[13]

34.9K 3.2K 130
                                    

"KAU TAHU?"

Raziel mengalihkan pandangannya. Menatap Elra yang duduk di atas sofa di dalam ruang kerjanya dengan meluruskan kaki.

"Tiba-tiba saja aku mengingatnya."

"Hm?"

"Aku ingat," ucap Elra mengulangi kalimatnya. "Apa yang terjadi di lorong itu."

"Bagaimana kau bisa mengingatnya?"

Elra menaikkan kedua bahunya. "Aku tidak tahu, ingatan itu muncul begitu saja."

Aneh, pikir Raziel. "Jadi, apa yang tidak kuketahui?"

"Kau tahu setelah kau pergi, aku sempat keluar dari kamarmu. Berjalan-jalan–dan seperti yang penjaga bilang, aku pergi ke taman rahasia itu. Kemudian, saat aku mulai bosan, aku memutuskan kembali ke kamarmu. Aku benar-benar tidak mengerjakan apapun."

"Sehebat itukah aku hingga membuatmu dilanda rasa bosan?" Senyum mengejek terukir di bibir Raziel.

Elra mendengus, lalu melanjutkan ceritanya, "Biarkan aku melanjutkan. Hingga aku menemukan sebuah buku yang bahkan aku yakin sekali sebelumnya tidak berada di sana. Buku itu bersampul kulit, banyak akar-akar yang mengelilinginya, dan ada sebuah permata berwarna ungu di tengahnya. Karena terlihat sangat cantik, maka bukan salahku merasa penasaran."

"Setidaknya itulah guna peraturan jangan menyentuh barang orang lain tanpa seizin pemiliknya, bukan?" cibir Raziel.

"Berhenti berkomentar, menyela, atau apapun itu kalau kau ingin ceritanya selesai!"

Raziel mengangguk dan bergumam maaf.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi saat permata itu kusentuh, terdengar suara benda yang bergeser. Kemudian yah–kau bisa menebak jika aku memutuskan untuk masuk ke dalam lorong itu. Namun ada satu hal yang cukup aneh. Kau tahu, setelah kubaca kalimat-kalimat itu, ada sebuah suara yang mengajakku berbicara.

"Aku tidak yakin siapa pemiliknya karena tidak ada seorang pun di dalam sana. Ketika suara itu memintaku untuk membaca ulang kalimat itu, dan wus! Aku tidak tahu apalagi yang terjadi karena aku merasa kesadaranku seakan menghilang."

Raziel terdiam.

"Menurutmu apa yang telah kualami?"

"Aku tidak yakin, Elra," jawab Raziel. "Apa jiwa serigalamu sudah kembali?"

"Entahlah." Elra terdiam sejenak. "Aku bisa merasakan keberadaannya, tetapi aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Dan menurut apa yang kutahu, jika aku tidak bisa berkomunikasi dengan jiwa serigalaku sendiri, maka aku tidak bisa melakukan shift."

"Sebenarnya ada dua hal yang tidak kau ketahui," Raziel memberi jeda–menimbang apakah hal yang akan ia katakan lebih baik untuk diceritakan, "saat kau beristirahat penuh tempo hari, sekitar beberapa kali kau terbangun."

"Benarkah?" Elra berpikir. "Kenapa aku tidak ingat, ya?"

"Tentu saja kau tidak ingat, karena yang bukan dirimu yang memegang kendali tubuhmu."

Elra terperanjat. "Bukan aku?"

Raziel menggeleng. "Bukan. Salah satunya mengenalkan dirinya bernama Mare," ujarnya dan bisa ia dapati reaksi Elra yang seakan baru saja melihat hantu. "Aku tahu dia adalah nama jiwa serigalamu."

"Hanya Mare, bukan? Apa yang ia katakan?"

"Mare hanya mengenalkan dirinya. Memberiku pesan untuk menjagamu selagi dia pergi tetapi lebih terdengar seperti mengancam."

"Pergi?"

Raziel mengangguk. "Aku sendiri tidak mengerti maksudnya. Namun lebih baik kuturuti saja apa kemauan Mare."

Chain LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang