Sosok Nial yang sanggup ia bayangkan selama ini bahkan tidak sampai setengahnya dari kenyataannya. Intinya pria itu melampaui imajinasinya. Ia menebak Nial akan terlihat sepeti Dylan namun lebih berisi. Kenyataannya Nial luar biasa tampan dengan rambut hitamnya yang segelap malam, ia mewarisi hidung ayahnya yang tampak semakin tegas dan mata ibunya yang mempesona. Kesimpulannya Nial adalah perpaduan antara unsur kesempurnaan dari kedua orangtuanya sedangkan Dylan hanya mendapat porsi setengahnya. Sungguh tidak adil.
Vicky masih tercengang menatapnya hingga Nial menyapa dan membuyarkan imajinasi liarnya.
"Vicky!" Nial menunduk menatapnya dari seberang meja, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku jaketnya dalam keadaan terkepal tegang, hanya Nial seorang yang menyadari itu. Ia merasa harus menahan tangannya yang mulai terasa gatal sejak matanya menangkap wajah dewasa Vicky.
Vicky mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar. Wajahnya bersemu merah, ia memalingkan wajah sejenak dan terbatuk sebelum membalas sapaan magis itu.
"Oh!" ia menelan ludah dengan susah payah, "kau terasa asing bagiku" ujar Vicky setengah bercanda. Namun sesungguhnya ia sangat serius, Nial benar-benar menjadi sosok yang asing bagi Vicky. Sosok pria tenang tapi menyimpan bahaya besar yang mengancam. Sosok yang membangkitkan gairah pada setiap gadis yang menatapnya. Termasuk yang dialami Vicky malam ini. Sialan! Semoga saja ia tidak mengamati reaksiku yang berlebihan, sungguh memalukan, ini tidak mudah untuk ditahan.Nial mengulas senyum miring khas pria dewasa, "begitu juga denganmu, kau berubah cukup banyak" ujar Nial, matanya mengembara dengan lapar menatap setiap bagian tubuh Vicky. Bibir itu berlekuk penuh dan sempurna, jemarinya lentik dan panjang, hidungnya sempurna karena tidak terlalu tinggi, rambut tergerai di sekitar payudara indah yang terbalut kaos ketat sialan. Dan yang paling menyita perhatiannya adalah mata gadis itu, kelabu hangat.
"Itu karena terakhir kali kita bertemu saat aku masih dikuncir dua" jawab Vicky dengan ketenangan dibuat-buat walau sebenarnya ia bereaksi karena tidak nyaman dengan cara Nial menyusuri sebagian tubuhnya.Nial kembali tersenyum dan membuat tulang belakan Vicky menegang. Sensasi dingin menjalari punggungnya. Ia menghindari tatapan Nial dengan bergumam pada Dylan sementara pria itu tampak lebih tertarik pada makanannya. Sepertinya malam ini tidak mudah untuk dilalui apalagi dengan pria itu duduk tepat di seberang mejanya.
Selama makan malam berlangsung Vicky tidak seramai biasanya dengan celotehan tidak bermutu khas Vicky, ia lebih menjaga sikapnya pendiam dan santun. Ketika yang lain larut dalam perbincangan seru, diam-diam Vicky mencuri pandang pada Nial. Ia menjaga matanya terpaku lama menatap wajahnya ketika pria itu menceritakan studinya pada yang lain, itulah kesempatan ia memperhatikan wajah Nial secara terang-terangan sambil mengangguk pada setiap perkataannya sehingga ia tampak sedang mendengarkan cerita pria itu dengan antusias. Serta tak lupa tersenyum ketika yang lain tersenyum.
Beberapa kali pula Nial menangkap basah gadis itu sedang menatapnya dengan tatapan yang begitu memuja seperti seekor anak anjing di pinggir jalan. Walau Nial terlihat fokus dengan lawan bicaranya akan tetapi ia bisa merasakan sorot mata Vicky yang begitu bergairah atas dirinya. Ya, Tuhan selamatkan aku! Nial berusaha setengah mati untuk tidak melompati meja dan mencium bibir kemerahan gadis itu.
Beberapa kali gadis itu menyadari bahwa mata mereka bertemu sepanjang makan malam. Vicky mengumpat dalam hati ketika Nial secara terang-terangan membalas tatapannya dengan tantangan terselubung. Vicky mengerang karena kecerobohannya namun tetap saja ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap pria itu terlebih lagi mengingat waktu Nial tidak lama, hanya sampai akhir liburan. Besok mereka akan berpisah dan Nial akan berada di rumahnya, tidak mungkin Vicky menggunakan Dylan sebagai alasan untuk melihat pria itu. Dylan pasti curiga karena tidak biasanya ia seperti itu.
Vicky mengaduk-aduk makanannya dengan raut wajah cemberut memikirkan betapa idiotnya ia karena tergila-gila pada pria itu bahkan ketika Nial menceritakan hubungannya dengan beberapa wanita. Ini masuk akal tetapi tidak mungkin. Cemburu? Pada Nial!
"Vicky sedang patah hati" ujar Dylan tiba-tiba menyela cerita seru kakaknya sehingga Nial terdiam dan menoleh pada keduanya.
Vicky menelengkan wajahnya yang mengernyit tidak setuju pada Dylan dan memberi tanda agar pria itu segera menutup mulutnya. Namun beberapa pasang mata terlanjur menatapnya.
"Kau berkencan dengan seseorang, Sayang?" tanya Henry dengan nada lembut yang tegas, tersirat kecemasan berlebihan yang berusaha disembunyikan ayahnya. Henry begitu protektif terhadap anak gadisnya mengingat betapa bejatnya ia memperlakukan gadis-gadis sebelum ia bertemu Stacy.
"Tidak, Papa. Kami hanya teman" jawab Vicky lirih, ia hanya mampu menatap tangan ayahnya.
"Ia kapten tim sepak bola sekolah" sahut Dylan tanpa merasa berdosa sambil melahap daging ayam dari tangannya.
"Oh, kapten tim sepak bola itu mengesankan, apakah dia tampan?" tanya Sara sambil menggoda keponakannya.
"Idola para gadis" sahut Dylan lagi.
"Dylan, please!" ujar Vicky dengan rahang terkatup rapat, ia bahkan memejamkan matanya dengan sabar. Entah mengapa Dylan tidak bekerjasama dengannya malam ini. Bukan Dylan yang biasanya, ini adalah Dylan yang menyebalkan.
"Kau mengencani idola para gadis? Wah, pasti musuhmu sangat banyak" ujar Nial santai.
"Victoria adalah yang tercantik" ujar ibunya sembari tersenyum membuat wajah Vicky kian memerah.
"Yah, sampai-sampai aku harus menghalau para gadis gila yang ingin mencari masalah dengannya" sahut Dylan lagi.
"Tidak" cetus Vicky sambil memaksakan seulas senyum di wajahnya, "itu konyol."Usai makan malam seperti biasa mereka menghabiskan waktu dengan bermain kartu bertiga sementara yang lain berbincang-bincang. Vicky menjadi satu-satunya pemain yang selalu kalah karena pikiran dan matanya hanya terfokus pada wajah sempurna Nial, masih berusaha mencuri-curi pandang padanya. Dan lagi-lagi Nial menangkap basah dirinya walau pria itu tidak menunjukan reaksi apapun. Vicky begitu malu dan kesal pada dirinya sendiri sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri permainannya serta berpamitan untuk tidur lebih dulu. Ia harus menjaga jarak dari Nial untuk sementara waktu hingga euforia kedatangan pria itu sirna sama sekali dari benaknya dan ia bisa bersikap lebih normal.
Nial menatap Vicky menjauh. Ia mengagumi celana pendek yang membalut lekuk sempurna bokong gadis itu. Kemudian ia meletakan kartunya di atas meja tanda mengakhiri permainan.
"Kau mau kemana?" tanya Dylan waspada.
"Bergabung dengan ayah dan paman, kau belum boleh karena belum cukup umur" ia mengusap kasar puncak kepala adiknya. Dan Nial menghabiskan satu jam berikutnya dengan lebih banyak minuman dari yang seharusnya berharap rasa hangat menenangkan saraf-saraf tegangnya. Tapi ternyata ia salah minuman itu justru menuntut dirinya untuk banyak bergerak. Ia mulai gelisah memikirkan cara terbaik untuk bergerak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.