Six

6.7K 412 17
                                    

Pria lancang itu masih bergeming di sana dan aku bersyukur karenanya, setidaknya aku bisa sedikit lebih leluasa dengan jarak yang terbentang di antara kami.
"Kita baru bertemu beberapa saat yang lalu dan kau dengan lancang mengubah takdirku" tutur pria itu membuatku semakin tak mengerti. Aku meringis heran menatap bergantian pada benda-benda di dalam kamarku, apa sebenarnya yang dibicarakan pria ini?

Oh, mungkin dia adalah pria mabuk yang salah masuk rumah dan sedang meracau pada orang yang salah pula. Aku menggerakan tanganku dengan begitu samar berusaha menggapai ponsel di bawah bantal. Ada untungnya membawa tidur ponsel kali ini. Well, aku selalu meletakan ponsel di bawah bantal kapan pun. Aku harus menghubungi seseorang. Ketika aku berhasil menekan kontak secara acak entah siapapun itu aku berharap orang itu akan mendengar dan menjadi saksi jika aku dalam bahaya.

"Jauhkan tangan sialanmu dari ponsel itu, Jane!" pintanya menggunakan nama depanku dengan amat kasar untuk ukuran orang yang belum saling mengenal.

Aku langsung tersentak dan menarik tanganku seolah ponsel itu mengalirkan kejutan listrik. Aku mengangkat kedua sikuku tanda menyerah padanya.
"Siapa kau berani memerintahku?" tanyaku dengan tidak sabar walau faktanya aku ketakutan.

"Seharusnya kau tanya pada dirimu sendiri, siapa kau berani ikut campur dalam hidupku! Kau merusak kebahagiaan yang Stinson ciptakan untuk kami" tuduh pria itu.

Aku memicingkan mataku berusaha mencerna kata-kata ganjil pria itu. Kemudian aku mengaitkan apa yang kupikirkan dengan yang kulihat. Dalam situasi ini mungkin saja masuk akal jika dia adalah...

"Oh!" Aku menarik nafas panjang sambil membekap mulutku tidak percaya, mataku melebar menatap pria itu.
"Ni-Ni-Nial Pe-Peterson!" kataku terbata-bata sembari menunjuk pria itu dengan telunjukku yang bergetar.

"Tepat sekali" sahut pria itu ia tampak puas karena aku berhasil menebak identitasnya. Punggungku seakan dibasahi oleh keringat dingin ketika pria itu bergerak dengan amat perlahan dan duduk di ujung ranjang tepat setelah kakiku.

"Ini pasti mimpi, kan?" aku bertanya pada diriku sendiri. "Yah, ini mimpi. Tak seorang pun bisa membangunkanku karena aku tidur sendirian. Sekarang aku terjebak dalam bilik-bilik mimpi seperti di film Inception" aku menggerutu.

Aku menatap pria itu dengan sikap sabar dibuat-buat seolah aku memutuskan untuk ikut menjadi gila karena meladeni seorang tokoh fiktif yang muncul dalam mimpi.
"Nial Peterson, senang bisa bertemu denganmu" kataku tanpa intonasi apapun, "Apakah ada yang ingin kau sampaikan?" aku bertanya.
"Aku tidak ingin kau menulis cerita untukku dan Victoria" jawab pria itu dengan keras kepala, "Kembalikan kami pada Stinson" pinta Nial dengan amat sangat serius sehingga aku harus menggigit bibirku agar tidak melukai harga dirinya dengan tersenyum apalagi tertawa.
"Yah" jawabku sabar, "tapi kenapa? Apa ada yang salah dengan tulisanku?" aku menantang pria itu.

"kau menceritakan diriku dengan sosok yang aneh, pria psikopat itu bukan aku!" pria itu berkeras.
"Aku menggambarkan kau adalah pria paling tampan dan menawan. Kau bahkan melebihi Henry dan Royce, kau sempurna" aku menjawab apa adanya.

"Tapi aku kejam tidak berperasaan. Kau lihat Victoria? Aku menyakitinya bahkan ketika aku merenggut kegadisannya? Apa aku terlihat seperti psikopat di matamu?" pria itu meradang tampak dari garis urat yang timbul di bawah kulitnya yang kian merah padam.

Aku mengiyakan dalam hati namun sulit untuk mengungkapkan kebenaran pahit itu jika yang dimaksud sedang mengintimidasi dirimu. Aku bukan jaksa.
"Ah, ya... Bagaimana aku harus menjelaskan padamu?" aku menghindari tatapannya dan berusaha sebaik mungkin untuk berkelit. Oh, ayolah Jane, kau adalah seorang penulis, berkelit bukan hal sulit bagimu. Aku menyemangati diriku sendiri.

"Aku membuat dirimu pria dengan semangat dan gairah berapi-api. Sungguh!" aku menekankan ketika pria itu siap membantahku lagi, "kau tahu, Victoria sebenarnya sangat menyukai dirimu. Ia menyukai bagaimana kau bercinta dengannya, sejujurnya dengan senang hati ia menyerahkan kegadisannya padamu dan bukannya Andrew" ujarku sebisanya sembari bersorak riang untuk pria itu. Aku berusaha menjelaskan dengan cara paling provokatif padanya.

"Lalu kenapa dia begitu murka padaku?" Nial mengerutkan dahinya ke arahku, "Dia bahkan tidak menikmati apa yang kulakukan kepadanya." tanya Nial penuh perhitungan.

Baiklah, masalah ini tidak akan selesai hanya dengan menyenangkan hatinya.
"Aku membuat dirimu memiliki sifat yang aneh. Kau pria dengan tabiat buruk. Selama ini kau menghindari Victoria karena kau tidak ingin menyakiti gadis itu dengan hasratmu yang meledak-ledak, tapi ketika bertemu dengannya kau tidak bisa menahan diri" ujarku. "Kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri karena begitu menginginkannya."

"..." pria itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya. Ia mencerna setiap kata-kata yang kuucapkan dan aku cukup lega karena ia tidak langsung membantah seperti babi hutan.

"Apa kau setuju dengan gagasan itu?" tanyaku skeptis.
Ia menatapku dengan kesal, rahangnya tampak mengeras. "Mengapa kau tidak biarkan kami berhenti pada epilog Kiss The Bastard? Dan menentukan nasib kami sendiri?" tuntutnya lagi.
"Dan mengapa kau tidak biarkan aku menyelesaikan cerita kalian? Aku berani menjamin kisah kalian menjadi sesuatu yang epik" aku bahkan terenyak oleh kata-kataku sendiri ketika selesai mengucapkan itu. Yang benar saja, epik?

Namun aku melihat Nial mengangguk samar sembari berpikir. Apakah pria itu mempercayaiku bahwa kisah mereka akan menjadi sesuatu yang epik?
"Aku tidak bodoh Mayer kau hanya sedang berusaha mengelabuiku?" cetus pria itu tapi kemudian matanya berubah hampa, "apakah aku akan bertemu Victoria lagi?" tanya pria itu penuh harap.

"Itu rahasia ceritaku aku tidak akan membocorkannya pada siapapun termasuk padamu" jawabku defensif dan pria itu mengangguk lagi.

"Jadi bagaimana dengan Dylan? Apa adikku menyukai Victoria?" tanya pria itu dengan waspada.
Aku menatap ke dalam mata itu, rasanya aku mampu menyelami perasaannya, ia pasti akan merelakan gadis itu demi Dylan walau hal itu akan menyakitinya. Aku memutuskan untuk menjawab dengan diplomatis, "Mereka bersahabat sejak bayi itu adalah fakta yang dibuat oleh Stinson, sudah seharusnya Victoria lebih dekat dengannya alih-alih padamu." Aku berharap pria ini puas dengan jawabanku dan segera pergi dengan begitu aku segera bangun dari mimpi buruk ini karena kerongkonganku terasa begitu kering sekarang.

Setelah hening beberapa saat yang mana kupikir pria itu tidak akan pergi akhirnya ia berujar, "Baiklah untuk saat ini, aku tidak akan mengganggumu" kata Nial tanpa kerendahan hati. Aku tidak menyangka keangkuhannya mendarah daging. Namun aku tidak akan mempermasalahkan itu.

Mendengar itu aku menghela nafas lega dan merebahkan punggungku dengan kasar kembali ke atas bantal. Setelah memijat tulang hidungku sesaat untuk menghalau pusing aku berkata:
"Sebenarnya kau mengidap-" aku terdiam ketika tidak mendapati Nial dalam kamarku. Apa dia beranjak ke kamar mandi? Atau dapur?

Aku menyusuri setiap sisi apartemenku dengan begitu hati-hati namun aku tidak menemukannya. Baguslah, aku bertolak pinggang, dia sudah pergi.

Aku melangkah ke lemari pendingin, dengan mantap meraih sebotol air mineral dan menghabiskan isinya dalam dua menit. Kemudian aku teringat kata-kata Stinson.
"Hati-hati! Karakterku banyak menuntut!"
Aku adalah orang waras sehingga tentu saja aku mengabaikan peringatan itu. Stinson bercanda, bukan?
Sejenak aku merasakan hembusan angin di sekitar leher yang membuatku bergidik. Aku segera berbalik dengan langkah seribu namun sayangnya wajahku membentur kusen pintu dapur dan rasanya sangat menyakitkan.
Jika ini mimpi harusnya tidak sakit, kan?

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang