Ten

5.1K 392 4
                                    

Vicky memberikan tatapan bingung penuh tanya kepada Lazzy ketika ia menghampiri meja mereka dengan satu gelas lemon tea berukuran jumbo. Ia duduk di seberang pria itu tanpa bertanya dan hanya mengamati. Lazzy seolah sedang menilai dengan obyektif bagaimana rasa kebab yang mereka jajali kali ini.

Setelah ia berhasil menelan disusul dengan beberapa tegukan panjang mint tea miliknya, Vicky berujar:
"Jadi bagaimana rasanya?" tanya gadis itu ragu-ragu.
"Kurang terasa daging, kurasa mereka mencampur bahan utamanya dengan bahan pengganti lain" Lazzy meletakan kebabnya dengan kesal.
"Ini adalah kedai ketiga" kata Vicky santai sambil mengamati ponselnya, "kita masih punya tiga kedai lagi dan dua mini outlet yang jaraknya dekat dengan kantor kita."
"Berarti lima kesempatan sebelum kita menggunakan jasa delivery dari kedai yang letaknya jauh"
"Benar juga, semoga saja kita bisa menemukan yang sesuai dengan seleramu di sekitar sini"
Lazzy mengacak-acak kebab perlahan hingga sudah tidak layak untuk dimakan, kemudian ia bergumam "mengapa seseorang tidak membuat kebab dari daging babi saja?"
Vicky menatap pria itu seolah Lazzy adalah orang paling konyol. Namun sedetik kemudian tawanya pecah tanpa henti hingga air mata terbit di sudut matanya.
"Kebab adalah makanan khas dari timur tengah dan mereka tidak mengkonsumsi babi" seru Vicky.
Tangan Lazzy terangkat ke wajah Vicky, ia menghapus jejak air mata di sudut mata gadis itu dengan ibu jari, "Mereka terlalu rasis terhadap para daging" ujar Lazzy santai.
Vicky mematung sesaat karena perhatian atasannya kemudian ia berhasil menjawab, "Hanya kepercayaan. Lagi pula daging babi tidak bagus untuk kesehatan, aku tidak pernah mengkonsumsinya sejak bisa memilih makanan untukku sendiri"
"Tetap saja"
"Kenapa kau tidak beli burrito saja? Atau taco? Mereka menyediakan pilihan isi daging babi"
"Rasanya berbeda, kau tahu itu" ia mengibaskan tangannya di udara, "lupakan kebab babi" katanya.

Vicky menikmati panacotta beberapa sendok sebelum mulai bertanya dengan ragu pada Lazzy.
"Jadi, kenapa Nielson ada di kantor kita? Apakah kita bekerjasama dengan mereka?"
"Kau tidak tahu?" alis Lazzy terangkat, "Perusahaan kita merger dengan salah satu anak perusahaan G&G, dan Nielson sendiri turun tangan untuk mengaudit kantor kita secara umum" kemudian Lazzy menatap ke arah jalan dengan mata menerawang, "sejak kulia dia sangat perfeksionis, aku begitu mengaguminya. Terkadang aku iri karena pria itu begitu kaya sehingga bisa mengenyam pendidikan dengan begitu mudah. Kemudian aku iri karena otaknya terlalu cerdas" ia menyeret pandangannya kembali pada Vicky, "kurasa dia tidak ingin dicurangi oleh perusahaan kita."

"Menurutku kau lebih hebat karena berhasil menentukan nasibmu sendiri. Bukankah membanggakan bisa mencapai posisi ini tanpa koneksi?" ujar Vicky.
"Kau benar" ia melanjutkan, "Vicky, apa kita bisa berbagi?" tanya Lazzy mendadak.
Vicky tercengang dengan perubahan topik yang begitu tiba-tiba. Ia bahkan sulit mencerna maksud pria itu.
"Berbagi apa?"
"Kau tahu selama ini kita sangat cocok satu sama lain, setidaknya aku merasa begitu nyaman bersamamu. Kau selalu mendukungku, kau sungguh melengkapiku, kau-"
"Kau seperti orang yang sedang melamar" sela Vicky, "apa yang sebenarnya ingin kau katakan?" Vicky menatap pria itu lekat.
"Mengapa kita tidak berkencan?"
Vicky bergeming tanpa ekspresi, hubungan macam apa yang diharapkan Lazzy padaku?
"Aku tidak mengerti apa yang kau harapkan. Tapi aku ingin jujur padamu, aku tidak bisa-"
"Karena trauma itu?"
Vicky bergeming lagi sampai Lazzy menyentuh tangannya di atas meja.
"Aku bukan tipe pria romantis, aku juga bukan pria dengan gairah berapi-api. Aku bisa bersabar menunggu kau siap. Tapi setidaknya bukalah hatimu padaku, jangan menolak bahkan menghindariku" ia menatap Vicky, "bisakah kau lakukan itu?"
Setelah menatap pria itu dengan pesimis akhirnya ia berusaha mengulas sebuah senyum dan mengangguk.

Apa yang kulakukan? Menggunakan Lazarus untuk mengalihkan perhatianku pada Nial. Bukankah aku terlalu jahat? Mungkin sebaiknya aku jujur saja padanya bahwa hubungan ini tidak akan berhasil. Dengan begitu Lazarus bisa fokus mengejar wanita lain.

Namun ketika ia menatap wajahnya yang begitu cerah Vicky tidak sampai hati, tidak biasanya Lazzy bereaksi seperti ini. Seolah pria itu begitu optimis dengan keputusannya. Vicky memutuskan ada baiknya jika ia mencoba.

"Raut wajahmu yang seperti ini benar-benar langka, boleh kuambil gambarmu?" tanya Vicky siap dengan kamera ponsel di tangannya.
"Tidak! Bagaimana kalau wajah kita?" jawab Lazzy sambil mendekatkan wajahnya pada Vicky dari seberang meja. Dan ia mengambil gambar dengan ponselnya sendiri saat Vicky terkejut dengan ciuman singkat yang ia berikan di pipi gadis itu.
"Oh, Tuhan" Vicky tersipu malu, "apakah wajahku sudah semerah Bloody Marry?" gadis itu menangkup pipinya sendiri.
"Kau seperti remaja baru mengalami masa puber" gerutu Lazzy. Ia telah berpindah tempat di samping Vicky, merangkul pundak gadis itu dan mengambil gambar mereka lagi. "Nah, kau sangat menggemaskan."
"Kuanggap itu pujian mengingat wanita dewasa lebih suka disebut menggairahkan".
Lazzy tersenyum canggung menanggapi komentar gadis itu. Tentu saja kau menggairahkan, Victoria. Hanya saja jika aku mengatakan itu kau pasti lari menjauh dariku.

***
Rambut merah bertebaran di atas bantal bak nyala api, tubuh sintalnya memeluk Nial dengan begitu posesif di bawah selimut. Hembusan nafasnya yang teratur menandakan gadis itu telah terlelap setelah percintaan panjang yang mereka lakukan akhir pekan ini. Nial bersyukur karena kehadiran gadis itu benar-benar mengalihkan pikirannya dari Vicky walau sesaat.

Nial beringsut keluar dari pelukan gadis itu yang seerat jepit kepiting dan pergi ke luar kamar. Hanya dengan balutan celana training panjang ia mulai memasak sendiri daging dan beberapa jenis sayuran untuk salad. Terbiasa hidup mandiri semasa kulia membuat Nial cukup mahir untuk menjadi koki bagi diri sendiri. Terkadang ia menelepon Sara untuk beberapa resep rumahan yang ia rindukan.

Disaat sedang memberikan sentuhan terakhir pada dua piring steak di meja makan ia mendengar langkah diseret Celine dari kamar. Gadis itu mengenakan jubah tipis yang ia gunakan malam tadi saat menanti Nial di atas ranjang. Ia tersenyum sambil menatap ponselnya.
"Pagi, Sayang!" sapa Celine sambil meletakan bokongnya di salah satu bangku.
"Sebenarnya ini menjelang siang" sahut Nial tak acuh.
Celine mengangkat gelas ke bibirnya namun tangan yang lain masih berkutat dengan ponselnya. Wajahnya tersenyum cerah mengundang rasa penasaran Nial.
"Apa yang sebenarnya membuatmu begitu senang? Tidak mungkin karena super sex semalam"
"Oh!" Celine mengipasi wajahnya dengan satu telapak tangan, "kau membuatku panas." Kemudian ia membalik ponselnya pada Nial menunjukan gambar dua orang yang tidak asing, Lazzy mencium pipi gadis itu dan mata Vicky melebar karena terkejut. "Akhirnya mereka resmi berkencan" seru Celine merujuk pada Vicky dan Lazzy.

Dalam sepekan kabar hubungan Vicky dan Lazzy menyebar di kalangan para gadis penggosip. Mereka mendapatkan gambar itu dari foto profil twitter yang diunggah Lazzy dan berbagai spekulasi merebak.

"Bukankah mereka seperti anak sekolahan?" komentar Celine, "aku heran, setelah sekian lama bekerja bersama di kantor cabang justru mereka memutuskan untuk resmi berkencan ketika di sini" ia mendongak pada Nial yang tengah sibuk menyantap makanannya. "Menurutmu apakah mereka sudah bercinta?" akhirnya Celine menusuk sepotong brokoli dengan garpu dan memakannya.
"Entahlah!" jawab Nial benar-benar tak peduli.
"Lazzy sangat tampan tapi kau lebih lengkap lagi, tampan dan menggairahkan" ujar Celine dengan senyum menggoda.
"Dan kaya" cetus Nial sarkastik dan Celine tergelak.
"Benar sekali, itu fakta"
"Makanlah karena kau membutuhkan banyak tenaga untuk kita sebelum kuantar kau pulang" kata Nial.
"Apakah sekarang kita berkencan?" tanya Celine ragu.
"Aku tidak pernah berkencan"
"Mulailah denganku"
Nial meletakan pisau dan garpunya di atas meja, mendadak kehilangan selera makan. Ia menatap lurus pada Celine, "kurasa kau harus pulang sekarang."
Celine bergidik ketakutan karena suara pria itu begitu tenang namun mengandung ancaman mengerikan.
"Aku hanya bertanya, kau boleh mengabaikannya. Lagi pula berkencan hanya untuk anak sekolah" Celine menyibukan diri dengan makanannya dan menghindari tatapan Nial.
Pria itu berdiri dan meninggalkan meja makan dengan sedikit makanan tersisa. Celine menghembuskan nafas lega ketika pria itu tidak mengungkit tentang pulang.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang