Aku sedang duduk bersantai menghadap keluar melalui jendela dengan secangkir teh dan beberapa keping biskuit. Aku menjalani kehidupan normal sekarang. Jika biasanya aku bangun ketika menjelang siang, kini aku bangun pagi pada waktu yang relatif sama. Jika dulu aku sering melewatkan sarapan pagi, sekarang aku teratur menjaga pola makanku. Dan jika biasanya aku tidur dini hari atau bahkan ketika matahari baru saja terbit di ufuk timur, sekarang tidak lebih dari pukul sebelas malam Nathan sudah membawaku ke atas ranjang.
Aku melihat loper koran melemparkan koran tergulung ke arah halaman kami dan juga halaman tetangga kami. Kemudian anak-anak bersepeda dengan cekikikan tawa yang sumbang saling berkejaran. Ternyata selama ini aku melewatkan pemandangan pagi begitu menakjubkan. Sangat menenangkan dan aku menyesal untuk pagi-pagi terdahulu yang kusia-siakan.
Aku melihat suamiku masuk ke halaman rumah, dia selalu menyempatkan diri untuk lari pagi di sekitar blok rumah kami. Aku menghitung berapa detik yang ia butuhkan untuk mencapai tempatku duduk sekarang. Dan aku bertaruh untuk tujuh detik.
"Pagi sayang!" ujar Nathan, ia sampai pada detik kelima dan aku tersenyum untuk menyembunyikan kekecewaanku karena salah menebak tantanganku sendiri.
"Ikutlah denganku!" kata Nathan sembari meraih tanganku.
"Ada apa?" tanyaku penasaran. Apakah ini hal yang baik atau hal yang buruk?
"Pasangan McArthur mengundang kita untuk minum teh di rumahnya, mereka ingin mengenalmu. Kau belum menyapa sejak mereka pindah kemari."Benar juga, sejak mereka pindah kemari aku benar-benar sibuk dengan tulisan dan program kehamilanku sehingga aku tidak sempat bertukar sapa. Aku memutuskan untuk istirahat sejenak dari kegiatan menulis dan menjauhi laptop sama sekali. Jadi, mari kita mulai dengan menyapa tetangga baru kita sekarang, mungkin setoples kukis kurma bisa membuatku lebih mudah diterima.
Nathan menggandengku hingga ke depan pintu rumah tetangga baru kami yang ia kenal melalui ajang saling debat masalah tempat sampah. Setelah beberapa saat menunggu akhirnya pintu dibuka. Aku menganga melihat pasangan McArthur yang menyambut kedatangan kami.
Itu Nial dan Vicky!
Ya, Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Apakah aku sedang berilusi sekarang?Nathan harus meremas tanganku dan kesadaranku kembali. Aku tidak percaya dua sosok yang sedang berdiri di hadapanku ini nyata hingga mereka memperkenalkan diri.
"Noah" kata si 'Nial', "ah, ini isteriku-"
"Dakota, kau boleh memanggilku Cody jika tidak keberatan" ujar si 'Vicky'.
Mereka-termasuk Nathan-menatapku bingung karena aku tidak segera merespon sambutan hangat mereka. Akhirnya Cody dengan canggung memutuskan untuk mempersilahkan kami masuk."Maafkan aku" seruku tiba-tiba, "kami hanya punya kukis kurma, semoga kalian berkenan" aku menyodorkan toples klasik dengan tutup berlapis kain yang diikat dengan tali jerami.
Cody tampak ragu sebelum menerima pemberianku. Tak apalah, wajar saja sebab aku baru saja bersikap aneh kepada mereka."Kau baik-baik saja?" bisik Nathan ketika kami melangkah masuk mengikuti si empunya rumah.
"Aku sangat takjub dengan tetangga baru kita dan aku mungkin akan lebih terperangah lagi nanti"Suasana minum teh kami sangat canggung, aku yakin akulah penyebabnya. Masing-masing dari kami takut untuk mulai bicara dan hanya menyesap teh lagi dan lagi. Hingga aku mulai tidak sabar melewati basa-basi yang bahkan belum dimulai akhirnya aku menginterupsi keheningan kami.
"Maafkan aku jika aku bersikap sedikit aneh, aku yakin ini adalah pertemuan pertama kita, kan?" aku mencoba memastikan.
"Tentu, Mrs. Mayer-" 'Nial' bernama Noah menjawabku dengan sangat yakin.
"Jane" selaku cepat.
"Baiklah. Jane" ujar Noah.
"Ini sangat aneh, ada yang mengganggu pikiranku. Tapi apakah aku boleh bertanya bagaimana-, maaf, kau mendapatkan luka di kepalamu itu?" aku melirik ragu pada bekas luka kecil di kening Noah tepatnya batas antara rambut dan dahi.
"Sayang, kurasa itu bukan topik basa-basi yang tepat" gumam Nathan sembari meremas tanganku.
"Ah, benar juga. Lupakan saja" aku mengibaskan tanganku dan menyesal.
"Tidak masalah. Basa-basi tidak efektif untuk saling mengenal. Aku akan menceritakan luka ini, kuakui luka ini menarik. Ceritanya sedikit sulit dipahami, tapi jika kukatakan bahwa aku mendapatkan luka ini karena sinar laser apa kau akan percaya?" pria itu menatapku skeptis.
Aku tercengang dengan jawaban Noah, apa dia pikir kami hidup di dunia dimana Superman dan Lex Luthor berkeliaran secara bebas? Aku coba memastikan apakah pria ini sedang meledekku atau tidak. Namun pria itu hanya tampak putus asa dan akhirnya aku mengangguk mantap, "tentu saja, aku sangat percaya itu bisa terjadi. Beberapa orang memang mengalami hal-hal di luar nalar, bukan?" aku mulai meracau dan pasangan McArthur ganti terperangah menatapku.
"Seperti menikahimu, Jane" sela Nathan, "menikahi Jane adalah salah satu hal di luar nalar yang pernah kualami."
"Ok, itu pujian atau lelucon?" Cody angkat bicara untuk pertamakalinya setelah kami duduk, gadis itu tampak begitu lugu bahkan ia serius bertanya pada Nathan apakah suamiku menyesal telah menikahiku atau tidak.
Aku tertawa, "lupakanlah, Nathan memiliki selera humor yang kering. Jadi apa pekerjaanmu, Nial? maksudku Noah." aku mengetuk bibirku dengan ujung telunjuk sebagai koreksi.
"Aku CMO disebuah perusahaan multinasional" mata pria itu tersenyum bijaksana.
"Woah, itu luar biasa. Tentunya bukan perusahaan keluarga, bukan? Oh, maafkan aku sedikit meracau, aku jarang menghabiskan waktu dengan bersosialisasi, ini agak aneh bagiku."
"Tak apa, Jane. Tapi, ya, perusahaan itu milik ayah angkatku."
Ia menatap mataku berusaha menebak isi pikiranku sementara aku menatapnya seolah aku sedang berteriak padanya 'Apa? Itu tidak mungkin'. Aku menurunkan pandanganku dengan canggung dan aku baru sadar jika cangkirku telah kosong.
"Tambah lagi, Jane!" ujar Cody ramah sambil mengisi ulang cangkir di tanganku.
Aku masih dalam kondisi percaya tidak percaya ketika menggumamkan terimakasih kemudian aku menyesap teh itu seolah tanganku bergerak sendiri.
"Jadi kalian menikah" gumamku pada diri sendiri.
"Akhirnya, ya!" jawab Cody dengan penuh cinta menatap ke dalam mata suaminya, "bukan sesuatu yang mudah untuk diraih, Jane" ujar Cody penuh makna.
"Kelihatannya begitu" gumamku lagi sambil menunduk menatap cangkir dalam genggamanku.
"Ah, sekarang giliranku" ujar Nathan di sampingku, ia menangkup tanganku yang bebas, "isteriku adalah seorang penulis, dan sekarang ia sedang libur dari aktivitas itu karena Jane sedang menjalankan program kehamilan."
"Woah, itu bagus, Jane. Nathan kuharap kau lebih mengerti emosinya yang berubah-ubah, hamil bukan perkara mudah" sahut Cody antusias.
Selanjutnya situasi mencair karena Nathan sangat pandai membawa topik-topik yang menarik untuk dibicarakan sekali lagi aku bersyukur karena memilikinya untuk mendampingi diriku yang kaku.Kami terlalu asyik berbincang, Cody menawarkan untuk makan siang bersama namun nampaknya kami berdua-aku dan Cody- begitu kelelahan sehingga aku memutuskan untuk pulang dan mengusulkan lain waktu. Aku dan Nathan bergandengan tangan meninggalkan rumah itu sementara pasangan McArthur memperhatikan kami dari ambang pintu rumahnya setelah melambaikan tangannya. Ketika sampai di tepi jalan aku sempat menoleh pada mereka. Pasangan muda itu sedang berciuman dan tangan Noah mengelus lembut perut Cody membuatku aku tersenyum tipis.
Kemudian aku teringat bahwa aku belum menuliskan kata "TAMAT" pada bagian akhir karanganku. Kurasa aku bisa menambahkannya sekarang. Hidupku tidak bisa disebut biasa-biasa saja. Noah McArthur, tetangga baru kami adalah sosok Nial Peterson di dunia nyata bahkan lengkap dengan luka di kepalanya. Tubuh, wajah, hidung, mata, segalanya adalah Nial yang pernah mendatangiku. Sedangkan Dakota, isterinya yang kutebak sedang hamil muda adalah Victoria dengan gaya rambut berbeda. Jika Vicky berambut panjang, Cody lebih segar dengan gaya rambut pendek sebahu. Dengan mengamati mereka sekarang, aku seperti sedang membaca lanjutan dari naskah yang kutulis sendiri dalam versi yang berbeda.
"Ah, Nathan, kurasa aku akan menulis sebentar sebelum makan siang."
"Baiklah, jangan terlalu lelah. Aku ingin memasak untukmu."
"Anda tenang saja, Monsieur!" aku menjawab dan dihadiahi kecupan ringan di ubun-ubun yang sanggup membuat leherku bergidik.Baiklah sekarang aku akan menambahkan kata "TAMAT"
Tapi bagaimana jika kutambahkan dengan...
NB:
Bagaimana kalau ceritanya diakhiri seperti ini saja? Tidak sepenuhnya sad ending, kan?
Atau mungkin kalian suka jika diakhiri seperti chapter berikut...
Next Chapter, ya!Salam BeeStinson.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inside The Book
RomanceGadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan kesempatan yang ada hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.