Twenty Three

3.6K 326 4
                                        

Sudah seminggu ini aku tidak produktif menulis aku yakin keberadaan Nathan di sisiku membawa dampak yang buruk. Kami menghabiskan waktu bersama berusaha menebus waktu yang terbuang sia-sia ketika kami berpisah. Well, sebagian besar kami habiskan di atas ranjang kusut dengan bercinta.

Nathan membawaku pulang ke rumah setelah dokter mengijinkan. Ketika ia menawarkan untuk menemaniku satu malam aku tahu bahwa itu adalah awal yang buruk. Dan terbukti akulah yang menahannya untuk tetap tinggal hingga aku yang akan mengusirnya. Mungkin hari inilah saatnya. Mengabaikan peringatan Royce, pria itu hanya fiktif bisa jadi otaknya hanya sebesar kacang hijau dibelah dua.

Nathan sedang menonton televisi di sofa, aku melihat pundaknya bergetar ketika tertawa. Aku menghampirinya dengan dua gelas jus jeruk segar, satu gelas kuberikan padanya dan satu lagi kuminum.
"Aku tahu ini pertanda buruk" ujar Nathan sambil menatap gelas di tangannya.
"Kau mengenalku dengan sangat baik" aku sedikit kesulitan menyampaikan ini, "Nathan aku sedang dikejar deadline dan sakit kemarin membuat pekerjaanku terhambat. Dan hambatan lainnya adalah dirimu"
Nathan tersenyum sinis, "tentu saja, sejak dulu aku adalah hambatan bagi karirmu."
"Kau tahu bukan itu maksudku"
"Ya, itu maksudmu!"

Aku beringsut menjauh ke ujung sofa sementara Nathan di ujung lain sofa kami. Aku menggigit bibirku sesaat dan menarik nafas berusaha membuat suaraku setenang mungkin. Aku akan membahas ini lagi dan kupastikan ini yang terakhir. Jangan ada air mata, please!
"Nathan, aku tidak bisa membalas kebaikanmu" ujarku berupa suara tertahan di tenggorokan.
"Tidak lagi, Jane!" sela Nathan tidak sabar.
"Tapi itu benar, selain tidak bisa meluangkan waktu untukmu, aku juga tidak berperan sebagai isteri yang baik-"
"Kau sangat baik di ranjang"
"Nathan, serius, please!" Aku menghela nafas, "aku tidak bisa memberimu anak. Satu-satunya yang harus aku lakukan ketika aku tidak mampu menjadi isteri konvensional. Aku merasa gagal sebagai isteri setidaknya aku harus berhasil menjadi penulis."
"Kita belum mencobanya, Sayang"
"Oh, kita sudah mencobanya, Nathan. Kita sudah sering mencobanya"
"Kita belum konsultasi ke dokter. Kau punya hal lain yang harus dikorbankan untuk mencapai hal lain yang kau inginkan"
"Aku adalah penulis, Nathan. Selamanya seperti itu"
"Kita akan konsultasikan ke dokter, aku yakin menulis bukan faktor yang menyebabkan kau belum hamil sekarang" Nathan melirik ke atas meja di seberang ruangan, botol bir berjejer dengan berbagai merk. Dan puluhan puntung rokok memenuhi asbak kecil yang malang. Aku mengikuti arah pandang suamiku dan seketika aku merasa malu. Ketika Nathan bahkan sudah berhenti merokok aku masih menjadi perokok aktif.
"Bisakah?" tanya Nathan putus asa.
"Entahlah" jawabku tidak sepenuhnya yakin.

***
"Aku harus membicarakan ini pada paman Henry" gumam Nial pada dini hari setelah mereka bercinta. Ia duduk di tepi ranjang membelakangi Vicky dengan punggung bidang terbuka namun ia telah mengenakan celana training hitamnya. Kedua sikunya menyangga pada lutut dan tangannya bersatu di depan mulut. Nial layaknya seorang pemikir keras.
"Bicara apa?" Vicky menaikan selimut hingga menutupi payudaranya dan ia menyangga tubuhnya dengan satu siku. Nafasnya baru saja tenang setelah satu permainan panjang lepas tengah malam tadi.
"Hubungan kita, pernikahan kita. Apakah menurutmu aku harus mulai dari pemerkosaan itu?" tanya Nial begitu putus asa.
"Berhenti berkata itu adalah pemerkosaan" bentak gadis itu gusar.
"Lalu apa?" Nial hanya melirik dengan ekor matanya tanpa benar-benar menatap wajah gadis itu.
"Kau hanya memaksa" Vicky tidak yakin ia memilih kata yang tepat.
"Memaksa hanya nama lainnya. Apakah aku juga harus mengaku tentang keguguran itu?"
"Aku tidak ingin Papa meninggal mendadak"
"Dia pria yang kuat. Tapi kurasa aku akan menjelaskan hal yang penting saja"
"Itu lebih bijaksana."

Sore itu Henry dan Stacy sedang menikmati teh dan kue-kue kecil dengan tenang. Mereka duduk di bangku taman yang terbuat dari kayu yang tetap mempertahankan lekuk pohon aslinya. Henry membawa sebuah majalah holtikultura di tangannya dengan kacamata bingkai tipis di batang hidungnya. Sementara Stacy masih berkutat dengan agenda Mrs. Peterson dan ponselnya, sesekali Stacy menerima telepon, sesekali menelepon. Selama Nial belum menikah Stacy masih mengemban tugas sebagai Mrs. Peterson yang mengadakan jamuan untuk relasi bisnis dan pesta sosial lainnya.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang