Rapat yang menegangkan telah berakhir. Mau tidak mau Vicky mengakui kepiawaian Nial sebagai pemimpin, ia adalah orang yang sangat tegas dan sedikit diktator. Vicky sempat membayangkan hubungan macam apa yang akan mereka bangun jika hidup bersama dalam satu keluarga. Pria itu egois. Tapi selain itu Nial adalah pria yang luar biasa. Ia melihat bagaimana orang-orang menghormatinya dan segan padanya, tidak sedikit juga yang ketakutan padanya. Seperti aku.
Seusai rapat Vicky membutuhkan beberapa hal yang harus ia lengkapi dan satu hal yang tidak bisa ia hindari adalah menemui Nial. Rasanya menyenangkan bisa bekerja secara profesional walau ia sempat ragu apakah Nial akan berlaku adil padanya? Ia takut pria itu akan menyerangnya lagi.
Vicky mengumpulkan keberaniannya di depan pintu. Ayo, Vicky, dia hanya Nial atasanmu, lakukan segalanya dengan cepat dan profesional, aku hanya perlu mengacuhkan hal-hal yang tidak profesional. Seperti... Begitu inginnya momen ini berlalu, Vicky lupa karena membuka pintu ruang kerja Nial tergesa-gesa tanpa mengetuk.
Seperti ini...
Matanya melebar dan tubuhnya menegang kaku ketika mendapati seorang gadis berambut merah tengah duduk mengangkang di pangkuan Nial dengan punggung menghadap ke pintu.Ia melihat telapak tangan Nial melebar di punggung gadis itu dan kepala mereka dimiringkan dengan arah berlawanan. Celine begitu menikmati cumbuannya hingga tidak menyadari kehadiran Vick di ambang pintu.
Vicky tak mampu bergerak ketika mata dingin Nial menangkap tatapan takjub Vicky. Pandangan keduanya terkunci sesaat sebelum Nial mengabaikan kehadiran Vicky dan melanjutkan ciumannya dengan Celine.Vicky membuang muka mengabaikan rasa sakit yang tiba-tiba menusuk dadanya. Acuhkan Vicky, kau sudah berjanji untuk mengacuhkan segala sesuatu yang tidak profesional. Ketika ia baru saja berbalik pergi terdengar suara sumbang Celine memanggilnya.
"Vicky!" Celine telah turun dari pangkuan Nial dan keduanya tampak membenahi baju mereka masing-masing tanpa canggung.Sementara gadis itu berbalik dengan enggan. Ia berusaha tersenyum pada keduanya namun gagal.
"Aku akan kembali nanti saja" gumam Vicky.
"Tidak! Nial tidak suka pekerjaannya tertunda jadi lakukanlah sekarang apapun yang kau butuhkan. Lakukan dengan cepat. Mengerti!" Celine menambahkan dengan senyum malu, "kau mengganggu kami."
Vicky memberanikan diri melangkah masuk lebih jauh, ia memeluk setumpuk dokumen dengan kedua lengannya yang kaku.
"Maafkan aku-" Vicky berhasil berkata dengan lirih.
"Mungkin Miss Peterson bisa mengetuk pintu lebih dulu sebelum membukanya dengan lancang" sela Nial dengan kebencian yang jelas terasa.Bukan hanya Vicky bahkan Celine bergidik mendengar Nial menggunakan nada itu.
"Ah, kurasa aku akan memberi kalian waktu" gumam Celine gugup sambil melangkah pergi.Setelah mendengar suara pintu tertutup di belakangnya, punggung Vicky dibasahi oleh keringat dingin yang mengucur kian deras. Situasi menjadi canggung ketika Celine tidak di sini.
"Langsung saja!" tukas Nial dingin. Ternyata Nial lebih sanggup untuk bersikap profesional sementara dirinya...terluka.Setelah beberapa saat ketika segalanya beres. Vicky menggumam terimakasih yang tidak ditanggapi oleh pria itu karena ia kembali berkutat dengan komputernya.
Merasa canggung Vicky memohon ijin pergi. Tepat saat tangannya memegang kenop pintu ia mendengar pria itu bicara.
"Sepertinya berciuman di ruang kerja sedang menjadi trend."
Walau tidak menoleh pada Nial namun ia tahu gadis itu tertegun, terlihat dari punggungnya yang berubah kaku. Enggan menanggapi sindiran Nial, gadis itu meneruskan niatnya untuk pergi.Oh, jadi dia melihatku mencium Lazzy!
Jadi, apa kau membalasku? Apa kau juga merasakan sakit yang kurasakan ketika wanita itu duduk di pangkuanmu?Vicky menyibukan pikirannya dengan pekerjaan, berusaha untuk mengusir bayangan yang mengganggu benaknya. Bahkan ia menolak ajakan Lazzy untuk makan malam sebelum pulang dengan alasan begitu lelah-dan memang sebuah alasan yang masuk akal- ia ingin beristirahat setelah berendam air panas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.