[40]

2.5K 178 12
                                    

"Ya udah, kita ke rumah sakit sekarang." ucap Dara tampaknya sangat cemas setelah mendengar ucapan Daren barusan.

Dara menarik tangan Daren untuk segera ke rumah sakit. Namun rupanya Daren malah menahan Dara untuk menghentikan aksinya menarik tangan Daren. Hal itu tentu saja membuat Dara tidak habis pikir.

"Kita gak usah ke sana," ucap Daren, datar.

Dara menjadi tambah bingung dengan maksud ucapan Daren, "kenapa gak usah? Kamu pasti sedih kan Ayah kamu kecelakaan? Apa Ayah kamu buat kamu kecewa?"

Daren mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya lagi. Dia sangat ingin melihat keadaan Ayahnya. Namun apa yang dilakukan Ayahnya itu sudah keterlaluan, pikir Daren.

"Ayah selingkuh sama mantan pacar aku sendiri, Ra. Bunda pasti tau hal itu dulu. Mungkin itu alasannya Bunda, bunuh diri. Semestinya aku emang harus tetap di sini. Gak usah liatin keadaan Ayah!"

Mata Daren berkaca-kaca. Perlahan air mata anak itu menetes. Dengan cepat dia menghapusnya dan membalikkan badannya menghadap belakang. Mendengar ucapan Daren itu, membuat Dara cukup terkejut. Tapi bagaimana mungkin Ayahnya yang begitu mencintai Bundanya sampai melakukan hal itu? Itu bukan didasari atas dasar kesengajaan, pikir Dara.

Dara lalu memeluk Daren dari belakang, "kamu pernah bilang alasan taman bermain Bunda kamu ditutup karena Ayah kamu ingin mengenang selalu kepergian Bunda kamu. Jadi, kamu bisa pikir sendiri seberapa besar rasa cinta Ayah kamu itu buat Bunda kamu. Apa Ayah kamu benar-benar selingkuh atau enggak, aku yakin itu bukan suatu kesengajaan. Kamu harus dengar penjelasannya dulu, baru menyimpulkan semua hal. Jangan pakai pemikiran kamu sendiri, Ren." 

Daren menggenggam dua tangan mungil yang memeluknya. Gadisnya ini lagi-lagi mengucapkan hal yang bijak. Bagaimana bisa dia membantah ucapan Dara, apa lagi ucapannya itu patut dipertimbangkan memang.

"Putri angsanya Daren jadi bijak lagi hari ini. Jadi, apa putri angsa mau temenin Daren ke rumah sakit?"

Dara terkekeh mendengar ucapan Daren. Dia lebih mengeratkan pelukannya, "iya, gula aren!"

"Ra, aku gak panggil kamu cabe tengil loh."

"Emang siapa yang nyuruh?"

"Pokoknya aku harus dikasih panggilan sayang juga."

"Ya gula aren aja."

"Enggak."

"Ren, kamu kok nyebelin sih?"

"Ya tapi kamu kok yang jadi marah sama aku?"

"Tau ah. Ayok ke rumah sakit!"

"Iya, cabe tengil!"

"Gula aren!"

"Serah deh, ayok!"

***

Devan masih berada di ruangan ber-aroma obat-obatan itu sejak hampir sebulan yang lalu. Cukup membosankan memang. Dia hanya membaca buku seharian, menerima tindakan paramedis setiap harinya, dan kadang dia terjaga semalaman karena sakit yang dideritanya.

Dia mulai ragu sekarang. Apa dia masih bisa sembuh? Apa dia masih bisa mengikuti ujian akhir? Jika Sang Pencipta berkenan, Devan sangat ingin mengikuti ujian kelulusannya. Setidaknya itu yang menjadi cita-citanya untuk saat ini.

"Devan!!" seruan Gaby saat dia baru saja masuk ke dalam ruangan itu membuat Devan sedikit kaget.

Ekspresi Gaby kali ini tampaknya sangat bahagia, entah apa yang sedang terjadi padanya. Devan tersenyum simpul menatap gadis itu. Seiring berjalannya waktu, dia mulai terbiasa menghabiskan waktunya bersama Gaby. Walaupun begitu, masih sulit baginya untuk melupakan perasaannya itu untuk Dara. Bahkan sebenarnya, Dara masih tetap ada di dalam lubuk hatinya Devan. Tak pernah berkurang sama sekali.

SAYA [Stay As You Are] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang