[20]

25.1K 2.2K 60
                                    

SAKIT.

Bibirnya ingin berkata demikian.

Rasa sakit itu datang kembali. Menjalar ke seluruh tubuhnya. Kemudian lagi dan lagi.

Berapa lama ini akan terjadi?

Kedua kelopak matanya ingin membuka, tetapi terasa terlalu berat. Kepalanya pusing dan nyeri. Ia bahkan tidak bisa merasakan jari-jarinya. Dalam kebingungan ia bertanya-tanya, apakah dirinya sudah mati?

"Bangun!"

Suara itu terdengar keras.

"Bangun!" Lalu rasa sakit lagi. Ada sesuatu yang mengalir. "Buka matamu!"

Susah payah, kedua mata itu membuka. Dahinya mengernyit padahal hanya sedikit cahaya di dalam ruangan itu. Gelap mendominasi penglihatannya.

"Akhirnya," gumam seseorang yang tidak bisa ia temukan keberadaannya.

Tunggu sebentar, batinnya seakan tersadar sesuatu lalu memandang ke segala arah. Tempat ini asing–jelas bukan kamarnya di kastil Raziel dan lebih mirip dengan penjara bawah tanah. Agak lembab dan bau. Namun ia kembali dihadapkan sesuatu yang membuat jantungnya bertalu-talu. Ia sudah kembali mengambil alih tubuhnya sendiri!

'Mare?' panggilnya.

'Sadarkan dirimu,' balas Mare yang tidak Elra mengerti. Namun kebingungan itu hanya sementara karena selanjutnya ia merasakan sensasi yang lama tidak ia rasakan: dingin dan berat yang melingkupi semua pergelangan, dilengkapi udara yang lembab dan rasa sakit yang sama.

"Dimana ini?" tanya Elra.

Dari kegelapan, muncul seorang perempuan. Rambut obsidiannya panjang, menutupi separuh wajahnya. Ia memakai jubah tebal berwarna hitam dengan sepatu kulit. Rahangnya terkatup erat dan garis matanya tajam. Elra tak mengenali siapa perempuan ini.

"Kau bisa menyebutnya rumah," jawabnya. "Apakah itu sakit?"

Elra mengikuti arah yang ditunjuk perempuan itu. Sekarang ia tahu darimana rasa sakit itu berasal. Walau pencahayaan minim, ia bisa melihat jika sekujur tubuhnya banyak dihiasi luka. Dan sebagian masih basah. "Siapa kau?"

Perempuan itu mendengus tetapi tak urung menjawabnya, "Wayline."

"Apa yang kau mau dariku?" Elra bergidik. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Mungkin ia harus bertanya pada Mare.

Wayline tersenyum miring–yang terasa familiar bagi Elra. "Aku tidak menaruh keinginan sedikit pun padamu. Ayahku lah yang menginginkanmu."

"Ayahmu?" ulang Elra. "Untuk apa dia menginginkanku? Percayalah, aku tidak memiliki apa yang diinginkannya."

"Seperti aku akan memercayainya," tukas Wayline. Ia memainkan sebuah pisau di tangannya, membuat Elra diam-diam kesulitan bernapas. "Tentu saja kau memilikinya. Di dalam dirimu. Tenang saja, dalam waktu dekat Ayahku akan mendapatkannya dengan mudah dan kau mungkin akan selamat."

Elra masih mencerna kalimat Wayline saat tiba-tiba perempuan itu bergerak. Ia bahkan tidak bisa melihat gerakannya. Yang ia tahu, selanjutnya teriakan dirinya menggema di ruangan itu–memecah kesunyian. Pisau Wayline menancap dengan mudah di bahunya. Pikirnya, perempuan itu cukup pintar karena apa yang ia lakukan baru membuat Elra kesakitan namun tidak akan menyebabkan kematian. Elra bernapas susah payah, gerakan sekecil apapun membuat bahunya terasa semakin menyakitkan.

"Sakit?" Wayline terkekeh sementara Elra memilih untuk bungkam. "Carius benar."

Kedua mata Elra terbelalak. Siapa yang tadi ia sebutkan? Tolong katakan Elra hanya salah mendengar.

Chain LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang