Vicky bergeming di bawah ciuman Nial, mungkin terenyak dengan perubahan keadaan yang begitu tiba-tiba namun pria itu tidak pernah menyerah ia terus membujuk bibir Vicky dengan belaiannya.
"Victoria, please!" erangnya dengan suara parau.Tak pernah terlintas di benak Nial bahwa Vicky akan membalas ciumannya. Ia berani melambatkan tempo ciumannya agar masing-masing dari mereka dapat saling merasakan. Satu yang jelas dari ciuman itu adalah kerinduan.
Vicky pernah berjanji akan membenci pria itu seumur hidupnya namun perasaannya berkata lain ketika bibir mereka saling bertaut. Sangat jelas ia merindukan pria di hadapannya dengan cara apapun.
Nial...Nial-nya, jika ia bisa mengatakan itu.
Vicky hampir saja hanyut dalam pesona Nial tepat ketika pria itu mengangkat rok gadis itu ke atas.
Gadis itu tersentak mundur melepaskan ciuman mereka, menjauhkan tangan Nial dari tubuhnya. Sentuhan itu seolah mengirimnya pada rasa sakit yang ia alami dulu."Tidak!" cetus Vicky, "tidak akan pernah, tidak akan terjadi lagi." Gadis itu panik seketika dan mencoba melepaskan diri dari genggaman Nial.
"Vicky, tenang! Aku tidak akan menyakitimu. Aku tidak akan melakukan apapun terhadapmu jika kau tidak menginginkannya" Nial berusaha menjelaskan dengan sepenuh hati.
Vicky semakin menggeliat ketika Nial menggenggamnya lebih erat. "Jangan sentuh aku seperti ini. Kau membuatku takut!" pinta Vicky.
"Takut?" tanya pria itu dengan dahi mengerut dalam dan begitu mengerti maksud gadis itu Nial benar-benar tercengang. Sikap serampangannya di masa lalu meninggalkan bekas trauma bagi Vicky.
Tidak heran. Setelah peristiwa malam itu Nial nyaris gila layaknya orang kecanduan narkotika. Ia tidak bisa menghapus bayangan gadis itu dari benaknya, terlebih membayangkan Vicky menangis sangat membuat dirinya bergairah dengan cara yang aneh. Setelah kembali ke Manchester Nial berusaha mengalihkan pikiran gilanya pada gadis lain. Namun, semua berlangsung begitu saja. Tidak ada gejolak hasrat liar yang menuntut dirinya ketika tidur dengan wanita selain Vicky.
Nial mengunjungi psikiater secara rutin selama enam bulan dan baru dinyatakan sehat setelah itu. Bahkan sang dokter menjamin bahwa Nial dapat mengatur hasratnya ketika bertemu dengan Vicky lagi suatu saat.
Delapan tahun terbilang cukup lama untuk menghapus bayangan gadis itu dari benaknya. Bahkan ketika Dylan menunjukan foto gadis itu hasrat Nial tidak terpengaruh sama sekali. Ia yakin dirinya telah sembuh sampai ketika gadis itu dengan ceroboh masuk ke dalam ruangannya dengan kedua tangan memegang gelas Cappucino.
Kendali pria itu terusik dan ia bersyukur karena berhasil menahannya di ambang batas. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan berusaha fokus pada hal lain seperti Lazzy yang tampan. Berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak terpengaruh dengan kehadiran gadis itu. Dan ketika tangan mereka saling menjabat Nial merasakan sengatan gairah yang begitu besar hingga benar-benar tersiksa. Dan sebatas ciuman inilah yang bisa ia dapatkan.
"Mengapa kita bertemu lagi?" gumam Nial setelah merapikan jas dan duduk di kursinya.
"Kau pikir itu salahku?" ujar Vicky defensif.
"Tidak. Tentu saja bukan salahmu" ia mendongak memandang langit-langit ruangan itu dengan lelah, "aku mencemaskan kita."
"Cemas akan kejadian malam itu terulang kembali."
Nial menggeleng ragu, "Itu bukan aku, rasanya aku tidak seperti itu"
Keheningan yang merebak sontak membuat Vicky tidak nyaman di tempatnya, ia berdehem dan menyodorkan berkas yang harus ditandatangani Nial."Bagaimana jika kau melengkapi berkas ini?"
"Tentu saja" jawab Nial. Lebih baik bagi kita saat tidak hanya berdua saja.
"Terimakasih, Mr. Peterson!" cetus Vicky dengan formal, ia membawa berkas itu dalam genggamannya dan berhamburan keluar ruangan yang terasa begitu suram. Seperti markas seorang iblis.Kuduknya meremang sepanjang menyusuri koridor. Ia menunduk dan mengumpat pelan ketika mendapati berkas itu lembab karena tangannya berkeringat. Vicky menggosokan tangan di rok agar tidak lagi lembab. Segalanya berubah kacau sekarang.
Ketika ia menyeruduk masuk ke dalam ruangan, ia tersadar bahwa nafasnya terengah-engah.
"Ada masalah?" tanya Lazzy ketika mendongakan wajahnya pada Vicky.
"Tidak" jawab Vicky singkat dan berhasil mengulas senyum yang dipaksakan. Ia melangkah mendekati meja, meletakan bokongnya di kursi.
"Kau kelihatan tidak sehat"
"Benarkah?" tanya Vicky basa-basi.
"Maafkan aku karena kau harus menanggung tugas berat, berpikir sekaligus bergerak sedangkan aku hanya berpikir dan menghabiskan waktuku dengan duduk"
"Jangan katakan itu, memang sudah tugasku. Aku masih bisa berlari dua blok dari sini untuk mendapatkan espresso jika kau mau"
"Tidak, sudah terlalu banyak kopi" ia melirik berkas di atas mejanya, "jadi apakah berhasil? Nielson orang yang baik, bukan?"
"Ya, dia profesional" Vicky menanggapi dengan enggan.
Menyadari gadis itu enggan berbasa-basi lebih lanjut Lazzy memutuskan untuk menghiburnya.
"Baiklah, kita punya kita punya lima jam lagi sebelum pukul delapan malam, apakah kau masih sanggup membantuku?"
"Tentu saja, aku akan menangani hal lain" Vicky bangkit dan kembali ke meja kecilnya.
"Ah, kita harus selesai pukul enam, dua jam berikutnya aku membutuhkan bantuanmu secara pribadi"
Vicky memicingkan matanya curiga, "apa itu?"
"Mengisi apartemen tentunya"
"Bagus, aku suka sekali berbelanja perabotan" sahut Vicky dengan wajah cerah.
"Bagus!" Lazzy menghembuskan nafas lega sebelum kembali bekerja.Entah sejak kapan Lazzy mulai peduli pada suasana hati Vicky. Yang pasti sebagian dari dirinya seakan hilang ketika gadis itu tidak ada. Tentu saja, Lazzy terbiasa dengan keberadaan gadis itu bahkan nyaris bergantung hampir sepenuhnya. Vicky adalah tangan kanannya yang cerdas dan penuh perhatian. Siapapun pasti akan bersyukur memiliki Vicky sebagai pendampingnya.
Pendamping?
Ya, benar selama ini Vicky selalu mendampinginya entah dalam pekerjaan di kantor atau keperluan persediaan kebutuhan sehari-hari di rumah seperti sabun dan detergen. Selain itu hampir tidak ada yang memungkiri kecantikan gadis itu. Hanya karena sifat menutup diri menjadikan gadis itu susah didekati.
Hubungan apa yang bisa kutawarkan padanya? Aku harus mencaritahu walau mungkin akan sulit.
Nial mengusap wajahnya setelah bergelut dengan angka dan tulisan di layar monitor selama setengah jam namun tidak menghasilkan apapun. Vicky dengan begitu mudahnya menembus pertahanan diri yang ia bangun selama delapan tahun dan enam bulan dengan bantuan psikiater. Ia harus menghubungi Rebecca di Manchaster dan mengadukan soal ini.
Nial menoleh tajam saat pintu ruangannya bergerak perlahan, hati kecilnya berharap kepala Vicky yang akan muncul dari balik pintu dan gadis itu akan berkata bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja lalu gadis itu akan mengakui yang sejujurnya bahwa ia juga menyukai Nial sebesar Nial menyukainya.
Nial harus menelan kekecewaan ketika yang muncul adalah gadis berambut merah yang ia ingat sebagai Celine. Sejak kedatangannya di kantor ini gadis itu selalu muncul di mana pun ia berada. Melemparkan senyum menggoda dengan mata penuh harap. Sesekali bicara tentang pekerjaan dan dilanjutkan tentang kehidupan pribadi.
Baiklah, mungkin pengalihan ini akan sedikit membantu. Lagi pula Celine memiliki tubuh yang sangat menggiurkan dan dengan senang hati ia tawarkan padanya.
Nial bangkit dari bangkunya dengan keanggunan macan, matanya terus menatap gadis yang berdiri di sana dengan menggenggam map merah senada dengan rambutnya. Nial bergerak perlahan mendekati gadis itu mengaitkan jarinya dan dalam satu gerakan mulus simpul dasinya terlepas menggantung di lehernya.
Gadis itu memberinya senyuman malu-malu namun berlawanan dengan matanya yang cukup berani menatap tubuh Nial. Map tergelincir dari tangan Celine dan isinya berceceran di lantai namun keduanya tidak peduli karena desakan hasrat begitu penting untuk di dahulukan dan Nial tahu tidak butuh lebih dari lima menit untuk menyelesaikannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.