, ayo keluar, kamu belum sarapan dari tadi pagi,” bujuknya sambil membawa nampan—seperti yang sebelumnya Nenek lakukan.

Tak lama terdengar balasan dari Athena. “Nggak lapar, Nek, taruh aja makanannya di nakas. Nanti Athena makan.”

Mendengar hal itu Nenek Athena menghela napasnya. Dalam keadaan seperti ini saja Athena belum mau menemuinya, bagaimana nanti saat Athena tahu yang sebenarnya? Nenek meletakkan nampan yang dipegangnya di atas nakas, seraya menatap sendu. “Yasudah, cepat dimakan, ya, keburu dingin.”

Tak ada jawaban.

Baru setelah lima jam kemudian Athena merasa perutnya keroncongan minta diisi. Athena melirik ke arah jam yang menunjukkan angka tiga sore seraya merutuki kondisi perutnya yang tidak bisa diajak kompromi itu. Athena menyerah. Segera dia membuka pintu kamarnya, melihat sepiring nasi goreng di atas nakas. Ia lalu mengambilnya, sebenarnya, tak masalah jika dia makan nasi goreng yang sudah dingin. Baginya, semua itu sama saja.

Baru ia akan menutup kembali pintu kamarnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Athena rasa Nenek takkan membukanya. Dengan dongkol, Athena membukakan pintu untuk tamu tersebut. Pertama melihatnya, Athena bergeming tanpa ekspresi. Di depannya, berdiri lah sosok Andra, dengan senyuman.

Melihat kembali senyuman seorang Ayah setelah sekian lama tak melihatnya, entah kenapa senyuman itu terlihat menyakitkan bagi Athena.

“Athena,” panggil Andra. “boleh bicara sebentar?” Athena tersadar, tatapannya penuh kebencian. Dia lantas menggeleng mantap.

“Saya tidak ada waktu,” katanya dingin. “Saya rasa Anda tidak ada keinginan menemui Nenek saya. Kalau begitu saya harus melanjutkan kembali aktivitas saya. Permisi.”

“Athena, Ayah minta maaf untuk segala kesalahan Ayah selama ini.”

Jantung Athena mencelus. Sebuah rasa asing kembali menyeruak dalam dadanya, kembali menghimpit dadanya. Athena ingin sekali memeluk Ayahnya itu sambil berucap keras-keras kalau dia kangen pada beliau. Nyatanya, egonya yang lebih besar menghentikan keinginan itu. Athena berbalik.

“Athena, Ayah benar-benar menyesal melakukan itu sama kamu. Tolong maafkan Ayah. Ayah akan janji akan menebus kesalahan Ayah.” Ucapan Andra memang benar-benar serius, terlihat dari kesungguhan serta menyesalan mendalam dari matanya.

Athena sedikit terguncang. Matanya menatap berkaca-kaca. “Menebus dengan apa? Setelah apa yang Anda lakukan kepada saya, apa Anda menebus dengan kembali tinggal bersama saya? Sebaiknya Anda lupakan saja keinginan itu karena saya benar-benar tak sudi tinggal seatap dengan Anda.”

Sama halnya dengan Athena, Andra menatap dengan berkaca-kaca. Dia terkejut saat mendapati Athena satu sekolah dengan Bianca. Dan Bianca sudah menceritakan segalanya tentang Athena padanya. Hati Andra sangat teriris begitu mendengar pernyataan langsung Athena. Kata-katanya sangat menohok, menampar telaknya pada kenyataan akan penderitaan anak kandung sulungnya. Membuat Andra memutuskan berhenti melanjutkan perjanjian itu.

Story of AthenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang