DhirgaNada 12 - Closer

2K 131 0
                                    

"Hal yang selalu aku inginkan adalah, jarak yang tak terbatas untuk kita"

•••

Ponsel milik Anada berbunyi sebuah tanda panggilan masuk. Anada segera menjawabnya, karena tertera nama kekasihnya.

"Halo?" tanya Nada sebagai salam pembuka.

"Kamu ke kantor ku ya hari ini, aku kangen..." kata orang di sebrang sana. "Sambil bawa makanan buat aku ya, aku kangen masakan kamu."

Anada menyiritkan dahinya, sejak kapan dia bisa masak? Tapi, belum sempat Anada menanyakannya, orang itu sudah menutupnya terlebih dahulu. Dan sekarang, Anada tidak tahu harus memasak apa?

Bahkan, tidak pernah terlintas di kepalanya bahwa dia bisa memasak atau apa. Apa orang yang hilang ingatan akan melupakan keahliannya juga? Jika iya, ini menyebalkan.

Anada menggulungkan rambutnya dan mulai memasak, walau sebenarnya dia tidak tahu harus memasak apa. Sialnya, tante Diana sedang tidak berada di rumah, membuatnya kebingungan sendiri.

Tapi, jikapun ada, apa tante Diana mau membantunya membuat masakan untuk Dhirga. Rasanya, tidak mungkin.

"Mbak Nada?" tanya seorang gadis di ambang pintu masuk dapur.

"Hei, Kiya, kamu bisa bantu aku?" tanya Anada sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bantu masak?"

Kiya langsung terkekeh, "Buat Mas Dhirga?"

Anada hanya menyengir, memperlihatkan jajaran gigi putihnnya. Kiya langsung berjalan menuju Anada dan membantunya memasak sesuatu. Kiya yang menyebutkan bahan-bahannya, dan Anada yang mengerjakannya.

Dulunya, Anada dan Ibunya mempunyai sebuah toko roti, yang lumayan terkenal. Tapi, semenjak Anada hilang ingatan, toko itu sudah seakan lenyap tak lagi bernyawa. Kiya menceritakannya ketika Anada bertanya apakah dia bisa memasak atau tidak.

Akhirnya masakan mereka jadi, mereka memasak makanan sederhana. Seperti cah kangkung, tempe orek, dan sambal terasi. Kata Kiya, Dhirga penyuka makanan sederhana, asal Anada yang membuatnya.

"Mbak Nada tahu enggak?" tanya Kiya.

"Apa?" tanya Anada.

"Mbak Nada beruntung punya Mas Dhirga. Nanti, Mbak bisa rasain itu sendiri. Hanya saja, namanya manusia dan remaja tanggung usia, dulu dia pernah membuat kesalahan besar!"

Anada tersenyum. "Kamu mau kasih tahu aku enggak?" tanya Anada.

"Tentang?"

"Semuanya. Awal aku kenal dia sampai kami dipisahkan dengan cara seperti itu?"

Kiya menggeleng. "Enggak sekarang, Mbak! Mas, Dhirga pasti akan kasih tahu. Dan aku... Enggak pernah mau buka luka lama." Kiya langsung membelakangi Anada kemudian berjalan meninggalkan dapur.

Pasti. Luka itu, ingatan itu, memori itu, semua yang dialami di masalalu, sangat sulit untuk dibuka oleh siapapun. Termasuk Dhirga sekalipun. Sekarang, Anada tahu kenapa Dhirga meminta waktu sampai dua bulan.

Ini lebih berat dari apa yang Anada bayangkan.

***

"Mbak, saya bisa ketemu pak Dhirga?" tanya Anada pada seorang sekertaris yang ber-name tag Jian Yulian.

"Maaf, pak Dhirga sedang sibuk," kata sekertaris itu.

"Tapi—"

"Mungkin setelah pukul lima, beliau bisa di kunjungi," kata sekertaris itu dengan tegas.

Anada berdecih, kemudian memencet benda tidak bertombol itu. Kemudian menempelkan nya di telinga kanan milik Anada. Hingga suara sambungan telepon terdengar.

"Halo, yang, kamu di mana?"

Anada menggigit bibirnya ketika mendengar panggilan sayang untuknya. Tapi berusaha untuk mengimbanginya. "Aku di depan ruangan kamu. Tapi, enggak dibolehin masuk nih!"

Terdengar suara Dhirga yang terkikik. Membuat Anada kesal, ih, kenapa dia menjadi menyebalkan sih? Tanyanya dalam hati.

"Ya, udah deh, aku pulang aja!" putus Anada.

"Eh, jangan dong. Masa gitu aja marah, ini aku menuju ke sana. Sayang..." dan Dhirga membuka pintu ruangannya sambil memasang cengiran hingga para karyawati melihatnya dengan heran.

Kok bosnya, baru kelihatan tersenyum dan membawa wanita ke kantornya.

"Jian, lain kali bila kekasih saya datang kamu suruh masuk saja ya. Ini calon istri saya!" kata Dhirga langsung menarik Anada menuju ruangannya. "Katakan kepada orang yang ingin bertemu dengan saya, bahwa saya sedang sibuk."

Jian merasa dirinya sulit untuk sekadar menelan salivanya, wanita biasa itu adalah kekasih bosnya. Jian tidak habis pikir, tujuh hari tujuh malam dia bercermin berharap kisahnya sama dengan orang-orang bisa bersading dengan bosnya. Itu hanyalah sebuah angan belaka untuk Jian.

Sementara Anada diam di atas kursi dengan cangung. Dhirga segera duduk di dekatnya dan membuka rantang makanan yang Anada bawa.

"Kamu masih bisa masak ternyata," senyum mengembang di bibir Dhirga.

Anada hanya tersenyum. Dhirga terkekeh.

"Kamu masih aja cangung, padahal, kita udah ciuman loh," kata Dhirga yang tidak terima Anadanya diam saja.

"A-aku harus gimana?" tanya Anada.

Dhirga menepuk-nepuk paha miliknya. "Duduk di sini sayang, pull me closer."

*** 

AMNESIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang