Fifteen

4.2K 347 4
                                    

Lazzy menyelesaikan tugas-tugasnya dengan santai karena masa sibuk telah berakhir-setidaknya untuk divisinya sendiri. Nial selesai mengaudit bagiannya dan tidak ada masalah berarti hanya pembenahan sana-sini yang akan dibebankan pada asistennya, Vicky. Tentu saja ia akan membantu meringankan tugas kekasihnya jika tugasnya sendiri telah rampung-yang nyatanya belum.

Lazzy melirik pada kalender meja yang terletak di sebelah layar monitor. Kemudian ia mendongak pada Vicky yang mana mejanya terletak searah dengan kalendernya.
"Apakah akan ada libur panjang minggu ini?" tanya Lazzy seolah ia baru saja menyadari tanggal merah pada hari Jumat.
"Ya, Anda benar Mr. Johanson" jawab Vicky dengan santai menggoda kekasihnya. Jemarinya tetap menari lincah di atas keyboard sementara kepalanya menoleh bergantian antara monitor dan kertas di atas meja.

Lazzy menghentikan pekerjaannya sesaat. Ia mencoba memikirkan sesuatu dengan begitu serius.
"Sayang!" panggil Lazzy dan Vicky hanya merespon dengan mata yang menatap kepadanya. "Sejak kita pindah ke sini, kita langsung disibukan dengan berbagai aktivitas mulai dari urusan kantor hingga urusan tempat tinggal"
"Jadi?" tanya Vicky ragu.
"Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat?"
"Berdua, ya?"
"Kau ingin mengajak orang lain?"
"Tidak, hanya saja-"
"Kau bisa memegang kata-kataku bahwa aku tidak akan memaksamu bercinta jika itu yang kau cemaskan" ujar Lazzy datar.
"Oh" Vicky diserang rasa bersalah karenanya, "baiklah."

Lazzy berkutat dengan komputernya mencari referensi liburan yang cocok untuk mereka berdua.
"Bagaimana jika kita ke Maldives? Kudengar di sana adalah tempat yang romantis." usul Lazzy.
Vicky mengernyit sesaat tidak yakin jika Maldives adalah tempat yang cocok lagi pula di sana terlalu intim untuk berdua.
"Hm, kita tidak bekerja untuk menghabiskan seluruh tabungan dengan berlibur, bukan? Maldives cukup mahal" ujar Vicky berkelit.
"India?" sahut Lazzy, rupanya pria ini telah mengantisipasi penolakan Vicky "Aku mempunyai seorang kenalan namanya Brandon Sharma dia akan menjadi pemandu wisata kita di sana" kata Lazzy dengan begitu optimis.
"Baiklah, tapi mungkin kita bisa mencari alternatif lain jika 'kawan Brandonmu' itu berhalangan"
"Hm, wisata alam yang menarik dan terjangkau." Lazzy kembali mengamati layar monitornya dengan begitu teliti, matanya menyipit membaca setiap ulasan melalui sebuah blog travel.
"Bali!" cetus Lazzy riang.

Vicky bertanya hanya dengan mengernyit pada kekasihnya.
"Di sini banyak pelancong yang membuat ulasan bahwa Bali seperti surga bagi pecinta surfing, sejujurnya aku tidak bisa surfing tapi kurasa kita bisa menikmati pantainya yang menakjubkan" Lazzy menjelaskan dengan provokatif.
"Apa tadi namanya?" tanya Vicky tidak yakin.
"Bali" jawab Lazzy dengan keyakinan penuh, kemudian keyakinannya mulai goyah, ia menambahkan "nama negaranya Bali, bukan?"
Vicky mencoba mengingat nama itu dan ia menggeleng ragu, "kurasa nama negaranya bukan Bali."

Lazzy menatap gadis itu seolah ia baru saja tampak sangat bodoh di hadapan kekasihnya sendiri. Ia menggerakan jemarinya lagi di atas papan ketik itu.
"Indonesia!" cetus Lazzy lega dan bangga karena berhasil menemukan negara pemilik tempat bernama Bali ini.
"Terdengar familiar" Vicky mengangguk sementara benaknya mulai bekerja, "ah, ya. Beberapa pelancong Australia itu."
"Pelancong Australia apa?" tanya Lazzy dengan sorot mata curiga.
"Kau tidak tahu? Kejadian aksi teror itu cukup menarik perhatian dunia. Tapi tenang saja kurasa pemerintah setempat semakin luar biasa dalam menangani aksi teror di negara mereka buktinya banyak orang asing yang pergi ke sana, bukan?"
"Kau benar, teror tidak menyurutkan semangat seseorang untuk berlibur" ia mengembalikan fokusnya pada layar monitor, "kurasa gaji satu bulan dipotong biaya ini-itu cukup untuk kita liburan mewah di sana"

Vicky terkesiap dari bangkunya, "gaji kita berdua? Untuk libur tiga hari di negara asing?"
"Gajiku!" Lazzy menekankan dengan sungguh-sungguh. "Hanya gajiku!"
Vicky bergerak tidak nyaman sekarang, "kurasa itu tidak adil."
"Kau menolak segala sesuatu yang ingin kulakukan untukmu, apa kau masih belum bisa menerimaku?" tanya Lazzy dengan nada penuh pengertian.
"Bukan begitu" jawab gadis itu lirih.
"Biarkan aku membuat keputusan kali ini, oke?"
"Oke" jawab Vicky dengan senyum tanda menyerah.

"Ah, Labuan Bajo!" pekik Lazzy setelah membaca halaman lain dari blog travel itu.
"Dimana lagi itu?"
"Masih satu negara dengan Bali, di sini disebutkan letaknya lebih ke timur dan aksesnya lebih sulit karena masih terlindungi dari pembangunan besar-besaran. Mereka memiliki pemandangan bawah laut yang indah"
"Oh, aku tidak bisa berenang" sahut Vicky.
"Aku juga, namun jangan cemas mereka memiliki peralatan yang cukup memadai untuk menyelam."
"Terdengar seperti wisata untuk pecinta alam" komentar Vicky skeptis.
"Di sini juga disebutkan bahwa Rossi pernah berkunjung ke sana untuk menikmati alam dan resto Italia milik kerabatnya"
"Apakah Rossie itu seseorang yang kau kenal?" tanya Vicky curiga.
Lazzy memutar bola matanya dan tersenyum, "46, Sayang!"
"Oh" gadis itu terkesiap malu, "Valentino. Baiklah jika kita ingin mengikuti jejak 46. Tapi kurasa Bali cukup menggiurkan"
"Ya, Sayang, ya. Bali!"
Vicky mengulas senyum pada kekasihnya sebelum melanjutkan pekerjaannya.

Gadis itu tengah menikmati waktu istirahatnya sambil mendengarkan radio di kamarnya. Matanya terlalu lelah untuk membaca atau menonton acara tv. Dan apartemennya terlalu sepi tanpa hiburan, maka radio adalah pilihan terbaiknya saat ini.

Ia baru saja mengoleskan masker di seluruh wajahnya dan sekarang ia hanya perlu menunggu masker itu kering untuk dikelupas.

Radio sedang menyanyikan lagu tua Summer Night dari Grease dan menjadikan suasana begitu nyaman hingga dering panggilan telepon mengusik ketenangannya. Ia membaca nama 'Lazarus' pada ponselnya dan saat itu ia sadar belum mengubah nama kekasihnya pada ponsel dengan nama yang lebih intim. Vicky berpikir untuk mengubah nama itu setelah panggilan ini.
"Hall" ujar Vicky bermaksud mengucapkan 'Halo' hanya saja masker yang mulai mengering menahan pergerakan bibirnya.
"Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya suara dari seberang telepon dengan nada cemas.
"Hm! Kku hedeng pakai maskr" jawab Vicky dengan mulut terkatup rapat.
"Oh, aku paham maksudmu. Kau sedang menggunakan masker, kan?"
"Hmmm!" jawab Vicky dengan suara bergetar karena tawa tertahan.
"Baiklah, dengarkan aku, oke? Rencana liburan ke Bali kita...batal" ujar Lazzy dengan hati-hati. "Tapi kau tenang saja" pria itu buru-buru menambahkan, "kita akan berlibur di atas kapal pesiar, sebuah kapal pesiar baru mengadakan promo liburan selama tiga hari. Apa kau setuju?"
"Hm!" Vicky menjawab.
"Kuartikan 'hm' sebagai setuju" ia melanjutkan, "berita buruknya, stateroom kelas ekonomi habis, bahkan tidak ada kabin yang tersisa. Tapi berita bagusnya...Nielson menawarkan suit room mewahnya untuk kita. Dia menyewa satu suit room mewah yang berisi dua kamar. Aku akan membayar separuhnya untuk kita, kau tenang saja"
"Hm!!!" ujar Vicky dengan nada tinggi.
"Wow, apakah itu artinya kau sangat bersemangat? Baiklah, aku akan memaksa Nial membiarkan aku membayar separuh biayanya walau aku tidak yakin dia mau menerimanya"
"Hm! Hm!" gadis itu menjawab dengan nada panik sambil menggeleng sia-sia. Siapa yang bisa melihatmu menggeleng gadis bodoh.
"Baiklah, akan kuhubungi lagi nanti. Sekarang aku sedang di klub bersama Nielson dan Celine. Bye, Sayang!"
"Hmmm!!!" maksud Vicky adalah 'tunggu!!!'.

Vicky menatap panggilannya terputus dengan wajah kesal. Namun ia tidak mungkin membatalkan tawaran itu setelah menyetujuinya, Nial atau Celine pasti akan curiga dengan alasan yang akan ia berikan.

Gadis itu menurunkan satu per satu kakinya ke lantai dan berjalan menuju meja rias. Ia duduk memandang maskernya yang berkerut dan hatinya semakin kesal. Percuma!

Setelah menutup teleponnya, Lazzy menggeleng dengan senyum geli.
"Apa yang membuatmu tersenyum? Apakah Vicky menjanjikanmu super sex karena berhasil mendapatkan kamar di kapal pesiar" tanya Celine dengan candaan lancang dan hanya ditanggapi Lazzy dengan senyum malu.
"Kurasa dia tidak sabar menantikannya, ia lebih bersemangat dengan gagasan ini dari pada ide pergi ke Bali" ujar Lazzy. "Tapi" lanjutnya, "dia ingin aku membayar separuhnya, dia tidak ingin kau membayar penuh untuk kami." Lazzy menyelesaikan kalimatnya dengan senyum kaku.
"Kita bicarakan masalah biaya berdua saja, tidak di depan seorang wanita" ujar Nial dengan raut wajah tak terbaca.

Inside The BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang