[14]

2.8K 198 18
                                    

"Kamu kenal anak saya?" pertanyaan yang dilontarkan asisten pribadi nenek Dara itu berhasil membuat Devan bahkan Daren yang ikut tercengang.

"Eh ada oma. Maaf oma Abi datangnya bikin kalian semua kaget yah? Habis Devan gak masuk sekolah tadi," ujar Gaby yang memasang ekspresi cemberutnya. Daren begitupun Devan masih bingung dengan apa yang terjadi.

"Abi, kamu kenal Devan juga?" kini wanita paruh baya itu yang melontarkan pertanyaan. Gaby mengangguk. Dia langsung berdiri di samping Devan. Kemudian dia menggenggam erat tangan Devan. Daren yang melihatnya bahkan bingung harus menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Dia itu pacarnya Abi. Dan, oma kenal sama Dara yah?" rupanya gadis itu belum tau tentang Dara yang sebenarnya.

"Dia cucu saya," ujarnya. Disamping itu Daren tampak kesal sambil menatap Devan seolah ingin menanyakan, 'Lo beneran brengsek atau munafik?'

Namun Daren berusaha menahan emosinya saat ini. Gaby tiba-tiba terkekeh. Mengundang tanya mereka yang ada di dalam ruangan itu.

"Jadi dia cucu oma yang pembawa sial itu," mata wanita tua itu langsung melotot perihal mendengar ucapan Gaby.

"Lancang kamu yah? Keluar dari ruangan ini sekarang!" wanita tua itu mengusir Gaby. Asisten pribadi yang juga adalah ibu dari Gaby itu langsung menarik tangan Gaby untuk keluar dengannya dari ruangan itu. Awalnya gadis itu tidak mau keluar sebelum Devan ikut dengannya. Namun akhirnya dia keluar juga karena berhasil dibentak Devan.

Wanita tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia pacar kamu?" rupanya pertanyaan itu dilontarkan untuk Devan. Daren menatap tajam Devan, seolah sekali lagi dia ingin memastikan apa yang memang harus dipastikan. Dan anggukkan dari Devan menjawab semuanya. Benar-benar tidak disangka.

"Semestinya kamu tau mana yang pakai hati dan pakai nafsu untuk menunjukkan rasa sayang mereka. Oma pikir kamu memang semestinya harus tau," wanita tua itu tersenyum. Pandangannya beredar ke arah Daren sekarang.

"Kamu sahabat Dara juga?" tanyanya. Daren menggeleng. Devan menautkan keningnya, bingung. Kemudian Daren tersenyum.

"Saya orang yang dia sayang, oma." wanita tua itu terkekeh. Devan bisa saja membuat wanita tua itu tersenyum. Namun sejauh ini, Daren adalah orang yang pertama kali membuatnya tertawa lagi setelah sekian lamanya.

"Namanya juga sahabat, kan? Pasti saling sayang juga." kini Daren yang beralih terkekeh.

"Banyak yang bangga punya seorang sahabat. Jelaslah, karena mereka yang selalu ada disaat kita butuh. Tapi kadang mereka hanya berbangga dan lupa arti sesungguhnya dari kehadiran seorang sahabat itu apa."

Devan terdiam mendengar ucapan Daren. Rupanya ucapan itu memang diarahkan untuknya. Sedangkan wanita tua itu tidak berhenti dari kekehannya.

"Dara memang pantas sayang sama kamu. Kamu laki-laki yang baik. Dan juga, selera humor kamu juga baik." Daren hanya mengangguk-angguk saja. Bingung juga apa yang dilakukannya sehingga wanita tua itu sangat bahagia berbicara dengannya.

"Yasudah. Oma pergi dulu. Ada yang harus oma urus. Kabarin oma kalau Dara sudah sadar. Oke?"

"Baik, oma." ujar mereka berdua. Kemudian wanita tua itu keluar dari ruangan itu. Kini tinggal Devan dan Daren lagi. Mereka menatap Dara yang masih tak sadarkan diri.

"Lo jagain Dara dulu. Gue ada urusan. Jangan lo bentak dia kalau dia udah sadar. Ngerti?" peringat Daren menatap tajam ke arah Devan. Devan hanya diam saja. Setelah itu Daren keluar.

***

Daren menyalakan mesin motornya. Dia menatap langit Jakarta yang cukup cerah hari ini. "Bahkan langit cerah hari ini, Ra. Lo kapan sadarnya?" ujar Daren menatap ke atas langit. Dia kemudian memakai helm dan melaju pergi sejenak dari kompleks rumah sakit itu.

"Buat gue yakin kalau yang gue rasain sekarang, sama kayak yang yang lo rasain,"

Ucapan Dara beberapa hari yang lalu terngiang kembali di ingatan Daren. Seolah ucapan itu menghantui pikirannya terus. Masalahnya ucapan itu tidak menghantuinya hari ini saja. Bahkan sepanjang hari sebelumnya, Daren bergelut dengan pikirannya mencoba menyederhanakan ucapan Dara itu yang seolah seperti soal matematika yang paling sulit di dunia.

Dan sambil memikirkan ucapan itu, akhirnya Daren berhenti di depan rumah milik Jaden. Sahabat-sahabatnya sedang berkumpul di situ. Setelah dikeluarkan dari kantor Pamong Praja pagi tadi, mereka hanya menghabiskan hari mereka disitu.

"Wihh, yang habis ngurusin pacarnya yang lagi sakit udah balik," celetuk Kenneth saat Daren menghampiri mereka yang tengah bermain PS.

"Belum resmi Ken," ujar Daren membuat mereka yang ada disitu tertawa.

"Ya diresmiin dong, Ren. Entar kalau diembat Devan gimana?" mata Daren melotot. Dia kemudian melempar guling yang ada di sofa dekat situ.

"Gak lucu bangsat," ucap Daren, ketus.

Daren kemudian duduk di sofa menatap sahabat-sahabatnya itu yang mulai asik kembali dengan permainan mereka.

"Yakinin cewek tentang perasaannya sendiri gimana yah?" Daren bertanya pada mereka. Mereka sejenak melihat ke arah Daren. Kemudian mereka saling tatap, dan akhirnya tertawa.

"Wah lo bener-bener udah cinta mati ama Dara yah?" tanya Jaden.

"Sampai segitunya lo mikirin hal begituan," imbuh Dimas.

"Yakinin perasaan cewek yah?" untung saja ada yang merespon baik pertanyaan Daren kini.

"Iya Raf. Lo tau?" Daren bertanya dengan sangat antusias pada Rafael.

"Lo gak PHP dan selalu buat dia nyaman karena lo," tutur Rafael.

"Gitu yah?" Rafael mengangguk. Daren kemudian bergelut lagi dengan pikirannya. Soal PHP atau pemberi harapan palsu sudah pasti tidak akan pernah terjadi. Tapi soal Dara nyaman karena dirinya sendiri? Memangnya Daren bisa tau sendiri? Tidak semudah itu, kan?

"Nah, gini aja Ren," Dimas tiba-tiba mendapat ide yang seolah cemerlang.

"Apaan?" Daren mengangkat alis kirinya.

"Gimana kalau kita hibur dia bentar malam. Bawain dia makan malam gitu," saran Dimas tampaknya yakin dengan ide cemerlangnya itu.

Daren tersenyum, "Boleh juga. Dara pasti suka. Yaudah nih kartu kredit gue," Dimas terkekeh.

"Oke, oke. Kelar main PS, kita nyabut nyari makan malam."

"Makan malam Dara, bukan lo pada yah?"

"Ah pelit lu,"

"Lu gak modal."

***

Sejak Daren keluar, yang hanya dilakukan Devan adalah terus menatap Dara.

"Gue berlebihan banget ya Dar? Segitunya gue buat lo sampai kayak gini? Gue emang belum tau arti sesungguhnya kehadiran gue buat lo. Yang ada gue nyakitin lo doang," Daren berusaha menahan rasa sedihnya itu dan berusaha untuk tegar.

"Cepat sembuh, Dar. Walaupun pas lo udah sadar gue gak mungkin ngomong lagi sama lo. Gue kan gak pantes buat lo," ucap Devan lirih.

Setelah itu dia memilih duduk di sofa kecil ruangan itu. Dia memilih beristirahat sebentar.

"Ren..."

XXXXXX

Mohon vote dan komennya yah, readers?? Btw dapet salam dari Daren nih. Dia sayang kalian semua katanya :D tapi ttp Dara sih di dlam hati 😝😝

SAYA [Stay As You Are] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang