Twenty Two

4.2K 308 9
                                        

"Lalu apa yang terjadi dengan bayi kita?" tanya Nial dengan perhatian penuh pada gadis di bawahnya.

Bayi kita? Rasanya begitu mengharukan seorang Nial mengatakan itu.

"Aku baru saja hendak pulang ke rumah keesokan harinya." Vicky meneruskan dengan susah payah menahan perih yang menyerang matanya, "Namun malam itu aku merasakan sakit yang luar biasa, aku mengeluarkan banyak darah. Beruntung ibumu membantuku tanpa sepengetahuan siapapun, ia merawatku selama dua hari ke depan hingga aku tampak kuat untuk kembali berjalan"
"Bagaimana tidak ada yang tahu? Kau tidak mengatakannya pada ibumu?"
"Tidak. Begitu aku keguguran, kurasa tak ada gunanya membebani pikiran orang lain dengan kabar itu. Aku dan ibumu sepakat menyimpan rahasia ini rapat-rapat."

Vicky melonjak kaget ketika Nial berlutut dibawah kakinya. Ia duduk di tepian ranjang dengan kepanikan baru.
"Sekarang permintaan maaf pun tidak akan pernah cukup bagiku menebus kesalahanku. Katakan, Sayang, apa yang harus kulakukan untukmu?"
"Tidak Nial, aku sudah memaafkanmu, please! Jangan seperti ini" ia menangis ketika Nial merunduk dan menciumi lutut gadis itu "Nial, kumohon berdirilah!" pinta Vicky kesal. Karena pria itu bergeming di sana Vicky beringsut turun dan menangkup wajah Nial, ia menyentuhkan bibir mereka dengan ragu. Setidaknya ia merasakan pria itu tersenyum miring sebelum mengambil kendali ciuman mereka. Nial benar-benar pria dengan gairah berapi-api dan sangat menuntut.

Apakah Nial baru saja sengaja membuatku menangis untuk mengundang gairahnya sendiri? Baiklah ini sah-sah saja, sejak kecil Nial memang brengsek.

Nial bangkit meninggalkan Vicky yang masih terengah-engah karena cumbuannya. Pria itu bergerak ke meja kerjanya dan membuka laci. Sejenak keningnya berkerut cemas sembari mengacak-acak isi laci tersebut. Setelah beberapa saat ia kembali menangkup pipi merah gadis itu yang bahkan masih belum pulih.
"Apa lagi, Nial?" protes Vicky, ia terlalu lelah meladeni gairah pria itu yang seolah tak pernah padam.
Nial berbicara dengan gigi terkatup, "berikan lidahmu padaku, dan pastikan tenggorokanmu tertutup"
Vicky hendak membantah namun satu lutut Nial mendesak di antara kedua pahanya hingga gadis itu tergelak, "oke, oke." Vicky membuka mulutnya dan menjulurkan ujung lidahnya dengan mata terpejam. Nial menyambut penyerahan diri gadis itu, terdengar lenguhan kasar dan dalam ketika pria itu menciumnya. Samar-samar Vicky merasakan aroma logam di lidahnya. Sesuatu membelenggu lidahnya setelah Nial melepaskan ciuman mereka. Vicky duduk, ia mengeluarkan logam itu dari dalam mulutnya. Sebuah cincin sederhana yang sangat feminin berkilau di tangannya.
Nial menatap puas pada gadis itu sambil menopang tubuhnya dengan siku. "Cobalah, aku ingin tahu apakah itu cukup di jarimu" pinta Nial.
Vicky melirik ragu pada Nial sesaat sebelum menempatkan cincin itu di jari manisnya, "bagus, hanya saja milik siapa ini? Aku tidak ingin menggunakan cincin milik wanita lain"
"Sayang sekali karena itu adalah milik wanita lain" ujar Nial geli.
Vicky buru-buru melepaskan cincin itu dan mengembalikannya pada Nial dengan kesal. Nail tertawa ringan sambil menangkap tangan Vicky, ia meremasnya pelan. Nial memasukan cincin itu ke dalam mulutnya diikuti jemari manis Vicky. Lenguhan Vicky lolos begitu saja ketika merasakan belaian lidah pria itu di jari manisnya. Begitu Nial menyudahi ia melihat cincin itu kembali terpasang di jemarinya.
"Iuh...jariku basah!" protes Vicky.
"Dan jarimu menusuk tenggorokanku" balas Nial. Ia melanjutkan, "Ini adalah cincin ibumu" ujar Nial sambil menatap mata bingung gadisnya.
"Bagaimana cincin Mom bisa ada padamu?"
"Ayahmu yang memberikannya padaku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke lima, dia bilang aku boleh memberikan cincin ini pada gadis yang akan kunikahi."
"Sejak kau berumur lima?" Vicky takjub dengan kemampuan Nial menjaga benda-benda berharga miliknya, namun ia tersadar dan lebih takjub lagi, "kau nikahi?" mata gadis itu berkaca-kaca, "kita menikah?"
"Terlalu banyak pertanyaan, Sayang. Dan jawaban dari semuanya. Ya!"
Vicky menangis dalam dekapan Nial dan pria itu membelai rambutnya, "apakah itu tangis bahagia?"
"Ya...ribuan kali, Ya!"
"Bagus, ayahmu benar. Gadis itu menangis bahagia ketika menerima cincin ini."
"Bukan cincinnya, tapi dirimu. Akhirnya aku mendapatkanmu, penantian yang terlalu panjang" bisiknya.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang