DhirgaNada 16 - Before Married

2.5K 152 5
                                    

"Tawa adalah hal terindah ketika kita bersama dengan keluarga"

•••

Anada menyempatkan waktu untuk bisa akrab dengan keluarga Dhirga. Jadi, sebisa mungkin Anada selalu datang ke rumah Dhirga. Dan, sepertinya mamanya Dhirga—Retno juga ingin mendekatkan diri kepada calon menantunya.

Jadi, saat Anada datang ke rumahnya dia langsung mengajaknya ke mall untuk sekadar berbelanja bersama. Ah, jangan lupa adik Dhirga juga ikut. Ya, ini semacam girl's time dan Dhirga dilarang ikut.

Dan itu juga yang membuat Dhirga frustasi setengah mati.

Mereka bertiga meninggalkan Dhirga sendiri di rumah. Setelah berhasil merampok kartu ATM milik Dhirga, yang Retno yakini password-nya adalah tanggal lahir Anada. Anaknya, itu sangat mudah ditebak.

"Sekali-kali, Dhirga tuh harus dikasih pelajaran Anada. Kamu juga nanti kalo sudah menikah sama dia, jangan terlalu diturut apa maunya ya! Tuh anak, sekali-kali kamu minta yang aneh-aneh deh sama Dhirga," tutur Retno yang berada di kursi penumpang belakang.

Rena yang sedang menyentir tertawa melihat tingkah mamanya yang menurutnya kekanak-kanakan. Tapi, jujur saja, bagi Rena, Dhirga yang sekarang seperti Dhirga yang dulu jauh sebelum adanya kecelakaan itu. Dan tahu fakta itu, Rena merasa antusias dan senang dengan kedatangan Anada dalam hidup mereka.

"Pokoknya kak Nada, kalo kakak berhasil curi ATM bang Dhirga lagi. Orang pertama yang harus kakak ajak ke mall itu aku ya!" kata Rena dengan antusias.

Anada hanya ikut tertawa dengan kegilaan ibu mertua dan adik iparnya. Apa begini namanya keluarga? Jujur saja, Anada jadi rindu kepada ibunya di San Francisco. Anada hanya memilikinya, meski ibunya selalu bertingkah protektif kepadanya. Sampai-sampai, kuliah pun harus menyewa baby sister untuk mengikutinya.

"Eum Tante—"

"Masih aja panggil Tante, panggil mama dong sayang!" dengus Retno.

"Eum Ma, Dhirga marah nggak nih kalo kita curi ATM-nya begini?" Anada hanya takut bila lelaki itu akan marah lagi kepadanya. Seperti waktu itu, saat mereka di lorong apartemen. Saat itu, Anada sangat takut.

"Nggak mungkin dia marah sama kamu, Nada kalo masalah uang." Senyum mengembang di bibir calon mertuanya itu.

Entah sejak kapan Anada melupakan perjanjiannya bersama Dhirga. Perjanjian agar Dhirga menceritakan semuanya kepadanya. Semua itu sekarang hanyalah masalalu yang Anada hapus seketika dari memorinya.

"Nada, ntar kalo udah nikah, langsung kasih cucu ya buat mama. Ih, udah enggak sabar deh nanti bakalan ada dedek bayi lagi," kata Retno antusias.

"Iya, asyik nanti ada yang panggil aku 'Tante Rena yang cantik'. Kalo bisa anaknya perempuan ya, kak!" tambah Rena.

"Doa-nya aja ya, Ma, Ren," hanya itu yang bisa Anada keluarkan dari bibirnya karena perasaan malu menyelimuti diriya saat membicarakan tentang cucu.

***

Mall surga bagi para wanita yang senang berbelanja. Dan Anada termasuk salah satunya, mereka tidak menyerbu diskon atau apapun. Toh, uang Dhirga sudah bengkak dalam ATM yang kini Anada genggam. Jika dipakai dua puluh persen saja, tidak akan membuat Dhirga rugi.

Kata mamanya, Dhirga itu orangnya tidak suka menghambur-hamburkan uang. Dan ATM itu bisa saja berisi uang yang sudah bertahun-tahun. Mentok-mentok, Dhirga hanya menggunakan uangnya untuk mengganti mobilnya itupun setahun sekali.

"Nada, ayok belanja yang banyak. Sebelum yang punya sadar salah satu ATM-nya tidak berada pada tempatnya," Retno terkikik membayangkan ekspresi wajahnya yang bengong ketika mengecek ATM tapi juga tidak berani protes karena Anada adalah kunci dari segala ketenangan Dhirga.

Rena yang heboh memilih parfum yang bermerek, Retno yang heboh dengan alat untuk menghilangkan kerutan wajah. Sementara Anada, lebih senang berbelanja sepatu. Entah kenapa, bagi Anada sepatu itu adalah bagian terpenting dalam penampilannya.

Setelah selesai berbelanja, mereka langsung berjalan menuju kasir. Dari kelihatannya, sepertinya lumayan untuk harga setiap benda yang mereka genggam. Tapi, sekali-kali menghabiskan uang calon suami bukan hal yang salah bukan?

"Semuanya jadi berapa, Mbak?" tanya Anada.

"Lima puluh juta," jawab pegawai itu.

Anada baru pertama kalinya berbelanja hingga sebesar ini. Tapi, sekali-kali bolehlah. Menyenagkan bagi otaknya. Toh, yang bekerja Dhirga.

Anada segera membayarnya menggunakan ATM. Lalu secepatnya berjalan menuju parkiran mobil. Belanja dengan ATM ternyata menyenangkan, apalagi jika ATM itu bukan milik kita. Gratis.

Setelah di dalam mobil, Anada mendapat telepon dari Dhirga. Anada langsung melempar tatap pada calon ibu mertuanya dan kepada calon adik iparnya.

"Angkat aja, kalo dia marahin kamu. Nanti mama marahin balik," kata Retno dengan senyum menggembang di bibirnya.

Dengan ragu-ragu. Anada menganggkat telepon dari Dhirga. Sebelum Anada memulai percakapan Dhirga di sebrang sana sudah angkat bicara terlebih dahulu.

"ANADA!" teriak Dhirga, dan itu membuat Anada menjauhkan teleponnya dari telinga.

Kemudian mendekatkannya kembali, seolah pasrah apapun yang akan Dhirga katakan kepadanya. Toh, Anada sudah puas berbelanja. "KAMU AKU TELPONIN, KENAPA NGGAK AKTIF? KAMU DI MANA? SAMA SIAPA? JANGAN MACEM-MACEM YA, NADA!"

Anada meringis ketika Dhirga langsung menyerangnya dengan pertanyaan seperti ini. Anada menghela napasnya terlebih dahulu. Tapi, lagi-lagi yang angkat bicara adalah Dhirga. "KAMU SAMA SIAPA JAWAB! APA JANGAN-JANGAN KAMU LAGI SAMA CALVIN? NADA, AKU SUSULIN KE SANA. KAMU DI MANA?"

Anada bahkan belum sempat mengatakan "hallo". Sementara itu, Mama dan Adik iparnya hanya menyengir melihat anak dan kakak mereka sedang menghawatirkan wanita yang sekarang menjadi bingung.

"NADA JAWAB NADA! KAMU NGGAK LAGI ANEH-ANEH KAN?" tanya Dhirga lagi-lagi menyentak.

Retno yang sudah puas tertawa langsung merebut ponsel Anada, dan angkat bicara. "Anada dari tadi sama mama dan Rena kok, Ga. Eh, bukannya kamu tahu 'kan?"

Entahlah, mungkin karena ketakutan kehilangan wanita ini, Dhirga sampai linglung lupa bahwa tadi mama dan adiknya berpamitan sekaligus melarang Dhirga untuk ikut.

"Oh, jadi Anada sama Mama? Ya, udah deh," kata Dhirga dengan lega.

"Ga, makasih ya," kata mamanya dengan cengengesan.

"Makasih apa?" tanya Dhirga.

"ATM kamu."

Lama tak menjawab, mungkin karena Dhirga mengeceknya. "MAMA!!!" teriak Dhirga.

Retno langsung menutup teleponnya. Kemudian mereka tertawa. Entahlah, rasanya sangat lucu ketika para perempuan yang paling penting dalam hidup Dhirga kompak mengerjainya.

***

AMNESIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang