Twelve

4.5K 385 4
                                        

Pagi ini suasana kantor begitu sibuk bahkan untuk secangkir kopi sekali pun. Lazzy berkutat dengan setumpuk hal yang harus disiapkan dan harus selesai sebelum istirahat makan siang sedangkan lebih banyak lagi hal yang harus dilakukan Vicky untuk mempermudah kerja atasan sekaligus kekasihnya. Tidak ada sapaan sayang hari ini, dan itu terjadi secara alami karena mereka benar-benar larut dalam kesibukan kerja.

Vicky baru saja kembali dari ruang umum untuk menggandakan berkas. Sekarang ia berkutat dengan komputernya. Lazzy melirik kekasihnya sesaat. Mengamati gadis cantik yang tengah sibuk sendiri.
"Aku akan keluar sebentar" ujar Lazzy sembari bangkit dari bangkunya.
Vicky mendongak dari pekerjaannya, "apa ada sesuatu yang kau butuhkan? Mungkin aku bisa melakukannya untukmu" tanya Vicky.

Lazzy tersenyum malas, walau sudah menjadi kekasih Vicky tetap profesional, mungkin hal itu yang membuat hubungan mereka seolah memiliki jarak kasat mata. Mereka tidak benar-benar dekat layaknya sepasang kekasih yang saling berbagi.

"Hm, yang aku butuhkan adalah pergi ke toilet. Apakah kau bisa membantuku dengan itu?" Lazzy mengangkat satu alisnya pada Vicky.
Rona merah menjalari pipi gadis itu seketika, "kecuali 'itu'-mu portable mungkin aku bisa membantu."
"Pasti menarik!" ujar Lazzy sambil tersenyum geli seraya melangkah pergi.

Rasanya menyenangkan bisa menggerakan kaki sambil mengedarkan darah ke ujung jemari kakinya yang kaku. Ia bersenandung ketika mengambil dua buah cangkir dari lemari pantry.
"Sedang jatuh cinta, ya?" seru seorang wanita dari balik punggungnya.
"Apa?" ia mengerutkan dahinya sejenak sebelum tertawa, "ah, ya. Benar! Itu membuatmu lebih hidup, bukan?" jawab Lazzy riang.
"Hm, Mr. Johanson apa kau bahkan ingat namaku?" tanya wanita itu skeptis.
Lazzy memicingkan matanya dengan dahi berkerut menilik wajah wanita itu berharap menemukan jawaban dari wajahnya yang mungkin pernah ia temui di suatu tempat di kantor ini. Namun setelah beberapa saat Lazzy mengangkat bahunya tanda menyerah sembari memohon maaf dengan menghadiahkan senyum manis yang menampakan lesung pipinya tanda menyesal.
"Jangan cemas Mr. Johanson, kita memang belum pernah berkenalan sebelumnya" wanita itu mengulurkan tangannya, "Scarlett."
Lazzy meletakan kedua cangkirnya yang berisi kopi di atas meja sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.
"Lazarus, tapi kau boleh memanggilku Lazzy jika tidak keberatan"
"Mr. Johanson dan aku Scarlett, well, kita bisa memerankan black widow bersama" ujar Scarlett skeptis, ia tidak yakin Lazzy mengerti humornya, sama seperti yang lain.
"Ah, ya, Natasha Romanov, agen black widow, Avenger. Scarlett Johanson" sahut Lazzy dengan tawa lebar, "humor menyegarkan."
Mereka saling melempar senyum hingga senyum itu berubah menjadi canggung dan Scarlett berdeham.
"Bicara soal nama. Vicky memiliki nama belakang yang sama dengan salah satu auditor kita, apakah mereka memiliki hubungan keluarga?"
"Bukan. Hanya kebetulan, nama Peterson sangat umum, bukan?"
"Hm" Scarlett menyipitkan matanya, "mengingat mereka sama-sama berasal dari sini..."
"Vicky dari Capital?" tanya Lazzy tidak percaya.
"Apa kau tidak tahu?" Scarlett kembali bertanya dengan nada menyesal.
Lazzy menggeleng pelan, "aku tidak begitu mengenal bawahanku, aku bahkan tidak mengenal kekasihku sendiri" ia tersenyum masam.
Scarlett benar-benar merasa tidak enak hati sekaligus bersalah karena telah menyampaikan kebenaran umum pada seorang pria yang sedang jatuh cinta. Biasanya mereka sedikit sensitif dalam kondisi seperti ini.
"Ah, kurasa aku akan kembali ke mejaku" tutur Scarlett canggung.
"Oke!" jawab Lazzy sambil lalu. Pikirannya tertuju sepenuhnya pada Vicky.

Lazzy berhasil kembali ke ruang kerjanya sambil membawa dua cangkir kopi dengan asap mengepul.
"Kopi" ujar Lazzy meletakan satu cangkir di atas meja Vicky.
"Lazzy?" Vicky tercengang sekaligus tersentuh, "jika kau butuh kopi kau bisa minta padaku."
"Aku ingin melakukannya untukmu."
Vicky hendak menceramahi pria itu namun ia menutup mulutnya dan bangkit memeluk Lazzy erat.

Dan untuk pertamakalinya Vicky memberinya ciuman tanpa diprovokasi. Lazzy membalas ciuman itu dan dengan perlahan ia memeluk pinggang gadis itu posesif.

***
Nial menatap layar monitor sambil memutar pena dengan jemarinya. Namun tatapannya kosong, ia tidak benar-benar sedang memperhatikan apapun yang ditampilkan monitornya.

Benaknya melayang pada apa yang tidak sengaja dilihatnya beberapa menit yang lalu.

Nial membutuhkan laporan pembaharuan dari Lazzy dan kesempatan itu akan ia gunakan untuk melihat keadaan Vicky. Vicky cenderung menghindarinya selama di kantor.

Pintu ruang kerja mereka terbuka sebagian dan Nial melangkah masuk tanpa mengetuk. Ia melihat Lazzy dan Vicky berdiri berhadapan dalam keadaan canggung dan sedetik kemudian Vicky bergerak maju mendaratkan bibirnya pada pria itu. Lazzy menyambut ciuman Vicky penuh gairah dan ketika lengannya melingkari pinggang ramping gadis itu, Nial melangkahkan kakinya dengan cepat keluar dari ruangan itu.

Hingga kini bayangan pinggang ramping itu menghantui benaknya. Mengacaukan fokus pikirannya. Lucu rasanya ketika Nial yang memiliki pengalaman luas dengan banyak gadis masih mengingat jelas rasa pinggang Vicky dalam genggamannya delapan tahun lalu ketika gadis itu bahkan baru mekar.

Disaat pikirannya berputar-putar, suara ketukan di pintu menginterupsinya. Matanya melirik namun tubuh bergeming sama sekali. Sorot mata dingin itu terlalu menghakimi.

Pria ini adalah gangguan terakhir yang kubutuhkan. Semoga emosiku mau berkompromi saat ini demi menyelamatkan harga diriku.

"Aku membawa laporan pembaharuan" ujar Lazzy ragu sambil melambaikan map yang berada dalam genggamannya, "apa waktunya tidak tepat?" lanjutnya.
"Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk urusan pekerjaan" sahut Nial. "Apa yang bisa kubantu?" ia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Lazzy.
Lazzy meletakan laporan itu di meja dan berbasa-basi tentang pekerjaan sesaat sebelum mengutarakan hal yang mengganggunya beberapa menit terakhir.
"Ah, Peterson!" ujar Lazzy dengan santai, "kau memiliki nama belakang yang sama dengan kekasihku. Maksudku, apakah kalian berasal dari klan yang sama?" ia merasa tidak nyaman dengan tatapan dingin Nial padanya, "jika kau tidak ingin menjawabnya tidak masalah."
"Apa kata Vicky tentang hal itu?" tahya Nial.
"Dia berkata nama kalian hanya kebetulan karena nama itu sangat umum"
"Jika Vicky mengatakan demikian itu artinya memang begitu"
"Apa maksudmu?" ia menggeleng samar, "aku adalah pria payah yang tidak mengenal kekasihku sendiri. Entah mengapa gadis itu masih menjaga jarak dariku. Terlalu banyak misteri melekat padanya"
"Dan kau ingin mengungkap misteri itu?"
"Ya, hanya peduli"
"Tidakkah menurutmu segala yang terjadi di masa lalu tidak akan mempengaruhi apa yang akan kalian putuskan di masa depan. Mengapa kau harus mengungkitnya?"
Lazzy menatap Nial seolah pria itu adalah malaikat kegelapan, murni tapi menyeramkan.
"Kau benar" ujar Lazzy ragu.

Nial bangkit sambil mengancingkan jasnya.
"Aku akan memimpin rapat dalam sepuluh menit, yang lain pasti telah bersiap. Aku tidak ingin terlambat"
Seketika Lazzy merasa canggung dengan sikap menjaga jarak Nial, "begitu juga denganku" ujar Lazzy sembari menyusul Nial keluar dari ruangan.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang