[19]

23.6K 2.2K 43
                                    

HANYA MEMAKAN WAKTU KURANG dari empat hari, keadaan berangsur-angsur membaik. Tidak ada lagi teror mengerikan yang menghantui Mare dan hubungan perempuan itu dengan Raziel semakin membaik. Nyaris tidak pernah sekalipun Jack melihat Raziel tanpa Mare di sisinya. Ataupun sebaliknya. Keduanya benar-benar lengket seperti anak kembar.

"Tidak bisakah kalian menjauh meski lima meter saja?" tanya Jack pada akhirnya dengan nada kesal, tidak tahan lagi dengan aksi romantis yang terlalu diumbar-umbar ini. Bukan hanya iri, hal itu juga membuatnya sakit mata.

Raziel mendengus. "Kau hanya iri, katakan saja."

Sementara Mare menunduk malu. Bukan sepenuh salah Raziel yang selalu mengikutinya kemana pun. Semuanya karena ia merasa aman jika laki-laki itu berada didekatnya.

"Tidak cukupkah kalian sudah berada di satu kamar yang sama sekarang?" Jack benar-benar kesal. "Kalian bahkan berada dimana-mana! Memangnya ke ruang kerja pun harus membawa Mare? Memangnya dia apa? Berkas kerajaan?" lanjutnya dengan sewot.

"Oh ayolah! Kau tidak senang ya Tuanmu bahagia?"

Jack tertawa dengan tawa yang dipaksakan. "Tentu saja aku senang. Jika saja Tuanku tidak melalaikan pekerjaannya!"

Namun sindiran itu justru diberi tanggapan kekehan oleh Raziel. Tidak bisa ia pungkiri jika membawa Mare ke ruang kerjanya tidak pernah berhasil membuatnya untuk melakukan pekerjaannya. Alih-alih bekerja, Raziel justru mengajak Mare mengobrol atau apapun selain bekerja.

"Terima kasih sudah mengatakan hal yang sebenarnya, Jack."

Sebuah suara penuh wibawa terdengar menyahuti pembicaraan mereka. Ketiganya langsung menolehkan kepala dan terkejut saat melihat pasangan vampir–yang jelas sangat Raziel kenal pun dengan Jack–yang menatap mereka dengan tatapan yang tidak bisa artikan. Mare tidak mengenal mereka, tetapi melihat reaksi Jack dan Raziel, sepertinya mereka adalah orang yang penting,

'Mereka merupakan kedua orangtuaku, Mare.'

Suara itu menjawab di dalam kepalanya. Menghapus rasa penasaran Mare dengan rasa gundah, tidak percaya diri, dan takut pada dirinya menggunung.

"Cukup main-mainnya, Raziel. Kau tahu sendiri apa tugasmu begitu dirimu lahir, bukan?" Kali ini sang wanita yang berbicara. Suaranya lembut namun tegas. Membuat siapapun yang mendengarnya merasa hormat. "Kau pewaris takhta. Aku dan Ayahmu jelas sudah cukup lelah memegang kekuasaan lebih dari lima ratus tahun."

Raziel tersenyum lemah. "Selamat datang, Ibu," sapanya yang jelas tidak lagi dibutuhkan. "Mengapa kalian tidak memberi kabar jika akan berkunjung kemari?"

"Apa aku dan Ibumu perlu izin terlebih dahulu, Nak?" Seseorang yang Mare yakini adalah Ayah Raziel membuka suara. Terdengar penuh wibawa, dalam, tegas, dan menggelegar. Cukup membuat Mare lari terbirit-birit jika saja ia diberi gertakan. "Siapa perempuan ini?"

Merasa dirinya disebut-sebut, Mare maju. "S-saya Mare, Yang Mulia."

"Apa yang membuatmu berada di sini?" tanya Ibu Raziel.

"Dulu, Raziel menyelamatkan saya yang hampir meregang nyawa karena suatu hal. Kemudian putra Anda memberikan saya izin untuk tinggal di kastil ini hingga berbulan-bulan lamanya," jawab Mare lancar seolah-olah ia tahu sewaktu-waktu pertanyaan ini akan muncul.

"Kau mencintainya?" tanya Ibu Raziel langsung pada Raziel.

Raziel mengangguk mantap. "Kuharap kalian tidak keberatan," ujarnya.

Tanpa Mare duga-duga, Ibu Raziel menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat. "Astaga! Entah sudah berapa lama aku menunggu saat-saat ini! Akhirnya putraku kembali membawa seseorang untuk dikenalkan padaku dan Ayahnya."

Chain LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang