[32]

2.8K 168 1
                                    

Ruangan beraroma obat-obatan masih tercium kuat bagi Devan yang ada di dalam ruangan itu. Tepatnya sudah seminggu dia terbaring lemah di ruangan itu, dengan berbagai bantuan peralatan medis. Menurutnya, keadaan tubuhnya saat ini sudah cukup membaik. Namun tetap saja para medis tetap menahannya di tempat menyebalkan ini.

Suara pintu terbuka, beriringan dengan langkah kaki seseorang, terdengar di ruangan itu. Ruangan itu memang sedang sepi, dikarenakan kedua orangtua Devan yang harus bekerja, dan adik perempuannya yang masih masuk sekolah. Mereka akan kembali saat sore hari. Namun rupanya, ada seseorang yang ingin menemani dirinya di siang ini.

"Bi?" gumam Devan, saat yang didapati adalah Gaby yang masih memakai seragam sekolahnya, sambil membawa beberapa buah segar untuk Devan. Gadis itu tersenyum, lalu menaruh bingkisan buah itu di meja. Dia kemudian menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Devan.

"Udah minum obat?" tanya Gaby sambil mengenggam tangan Devan.

"Udah kok. Baru pulang sekolah?" Devan kini balik bertanya.

Gaby mengangguk, "Iya. Apa di sini ngebosenin?" Gaby melihat keadaan ruangan itu yang begitu tenang.

"Lumayan. Biasanya, kalau Dara yang di sini, pasti dia yang bikin semua tempat sepi jadi ramai aja. Dia gak pernah suka sepi, tapi aku lebih tenang kalau tempatnya teduh gini. Ya walau agak ngebosenin sih," ujar Devan, sesekali tersenyum simpul mengingat tingkah lucu Dara.

Tanpa disadari, Gaby melepas genggamannya di tangan Devan. Gadis itu tersenyum kecut, mendengar ucapan Devan. Tampaknya, kehadiran Gaby tidak begitu berkesan.

"Van, kamu cinta Dara?" kini Gaby bertanya dengan sangat hati-hati. Suaranya sedikit bergetar, tampaknya ingin menahan tangis yang ingin pecah saja.

Devan melihat ke arah Gaby yang kini tidak tersenyum lagi. Dia baru sadar, rupanya dia salah bicara. Namun bagaimanapun, pikirannya memang sedang penuh tentang Dara. Bukan hari ini saja, setiap haripun juga begitu.

"Apa aku berhak? Cinta sama dia memang bisa jadi hak buat aku, karena manusia bebas memilih orang yang ingin dia cintai. Tapi kalau berangan supaya dia cinta juga sama aku, rasanya gak akan pernah terjadi." Devan menundukkan kepalanya.

"Jadi maksudnya, kamu emang cinta sama Dara?" tanya Gaby lagi, memastikan.

"Iya. Maaf kalau aku jujur tentang ini, Bi. Tapi dia itu cinta pertama aku. Sangat sulit ngelupain perasaan indah dan sakit ini, untuk orang yang pertama kali membuatnya. Aku ingin pindah ke lain hati, tapi gak semudah itu, kan?" ujar Devan.

"Kamu bisa, Van," ucap Gaby sambil tersenyum kecut ke arah Devan.

Devan melihat ke arah Gaby, "maksudnya?" tanya Devan.

"Aku bisa bantu kamu, asalkan kamu juga siap," imbuh Gaby.

Devan tersenyum simpul, "bantu aku, Bi."

***

"Aktingnya jelek banget sih. Gak cocok dia nangis kayak gitu. Kayak bencong aja," cibir Daren, melihat salah satu adegan ter-sedih bagi Dara.

Di sore hari yang biasa-biasa saja ini, Dara dan Daren tengah duduk santai di ruang keluarga rumah milik Dara itu. Sore ini, Dara memang mengajak Daren untuk menemaninya menonton Drakor. Awalnya Daren setuju saja bahkan mengatakan tidak apa-apa asalkan dengan Dara. Namun yang didapati Dara hanyalah cibiran Daren akan salah satu drama favorit Dara itu.

"Dia nangis karena emaknya meninggal, Ren. Gak punya hati banget sih," Dara menatap sinis Daren yang tengah asik mengunyah kripik singkong yang dibeli mereka tadi.

SAYA [Stay As You Are] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang