Gelap. Aku tidak dapat melihat apapun selain gelap.
Aku berusaha menggerakan kelopak mataku namun terasa berat. Perlahan aku berhasil membuka sedikit mataku, aku mengedarkan ke sekeliling ruangan dengan penerangan temaram. Samar-samar tercium aroma desinfektan bercampur obat-obatan lain.
Aku merasakan tubuhku terbaring tak berdaya di atas sebuah ranjang. Mataku melirik selang infus yang menusuk pergelangan tanganku. Baru kusadari jika tenggorokanku begitu kering nyaris memicu rasa ingin muntah. Aku melirik bingung ke arah sofa, seseorang sedang tertidur nyenyak dengan punggung lengan menutupi matanya. Aku tahu siapa dia walau tidak melihat wajahnya, aku mampu mengenalinya dalam ruangan dengan cahaya minim seperti ini.
Dengan sekuat tenaga aku berpegangan pada besi penyangga di tempat tidur. Mengangkat tubuh yang ternyata jauh lebih lemah dari yang kukira hingga aku jatuh terlentang kembali di atas ranjang dan menimbulkan bunyi gaduh. Aku memejamkan mataku dan mendengus kesal, kegaduhan barusan pasti membangunkan pria itu.
Benar saja karena aku mendengar tubuh pria itu beringsut turun dari sofa dan menghampiriku.
"Ada yang sakit?" aku mendengar suaranya begitu cemas.
Aku hendak menyela dengan jawaban pedas bahwa tidak seharusnya pria itu cemas berlebihan namun tenggorokanku terasa sakit dan aku bersyukur ketika sanggup mengatakan "air" dengan suara serak.
Nathan mengambilkan segelas air dari meja dan membantuku minum, satu tangannya menyangga kepalaku dan tangan lainnya mengaliri air melalui mulutku.Merasa lega, aku mulai berbicara walau lirih.
"Apa yang kita lakukan di sini?"
Perlahan kecemasan menyebalkan di wajah Nathan mulai menghilang. Pria itu masih bisa mengulas senyum lega walau aku telah berlaku tidak adil terhadapnya.
"Kau kebetulan ingin menginap di sini karena ternyata lambungmu protes. Dan aku satu-satunya orang yang kau miliki untuk bertanggung jawab atas dirimu"
"Aku bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri"
"Dalam keadaan tidak sadarkan diri?"
Aku mengabaikan nada skeptis Nathan dan mengubah topik pembicaraan mengenai tanggung jawab.
"Jadi, bagaimana kau menemukanku? Di kamar mandi dengan tubuh telanjang?"
Aku melihatnya tergelak, tawa yang lama kurindukan, "kuharap itu terjadi. Tapi sayangnya kau tergeletak di perpustakaan umum dan seseorang menghubungi nomerku"
Aku memejamkan mataku, "mengapa mereka menghubungi nomermu?" aku mendengus kesal.
"Karena nomerku masuk dalam daftar nomer prioritas" ujar Nathan dengan suara rendah. Aku menoleh dan mendapatinya sedang menatapku intens. Benar-benar situasi yang canggung sehingga aku membuang muka dan aku yakin wajahku merona sekarang. Sialan!Nathan berdeham dan suaranya kembali normal. Ringan, bersahabat seperti biasa.
"Dokter berkata sesuatu mengganggu lambungmu, aku menyimpulkan maag yang kau derita sedang kumat, kau kelelahan. Kau terlalu banyak kopi untuk menjaga matamu tetap terbuka. Tidak bisakah kau mengatur jadwalmu?"
Aku meliriknya dengan penuh kebencian, ia membahas hal ini lagi. Mulai menentukan apa yang harus dan tidak harus kulakukan, dan kapan dan sebagainya.
"Kita sudah berpisah dan kau tidak berhak memerintahku"
"Aku tidak memerintahmu, Sayang. Jika kau enggan meluangkan waktu untuk orang lain setidaknya luangkan waktu untuk dirimu sendiri. Tubuhmu butuh istirahat. Bisakah kau tidak egois terhadap dirimu sendiri?"
"Egois?" aku nyaris membentaknya. 'Egois' adalah kata kunci pemicu perceraian kami. Kuras emosi pria itu baru saja tersulut namun emosiku sudah lebih jauh tersulut.
"Aku akan menghentikan perdebatan ini. Sekarang kau harus makan"
"Pergi saja, kita sudah berpisah dan aku tidak membutuhkanmu. Kau menyebalkan, Jonathan Grimy!" cetusku kesal.
"Kita belum resmi bercerai. Pengadilan belum memutuskan. Dan aku juga bisa keras kepala!" ia menyodorkan sesendok bubur beras ke mulutku, "buka mulutmu!" Nathan menggunakan nada berkuasa yang sangat kubenci sebab aku pun tidak mampu membantahnya. Karena itulah aku lebih memilih menghindarinya.
Dengan wajah memberengut kesal aku membuka mulutku dan memakan apapun itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.