DhirgaNada 21 - Sorry?

2.2K 132 11
                                    

"Masalalu harus berada pada tempatnya. Karena masa depan, lebih penting dari segalanya."

•••

"K-kamu?"

Tatapan kaget yang diberikan oleh seseorang di depan Dhirga. Seorang wanita paruh baya, wajahnya mirip dengan seorang wanita yang sangat Dhirga sayang, a.k.a Anada. Ya, dia adalah Andini, ibunya Anada.

Dhirga datang ke San Francisco, bukan New York. Dia sudah merencanakan hal ini sejak awal. Dia sengaja, berniat meminta restu dengan resmi tanpa mengajak Anada, karena ada hal yang akan membuat Anada bertanya-tanya dengan pembicaraan yang mungkin keluar tanpa sadar oleh Dhirga.

"Beraninya, kamu datang ke sini!" kata Andini kepada Dhirga.

Dhirga menghela napasnya kemudian tersenyum kepada Andini. Dia mengulurkan tangan bersiap untuk menicum pundak tangan Andini. Tapi, Andini menyembunyikan tangannya di balik punggungnya, seolah tak sudi menantunya mencium tangannya. Atau memang tidak sudi?

"Saya ingin minta maaf," empat kalimat yang seharusnya keluar dari mulu Dhirga 8 tahun lalu, dan akhirnya meluncur dengan begitu saja. Meski saat ini, semua itu sudah sangat terlambat untuk Andini.

"Jangan mentang-mentang kamu sudah menikah dengan putri saya, kamu bisa saya maafkan begitu saja, ya!" kata Andini dengan ketus.

Dhirga sangat tahu kesalahannya di masalalu adalah yang paling buruk. Tapi, apa permintaan maaf tidak bisa membuatnya sedikit saja meredakan semua yang pernah terjadi? Dhirga ingin semua masalah menyebalkan ini selesai.

"Tapi, bu, itu sudah sangat berlalu. Apa tidak ada kesempatan untuk saya memperbaiki semuanya?" tanya Dhirga masih dengan sikap ramahnya.

"Kesempatan?" tanya Andini. "Apa orang seperti kamu, pantas mendapat kesempatan?" Andini masih betah berdiam diri di tempatnya tadi, dia tidak sudi apabila Dhirga masuk ke dalam rumahnya.

"Saya ingin memperbaikinya," cicit Dhirga.

Andini menatap Dhirga, apa semuanya bisa diperbaiki? Apa semua yang telah hilang dapat kembali? Tidak. Maka dari itu, Andini menggelengkan kepalanya seolah menandakan semua yang dikatakan Dhirga adalah sebuah kemustahilan. "Kamu mau perbaiki semuanya?" tanya Andini, Dhirga mengangguk. "Kamu kembalikan Anada pada saya, kembalikan suami saya, dan semua yang hilang karena kamu. Bisa?"

Dhirga menggeleng, dia tidak mampu untuk melakukan hal itu.

"Kalau begitu, tetaplah membuat Anada hilang ingatan sebisa kamu. Karena jika suatu saat dia ingat, maka untuk kembali bersama dengan Anada, adalah sebuah kemutahilan bagi kamu Dhirga!" kata Andini. "Dan saya tidak akan membantu kamu untuk kembali bersama Anada, karena saya adalah orang yang paling senang, saat kamu dan anak saya berpisah," tambah Andini.

Dhirga menghela napasnya, "Tap—"

"Bisa kamu pergi sekarang juga?" tanya Andini.

Dhirga tidak bisa apa-apalagi saat Andini menutup pintu rumahnya, dia hanya memandang pintu itu. Dhirga menghela napasnya, setidaknya dia telah mencoba, walau hasilnya sangat jauh dari apa yang Dhirga harapkan.

Dhirga segera menaiki mobilnya, berjalan menuju daerah California. Pikirannya tentang seluruh kesalahannya di masalalu kepada Anada dan keluarganya, sesungguhnya Dhirga tidak memiliki wajah untuk bertemu dengan Andini, hanya saja mau tidak mau dia harus melakukannya karena bagaimapun, Dhirga bersalah.

Sangat bersalah.

Tiba-tiba sebuah panggilan dari Indonesia masuk ke dalam ponsel milik Dhirga. Telpon dari mamanya, dengan sedikit kemalasan, Dhirga mengangkatnya. Palingan mamanya hanya meminta oleh-oleh yang aneh-aneh seperti sepatu mahal dan tas mahal.

"Halo ma?" tanya Dhirga.

"Dhirga... Nada, Ga! Ga..." mamanya sedikit kesulitan untuk berbicara.

Tapi Dhirga tidak ngeh dengan keadaan. Makanya Dhirga biasa saja. "Anada kenapa?"

"Anada pingsan di apartemen!" kalimat itu membuat Dhirga seketika menghentikan mobilnya dengan mendadak. "Dia berhasil buka kotak hitam yang berisi pistol itu, Ga!" kalimat itu bagaikan kalimat sakti yang seketika membuat Dhirga lemas seketika.

Dhirga segera menancapkan gas mobilnya, "Dhirga urus kepulangan Dhirga sekarang juga! Mama tolong jagain Anada!" Dhirga langsung menutup telponnya.

Bagaimana bila melihat pistol dan kain itu membuat Anada mengingat sesuatu? Bagaimana bila bukan hanya sesuatu tapi semuanya? Dhirga tidak ingin sampai itu terjadi. Bukan tidak ingin, tapi memang tidak boleh. Dia tidak akan sudi ditinggalkan kembali oleh Anada, dia tidak akan sudi. Kenapa juga Anada sepintar itu membuka kode berkasnya?

Lalu apa yang harus Dhirga jawab bila Anada bertanya tentang pistol itu? Dan seutas kain yang terkena darah itu? Dhirga harus bisa mengendalikan dirinya, karena jika tidak, sesuatu yang buruk akan kembali terjadi.

"Enggak Anada, kamu nggak boleh inget apapun!" kata Dhirga masih menancapkan gasnya. "Kamu enggak boleh meninggalkan aku lagi, enggak pernah boleh. Selamanya kamu milikku, Nada!"

*** 

Sebenernya aku nggak mood nulis. Tapi masasih, gegara masalah cowok aku jadi lemes banget. Authornya lagi galau.

AMNESIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang