Usia bukan satu-satunya tolak ukur kedewasaan seseorang, mental dan pengalaman menjadi salah satunya. Vicky Peterson tumbuh menjadi wanita cantik dengan kepribadian dan bentuk tubuh yang matang serta kecerdasan emosional yang melebihi usianya. Bagaimana tidak, tumbuh bersama keluarga yang berseteru dengan orang lain selama bertahun-tahun hingga mendarah daging membuat Vicky mampu menilai suatu masalah secara obyektif. Terlebih lagi jika yang mereka musuhi adalah keluarga pamannya sendiri, Royce Peterson atau lebih tepatnya Nial Peterson.
Pola pikir Nial yang bebas kali ini menjadi malapetaka bagi pria yang membesarkannya dengan sepenuh hati. Henry Peterson kala itu merasa harus mengorbankan dirinya dalam sebuah pernikahan palsu demi menyelamatkan perusahaan warisan keluarga mereka agar tidak jatuh pada kerabat lain yang tidak peduli. Ia ingin meneruskan warisan itu pada putera Royce, Nial. Begitu Stacy melahirkan seorang puteri, Henry mengambil penuh kendali atas pendidikan Nial mempersiapkan mental bocah itu sebagai ahli warisnya. Membiayai penuh sekolah Nial yang bergengsi hingga ke luar negeri sejak lulus sekolah dasar. Pola pikir Nial berkembang pesat didukung dengan wawasan yang luas hanya saja Henry tidak menyadari hal itu juga berdampak pada kehidupan pribadinya.
Satu langkah besar yang diambil Nial setelah resmi menjadi pewaris sah G&G group adalah mendaftarkan sahamnya di bursa efek. Benar, Nial membuat G&G go public itu artinya G&G bukan lagi perusahaan yang bisa diwariskan secara garis darah. Walau sebagian besar saham masih dikuasai oleh Peterson bersaudara termasuk saudara jauh mereka paman Hanzel dan paman Mikea.
Bagi Nial warisan hanya membuat seseorang malas untuk berusaha karena merasa masa depan mereka terjamin. Selain itu perseteruan diantara para Peterson yang telah berlangsung bertahun-tahun tidak akan ada habisnya. Sekarang ia berhasil menyatukan seluruh keluarga jauh mereka yang masih memiliki klan Peterson di belakang namanya. Hanya saja ia justru berseteru dengan pria yang sudah seperti ayahnya sendiri, Henry Peterson.
Perseteruan itu semakin menjauhkan Vicky dengan Nial, terkadang ia bersyukur karenanya. Hubungan mereka tidak lagi sama setelah malam mengerikan itu. Malam yang mengubah Vicky seutuhnya, menjadi lebih defensif terhadap pria, tidak pernah membuka hati terhadap siapapun, bahkan tidak pernah menjalin hubungan asmara.
Selepas lulus sekolah menengah atas Vicky menolak tawaran ayahnya untuk meneruskan kulia dan memilih untuk hidup mandiri sejak saat itu. Ia memutuskan untuk pergi dari rumah dan mencari peruntungannya sendiri tanpa membawa nama besar Peterson.
Menjadi asisten seorang kepala divisi pada sebuah perusahaan yang masih berkembang merupakan pilihan terbaik yang patut ia syukuri mengingat latar belakang pendidikannya yang rendah. Terlebih lagi perusahaan itu merupakan cabang yang berada di ujung terjauh selatan Greatern. Vicky lega karena berada jauh dari rumah dan bayang-bayang Peterson.
Selain itu memiliki atasan bujang yang tampan dan murah senyum mejadi anugerah bagi tersendiri bagi Vicky.
Namanya adalah Lazarus Johanson yang kemudian dipanggil Lazzy, walau demikian Lazzy sangat bertolak belakang dengan namanya ia adalah pekerja keras yang tekun dan visioner. Vicky sangat menghormati atasannya itu dan menjadikannya sebagai teladan hidup mandiri.
"Kau mencariku, Laz?" tanya Vicky pagi itu. Lazzy selalu datang lebih pagi dan memulai pekerjaannya lebih awal. Vicky sempat merasa canggung dengan kebiasaan atasannya itu namun dengan penuh pengertian Lazzy tidak mewajibkan gadis itu untuk mengikuti caranya bekerja.
"Masuklah!" pinta Lazzy dengan anggukan samar sebelum kembali menatap secarik kertas dalam genggamannya.
Vicky mengambil tempat di hadapan atasannya dan dengan hati-hati membaca ekspresi wajah pria itu. Tampaknya bukan berita yang bagus karena tidak biasanya wajah tampan itu mengerut dalam seraya berpikir keras.
"Apa yang terjadi?" tanya Vicky kemudian.
Pria itu menggeleng samar dengan bibir terkatup rapat sebelum akhirnya menyerahkan lembaran itu pada Vicky. Gadis itu menerima uluran kertas dengan cemas, apakah ini pemecatannya? Well, Vicky hanyalah pegawai kontrak yang bisa dipecat sewaktu-waktu tergantung pada kondisi perusahaan.
Setelah menilik isi kertas itu sesaat ia mengangkat alisnya sebagai reaksi atas keterkejutannya. Kertas itu diletakan dengan hati-hati di atas meja dan ia mulai berujar, "kau mendapatkan promosi."
Perlahan senyum pria itu mengembang lebar menampakan kedua lesung pipi yang membuat wajah pria itu begitu menawan dan nyaris seperti malaikat. Vicky memalingkan wajahnya seraya mengibaskan tangannya di udara.
"Hentikan senyum lebar itu, kau menyilaukan mataku" ujar Vicky dengan penuh canda.
"Oh, ayolah, akhirnya aku naik level dan itu artinya aku akan bekerja di kantor pusat" kata pria itu dengan nada rendah menenangkan.
"Ya, kau akan pindah ke Capital dan meninggalkan seluruh penggemarmu disini" sahut Vicky.
"Kau benar" pria itu mengangguk samar.
Setelah keheningan beberapa detik Vicky memberanikan diri untuk bertanya, "em, apakah mereka akan memecatku karena tidak lagi dibutuhkan di sini?"
Lazzy menjawab dengan gelengan samar dan raut wajah muram. Ia mendorong sebuah kertas lagi ke arah Vicky.
Oh, bahkan mereka telah menyiapkan surat pemberhentianku tanpa peringatan.Walau tangannya bergetar ia memaksa diri untuk membaca surat itu. Tidak mempercayai penglihatannya ia mengulang kembali membaca tulisan itu dari awal. Terdengar gelak tawa renyah Lazzy dari seberang meja kerjanya. Well, ruangan itu cukup sempit hanya 2x2 meter dan penuh hanya dengan sebuah meja dan komputer bermonitor tabung. Beberapa kertas ditempel sana-sini untuk mengingatkan target kerja yang harus ia raih. Lazarus sangat cermat dan teliti walau sedikit berantakan, tentu saja dia adalah seorang bujangan yang gila kerja dan ia membutuhkan seseorang untuk memperhatikan penampilannya.
"Ini..." ujar Vicky tak percaya menatap pria itu dengan mata melebar.
Lazzy mengangguk dengan keanggunan khas pria parlente dan menyodorkan tangannya di atas meja. Vicky menyambut uluran tangan itu dan mendesah lega.
"Kurasa kau harus bersabar denganku lebih lama lagi. Aku sangat membutuhkan bantuanmu di posisi baruku di kantor pusat aku bersyukur ketika mereka memintaku membawa asistenku sendiri, dengan begitu kontrakmu diperpanjang dua tahun lagi."
"Ketika-" Vicky menarik nafas dengan emosional, "ketika aku membaca surat promosimu kukira aku akan diberhentikan karena tidak lagi dibutuhkan" ia menggeleng dengan senyum lemah, "terimakasih, Lazzy."
"Mari kita rayakan nanti malam dengan yang lain sepulang kerja."
"Kau yang traktir" tunjuk Vicky dengan waspada yang dibuat-buat.
"Tidak, tidak. Kau yang traktir"
"Kalau begitu aku lebih memilih tidak merayakannya" ujar Vicky dengan senyum terkembang.
"Baiklah, 50:50"
"Hm, 60:40"
"Ok!" Lazzy menyerah.
Vicky tahu perdebatan kecil itu hanya gurauan, Lazarus sangat royal terutama terhadap bawahannya, ia menolak seseorang membayar untuk makanannya.Vicky mulai berkemas untuk Lazzy karena pria itu memiliki banyak barang yang dianggap penting, sementara atasannya bergulat dengan pekerjaan yang harus segera diselesaikan sebelum mereka meninggalkan kota kecil ini. Vicky menemukan beberapa lembar foto usang seorang wanita dan satu foto Lazzy dengan wanita yang sama. Merasa terlalu lelah ia duduk dengan ragu di bangku tadi.
"Makan siang?" tanya Vicky.
"Seperti biasa" jawab Lazzy cepat tanpa menghentikan tarian jarinya di atas keyboard.
"Kurasa malam nanti kita harus makan makanan lengkap. Kau nyaris makan seperti ini setiap saat"
"Setiap saat?" pria itu mendongak kepada Vicky dengan kacamata berbingkai tipis menghiasi hidungnya. "Kau tidak tahu apa yang kusantap untuk makan malam." Ia mengernyit pada Vicky.
"Aku tebak kau bahkan makan spageti instan sebagai makan malam jika kau sempat untuk memasak, jika tidak pasti kau akan memesan kebab lagi"
Ia memberi senyum dengan lesung pipi itu lagi membuat perut Vicky kembali bergolak, "aku sedang kecanduan kebab karena aku bosan dengan burger, pizza, dan hot dog. Tapi aku menghindari soda, hanya espreso atau kadang-kadang susu untuk massa otot."
"Bagaimana dengan buah?"
Lazzy memejamkan matanya dan tersenyum geli, "aku selalu melupakan yang satu itu."
Vicky beringsut maju di tepian bangkunya, ia menopangkan dagunya pada tangan terang-terangan mengamati atasannya dengan terpesona.
"Kau seharusnya mencari seseorang yang mengurus keperluanmu" gumam Vicky dan senyum indah itu lenyap dari wajah Lazzy.
"Untuk itulah aku membayarmu"
Vicky tersenyum, "apakah hubunganmu tidak pernah berhasil?"
Lazzy menurunkan kacamatanya kemudian mengusah wajahnya, "kenapa kau bertanya?"
Dengan ragu Vicky mendorong beberapa lembar foto di atas meja, "bagaimana dengan yang ini?"
Lazzy mengernyit menatap foto yang sepertinya sudah lama tidak ia acuhkan. Enggan membahas gadis misterius di foto itu Lazzy mengembalikan pertanyaan itu pada Vicky.
"Kau sendiri, mengapa tidak berkencan?"
"Ah, serangan balik" tukas Vicky dengan senyum kecut. Namun tampaknya Lazzy kukuh ingin mengetahui alasan Vicky masih sendiri.
"Oke, baiklah" ia mendesah lelah, "Aku pernah patah hati dan kurasa sulit bagiku untuk memulainya lagi dari awal. Bukan trauma hanya tidak tertarik" tutur Vicky.
"Kapan tepatnya kau patah hati?"
"Sudah terlalu lama"
"Lebih lama dariku?" tantang Lazzy, "tiga tahun?"
"Delapan"
Mulut Lazzy membentuk huruf O tanpa suara, ia bahkan kehabisan kata untuk mengomentari hal itu.
"Baiklah, kuharap kita menemukan belahan jiwa kita di Capital" sahut Vicky ingin cepat-cepat mengakhiri topik ini.
"Bagaimana jika orang itu sebenarnya ada di sekitar kita?" tanya Lazzy sembari menatap Vicky dengan penuh arti. Vicky hanya mengerjap bingung entah bagaimana harus mengomentari atasannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.