Nineteen

4.1K 297 2
                                        

Lazzy mendekati Nial dan Celine dengan segelas penuh wine berwarna merah. Perilaku yang janggal untuk penikmat wine, atau jika orang tersebut tidak mengerti tata cara menikmati minuman unik tersebut. Ekor mata Nial menangkap pergerakan Lazzy mendekat dengan gelas terisi penuh dan siap menodai baju siapa saja, ia mengambil satu langkah ke kanan tepat saat Lazzy dengan ceroboh menumpahkan seluruh isi gelasnya ke gaun Celine. Gadis itu memekik kesal bahkan nyaris menjerit karena harus melewatkan dansa romantisnya.
"Maafkan-" ujar Lazzy dengan nada menyesal palsu yang langsung disahut oleh Nial.
"Terimakasih, Lazarus!" ia menepuk pundak Lazzy sambil bergerak melewati mereka berdua. Lega karena kebisingan pesta meredam protes Celine.
Lazzy tersenyum singkat sebelum menuntun Celine kembali ke kamar. Rupanya Nial sudah membaca niatnya untuk menumpahkan minuman itu pada Celine dan membebaskan pria itu dari cengkeramannya.
"Lepaskan tanganku, aku tahu kau sengaja melakukan ini. Lihat saja aku akan membuat perhitungan denganmu!" protes gadis itu. Namun, Lazzy mengabaikannya dan tetap menggandeng tangan gadis itu hingga ke kamar.

Nial mencari Vicky dan menemukan gadis itu di saat yang tepat. Seorang pria mabuk sedang melingkari pinggang Vicky. Ia melihat gadis itu menggeliat tidak senang dan berusaha keluar dari dekapannya. Inilah saat untuk menjadi pahlawan bagi Vicky setelah bertahun-tahun mencoba. Ia membebaskan gadis itu dari si pria mabuk dan hadiah yang pantas untuk seorang pahlawan adalah satu dansa romantis bersama 'sang puteri'.

Maka di sinilah mereka berada bagai berdiri di sebuah dimensi mimpi.
Gadis polos itu masih tercengang karena berada di lantai dansa dengan alunan musik lambat bersama pria yang paling ia hindari sekaligus sangat ia inginkan. Terkadang Vicky bersyukur dengan sikap Nial yang keras kepala dan suka memaksakan kehendaknya karena dengan begitu ia bisa melawan kebodohan yang akan ia sesali kemudian.

Vicky menatap pria di hadapannya dengan kekaguman yang tidak sanggup ia sembunyikan. Matanya membulat dan memancarkan sinar hangat ke dalam mata Nial.
"Aku bisa salah paham mengartikan caramu menatapku" ujar Nial.
Vicky mendekatkan tubuhnya mereka hingga wajahnya berada di depan pundak Nial, ia menghirup dengan satu tarikan nafas yang panjang menghirup aroma cologne Nial yang khas. Ia membiarkan pria itu memenuhi benaknya. Merenggut sisa kewarasannya karena malam ini ia tidak ingin berpikir, ia begitu berharap agar Nial tidak menahan diri.
"Kalau begitu" kata Vicky setelah beberapa detik, "aku tidak akan menatapmu." Vicky menyandarkan kepalanya di pundak Nial dengan begitu nyaman mendamba.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan? Kau membuatku bingung, Vicky" gumam Nial kesal.
"Dengarkan kata hatimu, Nial!" gumam Vicky masih menyandarkan kepalanya di pundak Nial.

Nial membuat jarak agar dapat mengamati raut wajah gadis itu. Ia siap menghardiknya dengan sangat kejam jika ternyata Vicky hanya mempermainkannya. Keduanya bertatapan dengan sorot mata sensual dan saling mengunci. Perlahan riuh pesta terdengar begitu samar, mereka berdiri di tengah lantai dansa sendirian, seluruh manusia di sekitarnya lenyap seiring dengan kegaduhan mereka.Nial hanya dapat mendengarkan suara detak jantungnya, detak jantung gadis di hadapannya, juga hembusan nafas mereka yang sensual dan saling memburu.

Mungkin telah menjadi 'kutukan Peterson' untuk mencium gadis mereka di lantai dansa. Setali tiga uang dengan Royce dan Henry, awalnya Nial mencium gadis itu dengan ragu-ragu, ia menggigit bibir bawah gadis itu dan menariknya lembut hingga ciuman mereka terlepas. Kemudian mengulanginya lagi dan lagi dan lagi. Vicky merasakan lidah itu menjelajahi mulutnya dan mereka saling bertukar nafas yang manis. Nial mendekap kepala dan tengkuknya, menahannya agar ia dapat memperdalam ciumannya. Ciuman itu terasa seperti rindu dan putus asa yang menjadi satu kesatuan yang disebut nikmat.

Kepala Vicky seolah berputar-putar dengan sensasi ciuman yang mereka rasakan bersama. Ia tersenyum geli di tengah badai gairah saat mendapati mereka sudah berada di dek luar kapal. Hasrat bodoh membawa tubuhnya bergerak tanpa kendali. Ia mencium dan menerima ciuman Nial dengan gairah yang sama besarnya. Gadis itu bahkan mendongak memberi akses mudah bagi pria itu mengendus di sekitar leher dan dadanya.

Cium aku malam ini, aku membutuhkanmu.

Nial merasakan dada gadis itu bergerak naik turun karena nafasnya yang tersengal-sengal. Vicky merasakan angin menerpa kulitnya dan sadar bahwa gaunnya tengah terbuka hingga ke perutnya. Punggungnya bergidik karena merasakan dingin dari dinding kapal. Dengan nafas cepat memburu ia mengangkat pandangannya ke mata indah Nial. Nial menatapnya dengan begitu bergairah secara berbahaya, sontak membuat Vicky terenyak ngeri. Sekelibat bayangan delapan tahun lalu melintas di benaknya, secara spontan Vicky menangkup payudaranya yang terbuka.

Nial menarik gadis itu ke dalam dekapannya dan mencium puncak kepalanya dengan lembut.
"Aku tidak akan memaksamu" gumam Nial di kepalanya.
"Maafkan aku" ujar Vicky dengan suara bergetar penuh penyesalan, "maafkan aku, Nial!"
Pria itu mengelus punggung Vicky dan meredakan isak tangisnya hingga Vicky merasa aman dalam dekapannya.
"Mencintaimu membuatku lemah dan tak berdaya, Vicky. Namun merelakanmu pergi hanya akan membuatku hampa."
Bingung bagaimana cara membalas ungkapan Nial, ia hanya berucap "Terimakasih!" kata Vicky dengan suara yang sangat lirih.

***

"Apa?" Pria itu memekik frustasi sementara aku sedang melanjutkan tulisanku dengan santai sambil sesekali menikmati Latte dengan sedotan. "Ketika gadis itu akhirnya menyerahkan diri padaku harusnya aku membujuknya dan kami akan bercinta! Mengapa justru aku jadi satu-satunya orang yang menarik diri?" kini pria itu berjalan mondar-mandir di depanku sambil menjambak rambut pendeknya. "Momennya sudah sangat sesuai, asal kau tahu aku bisa bercinta di atas kapal bergerak dengan angin malam menerpa tubuh kami."

Aku mencibirnya, "sifat aslimu ternyata jauh lebih buruk dari sifat yang kuberikan padamu, dasar oportunis licik" aku melanjutkan "Nial, kau dan Vicky tidak ditakdirkan bersama. Sampai kapan pun kau tidak akan pernah bercinta dengannya. Terima saja takdirmu!" kataku santai sambil terus berkutat dengan laptopku.
"tolonglah, Jane. Jika memang aku tidak kau takdirkan bersama dengannya setidaknya biarkan kami menjadi friend with benefit?" pinta Nial.
"Kau menjijikan, kukira kau mencintainya. Ternyata kau hanya terobsesi dengan tubuhnya"
"Aku mencintainya, dan ketika aku tidak bisa memilikinya paling tidak aku dapat mencintainya dengan cara aku bercinta dengannya. Ayolah, Jane."
"Tidak akan! Aku akan melindungi Vicky dari predator sepertimu."
Pria itu menatapku tajam dan sebelum ia membanting pintu tertutup ia berteriak kepadaku, "Dasar wanita kejam!"

Aku tersenyum sembari menggeleng lirih, Nial adalah pria dewasa yang menarik karena masih memiliki sifat anak-anak yang manja. Dia lucu, bukan?
Apa sebaiknya aku memberinya kesempatan bercinta dengan Vicky? Bagaimana menurut kalian?

"Apa yang begitu menarik?"
Aku mendongak ketika mendengar suara suamiku dari ambang pintu, ia mendekat dengan segelas susu hangat untukku. Selama di rumah sakit Nathan begitu mencurahkan perhatiannya padaku, aku berharap bisa di sini lebih lama lagi. Karena dengan begitu aku bisa sedikit lebih lama dengannya.
"Apakah kau bertemu seseorang di koridor?" tanyaku iseng dan pria itu menggeleng.

Aku sudah menduga bahwa mereka hanya berkeliaran dalam benakku. Mereka tidak benar-benar nyata, mereka adalah wujud imajinasiku yang terlalu aktif. Sayangnya, mereka terlalu liar dan berusaha memanipulasiku. Tidak masalah karena akulah 'tuhan' yang menentukan takdir mereka.

"Jadi apa kau ingin pergi ke Bali? Aku akan reservasi hotel dan mencari pemandu wisata" ujar Nathan, ia meraih Latte dari tanganku dan menggantinya dengan segelas susu hangat.
Aku mengernyit heran pada suamiku, "mengapa aku ingin pergi ke Bali?"
"Aku membaca tulisanmu, sepertinya kau penasaran dengan Bali" ujar Nathan sambil menyeruput cepat Latte-ku tanpa sisa. "Kau terlalu banyak kopi. Habiskan susunya!"
Aku menghabiskan setengah gelas susu dalam genggamanku, "Bali, ya?" aku merenung singkat, "aku akan pergi ke Bali."
"Tidak jika tanpaku"
"Terlalu percaya diri" cetusku.

Ia duduk dengan mengambil tempat di belakangku, memposisikan tubuhku di antara kedua kakinya. Punggungku dan dadanya melekat rapat hingga kehangatan tubuhnya menembus pori-pori di setiap inchi kulitku.

Aku berpura-pura mengabaikannya dengan meneguk sisa susu hingga habis namun aku masih menggenggam gelas itu.
"Dokter akan kembali besok pagi untuk kontrol" ujar Nathan.
"Ya, aku tahu" jawabku.
"Dan infusmu sudah dilepas karena perutmu bisa menerima makanan lagi"
"Itu juga aku tahu"
"Kau sudah baikan"
"Jadi?" tanyaku sambil memekik kaget ketika merasakan jemari panjang Nathan menyusup ke dalam kaosku. "Nathan!" sialnya teguran itu terdengar seperti erangan.

Nathan membalik tubuhku, aku duduk di pangkuannya dengan kedua kakiku melingkari pinggangnya.
"Kita bisa melakukannya di sofa ini sebagai pemanasan."

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang