Vicky benar-benar tidak sedang dalam waktu terbaiknya. Ia begitu sensitif sehingga mengabaikan kebaikan Dylan, saudara jauh yang juga menjadi sahabat terbaiknya sejak kecil. Usia yang tidak terpaut jauh membuat keduanya mudah untuk saling berbagi rahasia. Tapi tidak saat ini. Ia menatap televisi dengan begitu serius seolah iklan pasta gigi itu begitu menarik, apapaun asalkan bisa mengabaikan Dylan yang terus membayangi pandangannya.
Dylan begitu mengenal Vicky untuk menganggap serius sikap ketus gadis itu. Ia bahkan tahu kapan tepatnya gadis itu menstruasi untuk pertamakalinya, jerawat batu pertama gadis itu, bahkan jadwal menstruasi bulanannya sekarang.
Mengingat saat ini bukan jadwal bulanan Vicky ia memutuskan untuk mengikuti gadis itu ke dapur, mengambil sekaleng soda dari lemari pendingin bibi Stacy-ibu Vicky yang sudah ia anggap ibu sendiri dan meminumnya tepat di depan wajah gadis itu yang ditekuk.
"Kau menjadi lima tahun lebih tua dari umurmu jika mempertahankan wajah itu sampai makan malam tiba" seru Dylan dengan seulas senyum konyol di wajahnya."Aku tidak berminat dengan gurauanmu, Dylan" Vicky membenamkan wajahnya pada tumpukan lengannya di atas meja, "pulanglah!" ujar Vicky, suaranya teredam oleh tangannya.
"Baiklah, apa ini karena Andrew si cowok super soccer?" tebak Dylan dengan malas.
"Aku tidak ingin mendengar namanya" jawab Vicky ketus sembari menutup telinganya.Dylan tertawa puas sambil menyeruput minuman kalengnya.
"Aku punya sebuah kabar yang gembira bagimu dan bencana bagiku" ujar Dylan dengan nada hampa, senyum telah lenyap dari wajahnya.
Begitu merasakan perubahan emosi sahabatnya Vicky mendongak menatap pria tampan yang baru memasuki masa puber itu dengan alis bertaut bingung.
"Kita selalu sehati, jika aku senang kau pasti senang begitu pula sebaliknya" kata Vicky sok bijak.
"Dia pulang!" Dylan mengerutkan hidung mancungnya seolah jijik dengan 'dia'. "Setelah dua kali natal dia tidak pulang, kuharap dia tidak pernah kembali" Dylan tersenyum samar kemudian melirik Vicky ragu.Sesuai dugaannya, mata gadis itu melebar tidak percaya, mulutnya bergerak-gerak seolah siap mengucapkan serentetan tanya yang memenuhi benaknya. Vicky selalu antusias jika membicarakan kakak laki-laki Dylan. Matanya selalu berubah cerah dan bening, tidak ada lagi ekspresi wajah ditekuk, bahkan nyeri haid sekalipun tidak berhasil merusak suasana hati gadis itu. Sejenak Dylan merasa iri pada Nial, karena kakaknya yang brengsek itu selalu dipuja oleh seorang gadis dengan begitu tulus tanpa ia sadari. Sedangkan Dylan hanya mampu mengawasi.
"Nial pulang?" tanya Vicky, suaranya berubah nyaring tidak lagi tak acuh seperti sebelumnya, "apa dia sudah sampai di rumah?" kini gadis itu menjadi lebih hidup bahkan ia tampak jauh lebih muda tiga tahun dari umurnya.Dylan pun turut tersenyum samar melihat sahabatnya begitu bahagia. Ia dengan senang hati menghabiskan sorenya untuk memandangi gadis itu bahagia.
***
Henry dan Stacy mengundang Royce sekeluarga untuk menghabiskan waktu libur mereka di vila pribadi Peterson. Walau secara teknis vila itu milik Henry namun vila itu terbuka bagi seluruh keluarga besar Peterson.Seolah kembali ke beberapa tahun lalu ketika masih anak-anak mereka selalu bersama dalam setiap kesempatan libur. Kala itu Nial yang begitu terobsesi dengan ajaran konyol Henry mengenai cara-cara menjadi playboy dengan sengaja mencium Vicky dan membuat gadis itu menangis. Dylan kecil bersikap sebagai pahlawan dengan gigih membela Vicky. Dylan melempar gumpalan pasir pada kakaknya tidak puas dengan itu karena Nial selalu menghindar ia kemudian melayangkan tinju kotornya ke baju bersih Nial sebelum ayah-ayah mereka datang menengahi.
Vicky tersenyum ketika benaknya mengembara sembari menanti yang lain berkumpul di meja makan, ia memutar telunjuk menyusuri bibir cangkir teh dalam genggaman tangannya, Rasanya seperti kembali ke masa kecil, bukan? Mereka dalam formasi lengkap, terlebih lagi bagaimana rupa Nial sekarang? Pikir Vicky dengan wajah berseri.
Ia mendengar suara ibunya menginterupsi, "Henry dan yang lainnya sudah sampai." Vicky menoleh ke ambang pintu dengan sisa senyum di bibirnya tepat saat Royce yang telah menunjukan tanda-tanda usia namun tetap tampan melangkah masuk dengan menggandeng isteri cantiknya mesra. Vicky tersenyum melihat kehangatan pasangan itu walau mereka tidak lagi muda bahkan kedua anak mereka telah beranjak dewasa. Royce adalah tipe pria romantis yang lebih tertutup, ia jarang mengumbar kemesraan berbeda dengan ayahnya sendiri. Vicky mengulas senyum kepada mereka dari tempat duduknya. Kemudian Dylan muncul seperti biasa dengan wajah konyolnya berusaha menggoda gadis itu.
"Tidak sabar menanti diriku, ya?" tanya Dylan walau ia tahu Vicky lebih menantikan kakaknya.
"Tepat sekali" ia memusatkan tatapannya pada dahi Dylan, "kau berjerawat" cetus Vicky sembari menekan benjolan itu.
"Ouch! Itu sakit" ia mengusap dahinya sembari mengerutkan hidungnya, "kau tahu hormon berlebihan yang tidak tersalurkan" jawab Dylan sekenanya.
"Mengapa tidak kau salurkan?" tanya Vicky dengan sadar membawa arah pembicaraan mereka semakin tidak pantas.
"Aha! Aku harus melaporkan ini pada paman Henry" ancam Dylan dengan nada bercanda.
"Melaporkan apa?" sela Henry ketika ia mengambil setoples butter cookies di meja, ia mengerutkan dahinya sembari menatap keduanya bergantian.
"Hormon-" cetus Dylan.
"Pubertas, Dad. Kau paham maksudku, kan?" sahut Vicky cepat. "Tidakkah kau lihat jerawat itu? Mengganggu, padahal wajahnya saja sudah mengganggu" gerutu Vicky.
Henry menatap keduanya dengan tatapan peringatan dan menggerakan telunjuknya kanan-kiri di depan wajah keduanya."Dimana, Nial?" tanya Stacy sembari meletakan ayam panggang utuh di atas meja.
Vicky gagal mempertahankan ekspresi wajahnya ketika seseorang menyebut nama pria itu. Seolah titik-titik sarafnya melonjak bahagia ketika mendengar namanya.
"Ia sedang memasukan mobil ke dalam garasi" jawab Dylan santai, ia melirik cepat pada wajah Vicky kemudian tersenyum kecut.
"Oh, bukankah itu tugasmu?" tanya Vicky berusaha terdengar acuh tak acuh.
"Selama ada dia di rumah, dialah yang harus mengerjakan segalanya" jawab Dylan dengan seringai liciknya.Dylan segera mengambil tempat kosong di sisi kanan Vicky, ia menikmati makanan pembuka sambil mencuri-curi potongan makanan utama. Vicky menggeleng prihatin, Dylan sedang dalam masa pertumbuhan dan tak seorang pun bisa menghentikan nafsu makannya yang luar biasa namun demikian tubuhnya tetap saja kurus. Terkadang Vicky merasa iri dengan hal itu karena ia sendiri harus menjaga pola makannya atau tubuhnya mekar dan sulit untuk kembali seperti sedia kala. Banyak temannya yang berlebihan dalam urusan 'pemenuhan gizi' pada masa puber dan mereka menyesal kemudian karena menjadi kurus itu tidak mudah.
Vicky sedang terlibat pembicaraan serius mengenai pola makan dengan sahabatnya ketika ia mendengar suara rendah dan dalam yang asing di telinganya. Ia terkesima sesaat sebelum menolehkan wajahnya ke arah datangnya suara itu. Entah mengapa hanya dengan mendengar suara itu ia turut merasakan pula getaran hingga ke tulang punggungnya. Seketika kicauan Dylan berubah menjadi dengung sayap lebah yang tidak jelas. Celotehan Ibunya dengan bibi Sara pun menjadi samar. Ia menoleh penuh ke ambang pintu dan wajahnya berubah kaku, ia tidak sanggup terlihat normal karena ia sungguh terkesima pada sosok Nial hingga tanpa sadar ia mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Malam paman!" katanya pada Henry, suara itu terdengar begitu menenangkan sekaligus mengancam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomantizmGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.