Four

8.3K 622 2
                                    

Nial kembali merunduk rendah menopangkan tubuhnya dengan kedua siku mengapit tubuh gadis itu. Perlahan ia sapukan bibirnya pada Vicky sambil menikmati sentuhan menggelitik jemari Vicky di dadanya.

Ia teringat betapa sensualnya jemari panjang Vicky ketika melingkari sendok saat makan malam. Benaknya seketika membayangkan sesuatu yang liar saat itu, ia menggelengkan kepalanya samar.

Perlahan tangannya mulai menyentuh perut rata Vicky melalui lapisan kaosnya kemudian ia ingin merasakan kulit gadis itu meremang di bawah sentuhan tangannya jadi Nial menyusupkan telapak tangan ke dalam kaosnya dan membelai perut ramping gadis itu dengan gerakan memutar.
Nial tersenyum puas merasakan sentakan nafas kasar gadis itu berdesir di wajahnya ketika membelai rusuk Vicky.

Jemarinya bergelut dengan bra yang memeluk Vicky secara protektif.
"Ah!"
Gadis kesayangannya memekik pelan ketika Nial berhasil menangkup payudaranya dengan telapak yang dingin. Vicky menelengkan wajah jauh ke kanan berusaha meredam erangannya di antara tumpukan bantal sebelum memekik ketika Nial mencubit puncak payudaranya dengan gemas. Nial menangkap dagu gadis itu dengan tangannya yang bebas dan membungkam erangan erotis Vicky dengan mulutnya.

Kepalanya bergerak ke bawah menciumi dada sensitif Vicky, mengulum seperti bayi. Secara naluriah Vicky menahan kepala Nial tetap di dadanya seraya bergumam tidak jelas.

"Adakah cara terbaik menyelesaikan ini?" tanya Vicky yang terdengar seperti rintihan.
"Tentu saja" jawab Nial di payudara Vicky.
Ia mengecup untuk yang terakhir kalinya sebelum menjauh. Puas melihat Vicky terengah-engah tak berdaya dengan kedua tangan tergeletak lemas di samping kepalanya Nial mengumpat pelan ketika merasakan dorongan aneh untuk bersikap liar.

Nial gugup sejenak berpikir mungkin masih ada kesempatan untuk menyelamatkan mereka. Namun ketika Vicky bergerak gelisah di tempat ia menduduki gadis itu matanya berubah menggelap dengan bibirnya terkatup rapat membentuk garis tipis. Sejenak Vicky merasakan hawa dingin menjalari permukaan kulit dan membangunkan bulu kuduknya.

Bibirnya mulai terbuka ketika merasakan tangan lebar Nial membelai perut telanjangnya. Dengan cekatan jemari Nial menemukan karet pinggang celana Vicky dan menariknya kebawah. Semua itu ia lakukan tanpa meninggalkan tatapannya pada wajah polos gadis itu yang begitu bergairah. Nial bergerak turun dari ranjang untuk membebaskan dirinya sebelum kembali mendekap tubuh gemetar gadis itu.

"Aku tidak akan menghiburmu dengan kata-kata yang menenangkan" tiba-tiba Nial berujar kasar, "kau perlu tahu bahwa melakukan ini amat menyakitkan dan aku jamin kau tidak ingin melakukannya lagi."
"Motivasi yang bagus, Nial!" sahut gadis itu tak acuh.

Nial bergerak di luar kehendaknya seolah seluruh bagian tubuhnya menjerit untuk segera dipuaskan. Ia mendesak masuk ke dalam diri Vicky yang begitu rapat seakan-akan gadis itu enggan membiarkan dirinya masuk.
"Buka dirimu untukku, Sayang!" gumam Nial kesal.
Nial tahu pasti bagaimana caranya membujuk dengan ciuman sensual yang membuat gadis itu melayang dan lupa diri. Ditengah erangan sensual yang teredam mendadak gadis itu menjerit ketika Nial berhasil mendapatkannya, sebuah sentakan yang mengubah gadis itu selamanya.

Vicky merapatkan pahanya dengan canggung berusaha mendorong dada pria itu menjauh namun sia-sia. Nial menatap puas pada gadis yang tengah terisak perih oleh desakan asing di antara pahanya. Reaksi itu terasa bagai cambuk di tubuh Nial, ia merasakan desakan gairah baru ketika gadis itu merintih terlebih berontak.

"Sudah!" cetusnya, "Ini sudah berakhir, turun dari tubuhku!" desis Vicky sambil memukul dada bidang Nial.
Seringai licik muncul di wajah Nial, "bukan begitu cara mainnya, Sayang. Ini bahkan baru saja dimulai" pria itu menggeleng pelan.
"Tapi ini sakit sekali" ujar Vicky dengan mata berkaca-kaca.
"Memang seperti itu rasanya."
Tanpa mengacuhkan protesnya Nial mulai menggerakan pinggul sementara mata mereka saling beradu sebelum gadis itu terpejam sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kurasa sudah jelas- ah!" Vicky coba menjerit ketika Nial mendorongnya dengan sentakan keras, ia merasakan serangan nyeri di daerah rahimnya karena dorongan yang terlalu dalam.
"Kuingatkan padamu, jangan lakukan ini dengan siapapun jika tidak ingin merasakan sakitnya lagi. Jangan percaya pada siapapun yang mengatakan bahwa bercinta itu menyenangkan karena sekarang kau telah membuktikannya sendiri, bercinta layaknya neraka bagimu, bukan?" ujar Nial dengan nada posesif yang bahkan tidak ia sadari.

"Terimakasih atas peringatanmu. Dan turunlah, please!" Vicky menggeliat namun gerakan itu justru membawa Nial jauh lebih dalam.
"Tunggu!" Nial membeku, "Kurasa aku ingin melepaskan diriku dalam sini!" kata Nial seraya mengelus perut Vicky.
"Jangan!" desak Vicky lebih kuat lagi, "aku bisa hamil! Kau bodoh atau apa?" bentak Vicky berupa bisikan panik.

Nial merasakan seberkas iba, mengusap kening halus Vicky seolah gerakan itu dapat mengurangi kerutan dalam di antara alis gadis itu sebelum mengecupnya. Dengan mengulas senyum miring ia mendorong tubuhnya lagi dan lagi. Setiap sentakan itu selalu diiringi oleh lenguhan tertahan dari bibir gadis itu dan membuatnya semakin bergairah.

"Vicky, Vicky, Vicky...! Kau begitu munafik. Aku tahu tubuhmu menyukai ini" ujar Nial parau sambil menyentak, "ini!" ujar Nial lagi di telinga gadis itu. Vicky berpegangan erat pada punggung pria itu berupaya meredam rasa sakit yang juga menggelitik.
"Peluk aku seperti itu, Sayang!" pinta Nial parau seraya mengerang lepas. Matanya terpejam merasakan sensasi lega menjalari tubuhnya.

Lebih mudah bagi Vicky untuk mendorong pria itu menjauh ketika tubuh Nial terkulai lemas. Setelah terbebas dari pelukan pria kuat itu ia meraih selimut dan menutupi sebagian tubuhnya sambil duduk.

"Pergi! Keluar dari kamarku!" hardik Vicky dengan suara bergetar. Ia menggenggam erat selimut yang menutupi dadanya hingga buku jarinya memutih.
Nial bangkit dari ranjang Vicky dengan santai, tak lupa senyum miring tersungging di bibirnya. Hanya saja senyum itu kaku dan Vicky tidak menyadarinya. Senyum ironi alih-alih kepuasan. Ia menggunakan kaos dalam satu gerakan mulus.
"Selamat malam, Sayang!" cetus Nial sembari memaksakan sebuah kecupan di dahi gadis itu.

Ketika kamarnya kembali gelap gulita selepas pria itu pergi, ia membenamkan wajahnya pada telapak tangan, beberapa detik kemudian pundaknya mulai bergetar dan detik berikutnya ia terisak air mata jatuh membasahi pipinya.

Nial, sosok yang begitu ia kagumi sejak pertama kali mengenal pria ternyata perwujudan dari seorang iblis.

Nial kembali ke kamarnya dengan langkah lambat sambil sesekali mengusap tengkuknya dengan lelah. Ia mendapati Dylan telah berada di atas ranjangnya sendiri dan tidak bergerak. Nial menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas ranjang lain dan mengusap wajahnya sembari menghembuskan nafas besar.

"Darimana saja dirimu?" Nial mengumpat ketika menyadari Dylan belum tidur.
"Berjalan-jalan di luar" jawab Nial tak acuh.
Kemudian hening beberapa saat, ketika ia mengira adiknya kembali tidur, Dylan berujar "Kak, apakah kau menyukai Vicky?" tanya Dylan tetap dengan memunggungi Nial.
"Entahlah, dia sudah seperti adikku sendiri sepertimu." sahut Nial berdusta.
"Tapi dia bukan adik kita!" Dylan menyatakan dengan nada sumbang antara skeptis atau hanya penegasan.
"Ya, memang bukan" jawab Nial sangat lirih.
Dan keheningan kembali berlanjut hingga masing-masing dari mereka jatuh tertidur.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang