Twenty Six

3.8K 301 28
                                    

Dengan segelas jus jeruk di tangan kirinya Vicky berdiri di ambang pintu ruang kerja pribadi Nial di mansion pria itu yang sebentar lagi akan menjadi mansionnya juga.
Walau berusaha mengabaikan firasat buruknya namun tetap saja Vicky terganggu dengan mimpi kala itu.
Ia terpesona memperhatikan bagaimana Nial serius bekerja, sesekali mengetik, sesekali menulis, sesekali terdiam dan berpikir dengan wajah khas pemikir cerdas. Pria itu menyadari kehadiran Vicky dan tersenyum padanya. Jika memperhatikan wajahnya saja sanggup membuat hati gadis itu damai maka mendapatkan senyuman darinya mampu membuat lututnya goyah. Vicky membalas senyumnya dan bergerak mendekati pria itu.
"Cuaca tidak menentu, perbanyak konsumsi vitamin" Vicky meletakan gelas itu di tangan Nial.
"Siapa yang akan memperhatikan hal remeh seperti ini jika bukan dirimu. Aku pria yang beruntung."
Vicky tersenyum kaku berharap air mata tidak jatuh pada momen langka ini, berbincang dan saling memuji, merasa dicintai walau tanpa bercinta. Pria itu terlihat begitu senang dengan senyum sepolos bocah yang berusia sepuluh tahun, Nial yang suka menggodanya dengan segala cara. Vicky ingin melengkapi momen bahagia ini dengan kabar kehamilannya namun ia memutuskan untuk menundanya. Jika saja firasat buruk itu benar adanya ia tidak dapat membayangkan betapa hancurnya pria itu. Sekali lagi kehilangan anaknya yang belum lahir atau yang lebih buruk lagi adalah kehilangan isteri dan anaknya untuk yang kedua kali. Vicky akan menjaga rahasia itu hingga hari pernikahan mereka dan menjadikan kehamilannya sebagai kado istimewa.
"Kau terlalu sering melamun belakangan ini" tuduh Nial.
"Memikirkan pernikahan kita" gadis itu berkilah.
"Kau bisa jatuh sakit jika terlalu sering memikirkan itu. Bibi Stacy telah mengatur semuanya, kau hanya perlu diam saat dirias dan menirukan ucapan pendeta ketika di altar. Mudah, kan?"
"Apa kau tidak merasa tegang?" tanya Vicky penasaran.
"Aku selalu tegang jika bersamamu jadi menikah tidak membuatku tegang"
Vicky tertawa lepas untuk pertamakalinya sejak firasat buruk itu datang. Ia bersyukur karena Nial bukan pria kaku yang mungkin saja bisa membuatnya lebih putus asa sekarang.

***
Dukungan Nial menjadi satu-satunya kekuatan Vicky untuk bangun dan menyambut pagi ini dengan antusias. Hari pernikahan kami. Matanya nyaris selalu berkaca-kaca ketika menyuarakan hal itu dalam hati. Ia percayakan wajah dan tubuh pada Ibunya untuk dirias dan tidak keberatan dengan apapun yang mereka berikan karena Stacy sangat berhati-hati dalam memilih segala detilnya khusus untuk wanita yang tengah hamil muda. Well, semua orang masih berpikir Vicky sedang hamil dan kebetulan memang begitulah adanya. Hanya Nial malang menjadi satu-satunya yang belum mengetahui kabar gembira tersebut. Vicky tidak sabar menantikan respon Nial ketika membisikan kabar gembira tersebut di altar.

Seluruh keluarga termasuk mempelai wanita telah menunggu kedatangan Nial. Pria itu terjebak macet demo buruh yang sedang berlangsung. Ia mengendarai sendiri mobil mewahnya menuju gereja dengan kecepatan efektif berusaha mencari celah untuk mendahului yang lain. Caci maki diteriakan dari mobil-mobil yang ia ambil jalurnya namun Nial tidak peduli, yang ada dalam benaknya adalah pasti betapa cantik mempelainya dan ia tidak sabar untuk menyelesaikan semua ini dan memiliki Vicky seutuhnya.

Tuhan, maafkan aku jika jarang pergi ke gereja. Namun, kali ini muluskan jalanku menuju gereja, aku akan menikahi seorang gadis yang sangat kucintai dan aku yakin gadis itu sedang cemas sekarang karena demo sialan ini. Maafkan aku Tuhan untuk kata 'sialan' tadi, itu terjadi begitu saja tanpa kusadari.

Upaya berdamai yang buruk dengan Tuhan, Nial.

"Cemas?" Vicky tersentak mendengar seseorang bergumam di belakangnya sambil menyentuh lembut lengannya yang telanjang. Ia menggenggam buket bunga kecil di tangan kanannya-meremas lebih tepatnya.
"Tenang saja, Nial adalah kakak paling brengsek yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia sangat menginginkan pernikahan kalian, jadi aku yakin dia akan datang"
"Bagaimana jika dia kabur? Belakangan ini aku begitu emosional dan itu sangat menguji kesabarannya."
"Tidak mungkin..." Dylan duduk dan memberi tempat kosong di sampingnya pada Vicky, gaunnya yang sederhana namun elegan memudahkannya untuk duduk.
"Ia sedikit bersikap aneh, mungkin saja ia berubah pikiran" ujar Vicky cemas.
"Jika ini bisa menenangkanmu" katanya, "bagaimana jika aku ceritakan sesuatu tentang Nial?"
"Ceritalah!" Vicky mengangguk penuh antusias.
Dylan meluruskan kakinya dan bersandar rileks pada sandaran kursi, matanya menerawang memandangi langit-langit.
"Sejak Nial memutuskan untuk sekolah di Manchester ia selalu menggangguku setidaknya seminggu sekali saat akhir pekan. Ia baru punya waktu luang ketika akhir pekan, kau tahu ayahmu sangat keras pada Nial, ia ingin Nial menguasai semua ilmu bisnis. Apakah kau tahu Nial mengambil dua jurusan dalam satu waktu yang sama?"
Vicky menggeleng dan menyesal karena tidak mengetahuinya.
"Ia harus mengatur waktu ekstra ketat untuk jadwalnya, tak ada hal lain yang dapat ia lakukan."
"Kudengar ia berganti-ganti pasangan, bagaimana dia punya waktu untuk itu?"
Dylan tersenyum kecut dan menggeleng, "Nial... Apakah kau mengakui bahwa ia tampan?"
Dengan rona merah menjalari pipinya Vicky mengakui bahwa calon suaminya teramat tampan.
"Gadis datang silih berganti, beberapa di antara mereka ada yang sekedar teman kencan saat malam, ada juga yang hanya ingin menyandang predikat 'mantan kekasih Nielson Alexandre Peterson sang pewaris'. Mereka akan menyebar berita-berita kosong demi membuat diri mereka lebih dikenal."
"Apakah di antara mereka tidak ada satu pun yang memenangkan hati Nial?" tanya Vicky heran.
"Sayangnya begitu, hati Nial telah dimenangkan orang lain. Aku sempat penasaran siapa gadis itu."
Tidak terdengar seperti dirinya, Vicky merasakan seberkas rasa cemburu terhadap wanita misterius ini.
"Hingga suatu hari-" kata Dylan, "ketika aku mengirimkan foto kita saat kau berulang tahun ke tujuh belas ia meneleponku" menanti reaksi Vicky ia akhirnya melanjutkan, "ia ingin aku meneleponnya saat kita berbincang-bincang, dan membiarkan panggilan itu terus berjalan. Kau ingat ketika aku mendatangi rumahmu malam-malam dan kita bicara di kamarmu?"
Vicky berusaha mengingat dan ia menangkup mulutnya ketika menyadari perbincangan yang mereka lakukan beberapa tahun yang lalu. Vicky masih ingat karena Dylan tidak terlalu pandai memancing Vicky untuk membicarakan Nial. Kala itu Dylan bertanya:

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang