"Bangun!" pekik suara berat yang terdengar sumbang sekaligus memekakan telinga.
Dengan cepat Nial mengenali suara itu adalah milik Dylan. Ia mengerjap perlahan merasakan serbuan cahaya yang menyilaukan pandangannya lalu kembali menandaskan wajahnya ke atas bantal.
"Ini sudah siang, kita harus pulang. Kau menyetir!" ujar Dylan tidak sabar.
Nial merasa suara adiknya bergema, pagi ini kepalanya begitu pening hingga sulit untuk bergerak. Tangannya berhasil meraih bantal dan menutup wajahnya sambil mengerang kesal.Setelah sempat tertidur dalam bathub berisi air hangat beberapa saat, Nial siap dengan balutan casualnya dan menuruni tangga dengan langkah mantap sembari memasang arloji di tangan kanannya. Wangi sabun menguar dari tubuhnya, rambutnya setengah basah tidak perlu ditata dan ia akan tampak seperti seorang bajingan panas. Ia merasa lebih segar dan sisa-sisa peningnya berangsur hilang sama sekali.
"Kau melewatkan sarapan paginya, Sayang!" ujar ibunya sembari membersihkan meja setelah melirik putera sulungnya mendekat.
"Aku baik-baik saja, Mom!" ia mengecup ringan pipi Sara.
"Tapi aku membawakanmu beberapa set sandwich untuk diperjalanan" sahut Stacy. "Kau akan membutuhkannya selama menyetir" lanjutnya.
"Terimakasih, Mommy Sassy!" ujar Nial lalu mencium cepat pipi bibinya.Ia menoleh ke sekitarnya dengan cemas berharap menemukan apa yang ia cari. Bibirnya tersenyum kecut melihat gadis itu berdiri di sana berdampingan dengan Dylan yang nampaknya sedang mengerahkan segala cara untuk memperoleh perhatian gadis itu. Vicky menyandarkan bahunya pada kusen jendela dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Ia memakai kardigan berbahan kasmir yang ditarik menutupi seluruh dadanya. Rambutnya tergerai dengan cara yang begitu sensual. Gadis itu tentu saja belum berbenah diri ia tampak berantakan dengan cara yang seksi. Tatapannya begitu kosong, menerawang hampa keluar jendela. Wajahnya pucat dan kelelahan dengan lingkar bayangan hitam menandai matanya, Vicky memeluk tubuhnya sendiri sementara Dylan mengoceh tak ada habisnya. Nial yakin tak satu pun ocehan itu diacuhkan. Menyerah dengan usahanya yang dianggap maksimal, Dylan menoleh pada Nial dan mengedikan bahunya. Ia berjalan lesu meninggalkan gadis itu menuju kedua orang tuanya. Nial menepuk pundak Dylan ketika adiknya melewati dirinya dengan bahu terkulai lesu.
Nial mengamati gadis itu tidak bergerak seolah tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Tidak peduli mereka akan berpisah dan lama kemungkinan untuk bertemu lagi. Segalanya pasti akan berubah jika takdir mempertemukan mereka kembali. Nial memutuskan untuk mendekati gadis itu tanpa suara, tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Cara Vicky berdiri santai memang tampak natural, tubuh gadis itu menguarkan godaan alami yang bereaksi pada Nial. Rasanya ia ingin mengumpulkan rambut gadis itu, menyibak dan mencium tengkuknya. Namun itu terlalu berbahaya ketika yang lain berada kurang dari sepuluh meter dari mereka, ia memutuskan untuk berdiri di belakang punggung gadis itu menempelkan tubuh mereka. Ia merasakan tubuh gadis itu menegang ketika mereka bersentuhan, Vicky pasti berusaha sekuat tenaga agar terlihat santai tak terpengaruh.
"Terimakasih untuk semalam" bisik Nial, bibirnya menyentuh daun telinga Vicky samar-samar. "kurasa kita bisa melakukannya lagi lain waktu, libur semester depan mungkin? aku tahu kau menikmatinya" ia tersenyum hangat.
"Pergilah!" halau Vicky dengan malas menyandarkan kepalanya ke kusen jendela sehingga leher jenjangnya terbuka.
Nial mengangkat tangannya perlahan dan mengusapkan telunjuknya di sepanjang leher Vicky, bibirnya tersenyum ketika gadis itu bergetar dalam dekapannya. Vicky menggigit bagian dalam bibir bawahnya sambil terpejam merasakan belaian kurang ajar dari Nial."Ya Tuhan, kenapa jadi begini?" gumam Nial frustasi pada reaksinya sendiri.
Vicky mengernyit heran, ia memutar tubuhnya menghadap pria itu dan mereka nyaris berciuman karena Nial tak memundurkan tubuhnya satu inchi pun. Vicky bergerak menjauh dengan canggung namun tubuhnya terhimpit di antara jendela dan pria itu. Nial mengulas senyum sekali lagi melihat gadisnya begitu canggung hari ini.
"Apa maksudnya itu?" tanya Vicky sambil melipat tangannya di depan dada berusaha menciptakan jarak di antara mereka.
Nial menggeleng, bibirnya tersenyum kecut seolah jawaban itu tidak menyenangkan. Kemudian ia berbisik di bibir Vicky, "Oh, ya, kau tidak perlu canggung jika Andrew ingin tidur denganmu. Kau bisa membayangkan wajahku saat itu!"
Vicky terkesiap marah, matanya melotot dengan wajah merah padam. Ia mendorong dada bidang Nial kemudian melayangkan tamparan keras hingga kepala pria itu tersentak ke kiri. Suaranya terdengar hingga ke ambang pintu dimana yang lain sedang berdiri. Tanpa peduli Vicky berjalan melewati pria itu, bahu mereka saling berbenturan namun gadis itu terlalu marah untuk mengacuhkan rasa sakitnya.
Henry orang pertama yang menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan sebelum yang lain, alisnya terangkat melihat puterinya setengah berlari menaiki tangga. Nial mengulum senyum tipis sembari mengusap pipinya yang merah dengan telapak tangan. Ketika akhirnya mendongak ia mendapati Henry menatapnya penuh tanda tanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/101929404-288-k847266.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.