DhirgaNada 34 - SHIT!

1.9K 84 4
                                    

[Authornya sakit. Tapi ngetik. Kode, dibilang gws. Ah, iya part ini jika ada percakapan dengan orang asing anggap mengunakan bahasa inggris ya! Takutnya kalian nggak ngerti (padahal authornya yang nggak bisa) happy reading!]

•••

Negara Amerika Serikat, mmm, Anada rindu dengan Negara ini. Lebih tepatnya, di kota San Francisco. Anada tersenyum ketika berada di bandara. Dia... sama sekali tidak memerdulikan Dhirga yang terluka, baginya, pembunuh itu tidak panta Anada sebut dengan status "suami".

Tapi, tiba-tiba saja Anada berhenti, saat menyadari bahwa ini bukanlah San Francisco. Ini New York, Anada masih ingat betul bagaimana detailnya sebelum Anada meninggalkan San Francisco.

"Bang Bimo," panggil Anada.

Bimo menoleh tersenyum khas Bimo yang sama dengan Anada. "Ada apa?"

"Ini... bukan San Francisco." Nada suara Anada protes. Jelas sekali, Anada dapat membedakannya karena San Francisco dan New York jelas berbeda.

"Ah, abang lupa bilang, kita mau bertemu dengan teman abang dulu. Baru kita ke California," Bimo tersenyum.

Anada juga tersenyum dia percaya kepada abangnya. Bimo segera menarik Anada menuju sebuah mobil SUV hitam. Mobil itu melaju, dan para pengikut Bimo ikut berada di belakang mereka.

Entah sejak kapan, pikirannya melayang menuju seseorag yang berada di Indonesia. Jujur, saja, tiba-tiba Anada menjadi mengingat betapa bajingannya suaminya itu. Namun, apa benar Anada menganggapnya bajingan? Karena setelah itu... secuil rasa rindu menghampiri Anada.

Anada akui bahwa dia memang mencintai Dhirga. Ah, sangat mencintainya, tapi rasanya semua itu menjadi menyakitkan. Perasaan dicabik-cabik itu datang bersamaan dengan rasa rindunya kepada sang ayah.

"Nanti, kamu tunggu di dalam mobil ya, Nada." Bimo mengelus rambut Anada dengan lembut. Anada suka dengan gerakan abangnya yang menunjukan seberapa sayangnya Bimo kepadanya. "Abang ada urusan," tambahnya.

Anada mengangguk. "Jangan lama-lama ya, Bang. Nada takut," kata Anada dengan jujur. Oke, coba saja banyangkan, berdua bersama supir yang mengenakan pakaian serba hitam dan memakai kaca mata. Di dua sisi pingangnya disimpan dua buah pistol. Mengerikan.

Ah, omong-omong soal pistol... Siapa yang mengobati luka Dhirga? Mengantikan perban setiap harinya? Anada menggeleng. Dia tidak boleh, memikirkan tentang cowok itu. Sama sekali tidak boleh.

Ingat Anada, lelaki itu telah membunuh ayahmu. Anada membatin.

Mobil yang Anada tumpangi berhenti, tepat di sebuah tempat yang bagi Anada... er, menakutkan. Bukan hanya itu, tempat yang bercat hitam pucat dan rerumputan yang tinggi seperti bukan sebuah kota. Atau memang ini jalan menuju hutan?

Bimo keluar dari mobil itu. Anada membuka jendela mobil, "bang jangan lama-lama." Bimo mengangguk. Anada mengembuskan napas beratnya kemudian menutup kembali jendela mobil itu.

Anada merasakan sesuatu yang ganjal ketika supir di depannya tersenyum melalui kaca. Anada membulatkan matanya tidak percaya pada lelaki bule itu. Tampan sih, tetapi menyeramkan.

Eh, kok, mobilnya gerak? Anada membatin.

Anada segera membalikan tubuhnya, ke belakang untuk melihat abangnya yang masih di sana. Tapi... Bimo malah melambaikan tangannya kepada Anada.

"STOP!" perintah Anada. "My Brother—"

"Shut up! Wanita manis, kau aman bersamaku." Supir itu tersenyum kembali melalui kaca. Dan Anada semakin ketakutan. "Tuan Zhloe pasti akan menyukaimu," tambahnya.

Apa magsud perkataan si bajingan di depan ini. "What do You Mean?"

Supir itu tidak menjawab. Dia hanya diam dan terus mengendari mobil. Entah kemana tujuannya. Yang jelas, Anada yakin bahwa supir tampan itu akan membawanya ke tempat gelap. Ah, sangat gelap mungkin.

Anada bingung, dia menjambak rambut supir itu. Dan refleks langsung berhenti. "Diam!" kata lelaki itu. Dia mengarahkan pistolnya kepada Anada. Anada langsung diam meneguk salivanya. "Good Girl," puji supir itu, kemudian kembali mengendarai mobil.

Tapi tiba-tiba, "kau yang diam," Anada membawa satu pistolnya yang berada di pinggang kiri lelaki itu. Dan diarahkan, tepat pada bagian kepala lelaki itu.

"Kau menangtangku?" tatapan supir itu menuju kaca dan melihat wajah Anada dari kaca. "Oh, ayolah wanita manis, kebetulan aku tidak memasang peluru di sana," seyum mengembang di bibir supir itu yang diperlihatkan oleh pantulan cermin.

Anada mencoba menekan pistol itu. Dan memang tidak ada pelurunya. "Shit!"

*** 

AMNESIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang