Aku menatap layar monitor dengan tangan terlipat di depan dada. Bibirku terkatup rapat dan dahiku berkerut di antara alis. Aku sedang membaca bagian terakhir dari tulisanku, entah mengapa aku tidak mendapatkan kepuasan dengan menulisnya. Aku harus menambahkan sesuatu, apakah membuat Vicky meninggal? Namun itu sangat Shakespeare. Atau mungkin membuat Vicky keguguran? Lalu apa yang akan terjadi pada gadis itu? Menjadi gila? Tidak! Ceritaku akan menjadi thriller.
Ceritaku akan kehilangan unsur pesan moral yang sudah kusampaikan dan hanya menjadi sesuatu yang tidak berguna. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum menuliskan kata "TAMAT" di akhir cerita. Mungkin dengan memberiku waktu berpikir akan muncul ide baru yang lebih baik.
Selain itu aku harus bersiap menerima kunjungan tak mengenakan dari Royce, Henry, dan sudah pasti Vicky. Apa yang bisa kusampaikan pada mereka? Sudah bagus jika mereka tidak mencoba membunuhku seperti yang pernah dilakukan Royce ketika Sara meninggal.
Apakah lebih baik aku tetap terjaga bersama seseorang agar mereka tidak mendatangiku sampai buku ini diterbitkan? Oh, aku pasti sudah mati saat itu. Baiklah, apa yang akan terjadi maka terjadilah. Aku pergi tidur dengan perasaan was-was namun sampai aku terlelap dan bangun kembali tak seorang pun mendatangiku. Aku merasakan Nathan tidur di belakangku, lengannya memelukku dengan posesif.
"Sudah bangun?" gumam Nathan di telingaku.
"Ya, kemana saja kau semalam?"
"Berdebat dengan tetangga baru kita, mereka baru saja pindah dan menempati rumah Mr. Potts."
"Apa yang kalian perdebatkan?" aku nyaris kehilangan kantuk karena penasaran.
"Pasangan McArthur, mereka baru saja menikah. Kami memperdebatkan sepetak tanah yang kita gunakan untuk tempat sampah, mereka merasa tanah itu milik mereka dan kita tidak berhak membuang sampah di sana, sementara Mr. Potts menghibahkan tanah itu untuk dibangun tempat membuang sampah bagi kedua rumah."
"Tidak seharusnya kita berdebat, toh itu tanah mereka. Kurasa kita akan membeli tong sampah yang cukup besar dan meletakannya di sudut lain jalan rumah kita."
"Ide yang bagus, tak kusangka kau bisa begitu bijak."
"Aku selalu begitu" sahutku ketus.
"Jangan membuatku tertawa" gumam Nathan sambil memelukku lebih erat dan membenamkan kepalanya di tengkukku.Sembari menikmati dekapan suamiku yang hangat dan posesif tiba-tiba saja benakku melayang pada nasib karakterku. Mereka hanya menjalankan apa yang kuputuskan atas diri mereka kemudian menjalankannya tanpa bisa memilih. Seperti itulah takdir manusia aku pun tidak bisa memilih ingin seperti apa nasibku. Aku hanya bisa menjalani takdir, menikmati kala takdir itu terasa manis, dan berusaha berpikir optimis seperti Henry kala takdir itu merupakan sebuah bencana.
Sekarang takdirku adalah bersama Nathan walau selama ini aku berusaha mengingkarinya. Bagaimana jika takdir merenggut Nathan dariku? Apakah aku mampu setegar Vicky? Tiba-tiba aku merasa begitu ketakutan.
"Nathan..." aku menggumamkan namanya.
"Hm?"
"Maukah kau menemaniku ke dokter? Aku berpikir untuk mulai menjalani program kehamilan" aku berusaha menyampaikan ini dengan santai. Kemudian aku merasakan pria di belakangku bangkit dan menjulang di atas tubuhku menatapku seolah aku sedang mabuk.
"Apa kau serius?"
"Aku hanya ingin lebih mensyukuri hidup, aku menyesal telah membuat waktu kita sia-sia beberapa bulan terakhir."
Selanjutnya aku tidak mendengar apa yang ia katakan karena Nathan menciumku dengan begitu intim. Satu ciuman yang membawa kebahagiaan di pagi hari.Aku sedang membaca ulang tulisanku sambil menikmati apel hijau yang bertekstur keras dan masam. Dokter cerewet itu menceramahiku hampir di setiap tindakan yang kulakukan. Intinya aku harus menjaga kondisi tubuhku tetap dalam keadaan prima untuk memulai suatu program kehamilan.
Hari ini suamiku sedang mengatur bisnisnya. Sejak menemaniku di rumah sakit ia membiarkan outlet-outlet makanan cepat sajinya berjalan sendiri tanpa diawasi. Tentu saja hal itu bukan masalah besar mengingat seluruh outlet yang dimilikinya dengan sistem waralaba telah dimonitori oleh pihak perusahaan. Nathan hanya perlu memberi dukungan moral serta lebih mendengarkan kritik dan saran pengunjung. Ia harus benar-benar menjalankan bisnisnya dengan sempurna untuk membedakan outlet miliknya dengan milik orang lain.
Kami seperti pengantin baru, hidup normal dan teratur. Sesekali kami masih tersipu malu atas satu-dua hal. Namun, kami cukup jujur akan hal-hal lain yang penting. Aku benar-benar bersyukur diberi kesempatan kedua untuk menjalani kehidupan rumah tanggaku. Tidak semua orang seberuntung diriku, bukan?
Aku mengalihkan mataku yang mulai lelah membaca ke sekeliling ruangan, aku melihat rumah kami masih sama saja tidak ada yang berubah selama kutinggal membaca. Namun, yang tidak kusadari sedari tadi adalah sebuah gulungan kertas dengan terikat pita merah di atas meja makan dan seikat bunga liar di sampingnya.
Aku tersenyum, ternyata suamiku merasa kami adalah pengantin baru sehingga melakukan hal-hal romantis seperti ini. Lalu apa yang dapat kulakukan untuk membalas tindakan sentimentil seperti ini? Kuakui aku tidak pandai dalam hal ini.
Aku berjalan menuju meja dan meraih gulungan kertas itu aku sempat melirik ke arah buket bunga liar namun pikiranku terrfokus pada isi kertas itu. Setelah beberapa saat membaca aku paham bahwa isinya mengenai Nathan mencabut tuntutan perceraian kami. Aku benar-benar terkejut karena bahkan aku tidak memikirkannya sama sekali, aku beruntung memiliki Nathan yang teliti terhadap hal-hal kecil yang luput dari perhatianku.
"Selamat pagi, Jane" sapa sebuah suara dari ambang pintu. Aku tersentak dan membalikan tubuhku, surat itu tergelincir dari tanganku dan aku mengambilnya dengan tenang. Aku memegang surat itu sambil menatap tamuku. Setelah mengira mereka tidak akan akhirnya Vicky mengunjungiku masih dengan gaun pengantin yang terkena noda darah calon suaminya lengkap dengan buket bunga yang juga tak luput dari noda darah. Aku sedikit bergidik mengingat situasi ini mirip dengan sebuah film yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch, Sherlock Holmes. Ya, dia si pengantin keji itu, Emelia Ricoletti. Mungkin benakku tidak sengaja menggambarkannya seperti itu. Tapi Emelia yang ini memakai gaun modern dan kepalanya tidak berlubang akibat peluru. Walau memang gaunnya tetap...berdarah.
"Tenang Jane, aku tidak akan menerormu" ucap Vicky dengan emosi tertahan. Aku kagum pada penguasaan diri gadis itu. Jika aku menjadi dia mungkin aku sudah menerjang Jane Mayer dan membunuhnya.
"Bukankah kau harus tetap tenang untuk program kehamilanmu?" Ia melirik perutku dan membuatku tidak nyaman sehingga aku mengatupkan tangan bebasku di atas perut dengan defensif, "Kuharap kalian segera diberi keturunan" ia tersenyum lemah.
"Terimakasih" ujarku skeptis, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang. Lebih mudah menghadapi orang dengan tempramen meledak-ledak karena aku bisa membalas dengan emosiku yang juga akan lebih meledak-ledak atau bahkan mungkin aku mengacuhkannya.Vicky menatap gulungan kertas di tanganku dan aku mengikuti arah tatapan matanya. Ia mengulas senyum lemah itu lagi dan perutku terasa mulas seketika. Dia tidak menuduhku, tidak memberondongku dengan protes-protes. Namun segala sesuatu yang ia lakukan teramat membuatku merasa seperti manusia paling keji.
Kemudian ia mengangkat pandangannya ke arahku. Aku melihat gurat lelah di wajahnya. Seolah ia satu-satunya wanita yang memikul beban hidup terberat di dunia ini.
"Semoga bahagia, Jane!" ujar Vicky begitu lirih sampai aku tidak yakin ia sedang memberiku selamat atau malah mengutuk diriku. Mataku berrgerak samar ke arah perutnya, gadis malang itu mengelus perutnya samar. Kemudian ia menghampiri meja di mana laptopku berada dan meletakan buket bunga pernikahannya di sana.
"Untukmu" kemudian ia berbalik menuju pintu, "selamat tinggal, Jane."Aku begitu tercengang tak sadar berapa lama aku berdiri terpaku di tempatku dan tak bergerak. Hal selanjutnya yang kusadari adalah air mata jatuh dari pelupuk mataku. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku sedang menangis juga tidak mengerti apa yang sedang kutangisi. Hanya saja hatiku terasa pedih dan begitu terluka. Ada apa ini?
***
Dear Pembaca Inside The Book,
Perkenalkan namaku Victoria Peterson. Hidup yang kujalani tidaklah mudah, aku baru saja kehilangan pria yang kucintai sejak delapan tahun yang lalu. Ironisnya, aku kehilangan Nial tepat disaat aku hampir saja memilikinya.
Yang ingin kusampaikan pada kalian adalah ketika kita menjalin sebuah hubungan dengan siapapun itu kita harus siap dengan konsekuensi yang mengikutinya. Bukan sekedar pertengkaran dan sakit hati tapi yang lebih pedih adalah perpisahan. Entah itu sementara atau selamanya.
Hargai setiap detik yang kalian miliki bersama dengan saling menyayangi dan saling menghargai karena belum tentu kita akan mendapatkan kesempatan kedua atas waktu yang telah kita sia-siakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.