Twenty Five

3.6K 296 16
                                        

Untuk kesekian kalinya dalam tiga minggu terakhir Vicky terjaga dalam tidurnya, beruntung Nial memiliki kebiasaan mendekap Vicky sebagai pengganti guling ketika tidur sehingga ia bisa merasakan kegelisahan gadisnya dengan segera.
Gadis itu berkeringat dalam tidurnya dan debar jantungnya sedikit lebih cepat, nafasnya begitu memburu hingga ia terengah-engah.
"Kau baik-baik saja?" Pria itu menjulang di atas tubuhnya sembari menangkup wajah Vicky.
Gadis itu tersentak mundur lebih dalam membenamkan dirinya di antara tumpukan bantal dan selimut dengan mata membelalak. Nial melepaskan genggamannya seketika seolah pipi itu memancarkan panas. Vicky sedang ketakutan padanya.
"Jangan" ujar Vicky, "jangan lepaskan aku, Nial!" dan gadis itu pun mulai menangis.
Nial memeluknya erat, menempelkan pipi Vicky pada dada telanjangnya yang bidang. Sejenak ia menghirup aroma maskulin Nial dan perasaannya jauh lebih tenang. Ia memaki dirinya sendiri dalam hati karena merasakan ketakutan pada Nial sebesar kebutuhannya.
"Aku mengerti, Vicky. Tenanglah"
"Maafkan aku."
Nial memeluk gadis itu berusaha mencari dan menyerap sumberr rasa takutnya namun tidak berhasil tapi paling tidak ia bisa menenangkan gadis itu sementara.

Sinar matahari pagi menerobos celah jendelanya dan menerangi kamar Nial. Vicky mengernyitkan dahinya merasakan kehangatan menerpa wajahnya. Perlahan ia menggerakan tangannya mencari sosok lain di atas ranjang itu.
Kemana Nial?
Gadis itu turun dari ranjangnya dengan kepala pusing karena kantuk namun ia memaksakan dirinya melangkah ke luar kamar untuk mencari Nial. Ia terkejut mendapati pria itu tidur hanya dengan celana panjangnya di sofa. Walau sofa itu cukup nyaman namun mengapa Nial lebih memilih untuk tidur di sofa ketimbang menemaninya di ranjang.
Ia teringat semalam dirinya membuat Nial tersinggung karena telah ketakutan pada pria itu. Vicky menghampiri pria itu dan bersimpuh di samping Nial yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tampak begitu lelah seolah telah melalui hari yang buruk.
Perlahan ia mengelus pipi tegas Nial dan menyisir rambut bandel yang menutupi keningnya. Kelopak mata pria itu bergetar merasakan sentuhan Vicky.
"Victoria" gumam Nial ketika menatap gadis itu.
"Nial, kita harus bicara."
Pria itu terkesiap bangun dan menarik Vicky duduk di sebelahnya, "kuharap sesuatu yang baik untuk didengar pagi hari."
"Nial, mungkin kita bisa mempertimbangkan kembali rencana pernikahan kita?"
"Jawabannya adalah tidak tapi bagaimana pun aku ingin mendengar alasanmu" pinta Nial dengan santai.
"Aku takut keputusan ini tergesa-gesa hanya karena kau merasa bertanggung jawab atas kehamilanku terdahulu"
Nial menghela nafas berat, "aku tidak ingin mendengar ini lagi, Vicky. Aku mencintaimu dan aku menginginkanmu sebesar kau menginginkanku bahkan lebih. Kecuali kau punya alasan lain yang lebih masuk akal aku akan melupakan topik pagi ini."
"Keras kepala" gumam Vicky pura-pura kesal.
"Wanita cenderung ragu ketika hari pernikahan mereka semakin dekat. Tapi pria akan semakin bersemangat. Jadi ceritakan padaku agendamu hari ini"
"Bekerja sebagai asisten Lazarus Johanson di kantor yang sama dengan calon suamiku dimana mantan kekasihnya yang berambut merah berkeliaran dan menggoda calon suamiku sesuka hati. Dan calon suamiku dengan senang hati menanggapi godaannya."
Nial tertawa begitu ringan untuk pertamakalinya pagi ini, "Sayang, kurasa kau melewatkan sesuatu. Gadis berambut merah itu naik jabatan."
"Bagus sekali, merasa bersalah karena mencampakannya, ya?" sahut Vicky sarkastik.
"Hm...mungkin juga. Dan karena kenaikan jabatan itu ia ditugaskan untuk memimpin salah satu divisi di cabang Kuala Lumpur"
"Kuala apa? Divisi apa?" tanya Vicky terkejut.
"Kuala Lumpur, di Asia. Dan dia bisa dimana saja yang cocok dengannya"
"Kau tidak serius membuatnya naik jabatan?"
"Menurutmu?"
"Hanya untuk menjauhkan Celine dari kita?" mata gadis itu melebar tidak percaya, "lalu apa yang akan terjadi pada Lazzy?"
"Aku sudah menawarkan promosi jabatan di cabang Singapura padanya, entah dia mengambil kesempatan itu atau tidak."
"..." Vicky berkerut bingung menatap kekasihnya.
"Jarak Singapura berdekatan dengan Kuala Lumpur jika kau penasaran"
"Jadi benar, mereka berhubungan" gumam Vicky dengan senyum tipis, "sejak kapan?" tanya Vicky lagi.
"Apakah kau cemburu?"
"Nial, please!"
"Sepertinya seluruh penumpang kapal pesiar tersihir dengan kemewahannya, hanya kau yang tidak memanfaatkan momen itu"
"Begitu, ya? Kapal pesiar itu. Jadi kau dan Celine sudah berapa kali tersihir?"
"Berapa, ya? Mungkin tujuh?"
"Ya, Tuhan!" Vicky mendengus jijik.
"Aku bercanda. Sepuluh"
"Aku cemburu sekaligus marah sekarang. Aku akan pergi naik taksi ke kantor dan jangan coba-coba menemuiku di kantor."
Nial tergelak di belakang Vicky. Ia cukup lega karena Vicky bukan sedang meragukannya hanya sejenis sindrom gugup berlebihan menjelang pernikahan.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang