DhirgaNada 27 - Sad.

1.9K 100 5
                                    

Sesampainya di pintu apartemen, Dhirga langsung menekan kode dan mendorong pintu untuk masuk ke dalamnya. Tapi, kini hatinya menjadi sangat rapuh melihat Anada tergeletak di lantai dengan darah yang mengalir. Dengan tenanga yang entah tersisa berapa, Dhirga mengendong Anada.

Berlari bahkan dia lupa untuk mengabari siapapun. Setelah Dhirga kembali menutup pintu apartemennya, dia langsung tidak tahu harus bagaimana. Rasanya, ada sebagaian nyawa Dhirga yang hilang entah kemana.

Sesampainya di rumah sakit, Dhirga langsung turun dari taksi lalu berjalan menuju UGD dia meletakan Anada kasur UGD. Setelah, itu kaki Dhirga yang sudah lemas kini menjadi sangat lemas.

Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa Dhirga begitu bodoh, dia meninggalkan Anada begitu saja di apartemen tanpa ada yang menjaganya. Sekali lagi, dia meruntuki dirinya yang sangat bodoh. Dhirga duduk di kursi tunggu dengan tatapan sayu menuju ruang UGD.

"Pak Dhirga," kata seorang dokter yang kemarin menangani kandungan Anada. "Istri bapak, keguguran, kami akan melakukan kiret, bila bapak memberikan izin," kata dokter itu.

Dhirga hanya mengangguk. Kemudian menatap lemas kea rah Anada yang belum sadarkan diri. "Aku bego Nada, aku bego!"

Dhirga memegangi kepalanya, pikirannya saja tentang Bimo yang bisa bangkit dari kematian belum bisa tercerna, sekarang ditambah dengan Anada yang masuk rumah sakit. Seolah-olah memang tidak puas dengan satu cobaan yang menerpa Dhirga.

"Mas Dhirga?" tanya seseorang yang membuat Dhirga menoleh.

Dhirga mengulum senyum pada gadis itu. "Kiya?"

"Keadaan Mbak Nada gimana? Aduh Mas, semoga mamaku enggak tahu ya, bisa brabe kalo sampe tahu!"

"Anada keguguran. Nggak apa-apa Kiya, ini emang salahku kok, nggak bisa menjaga Anada dengan baik."

Kadang perempuan merasa heran dengan lelaki yang bisa menyembunyikan tangisan dibalik senyum yang kurang tulus. Apa semua lelaki sekuat itu?

"Sabar ya, Mas, Mbak Nada pasti enggak bakalan apa-apa!"

Dhirga mengangguk setuju dengan Kiya.

***

Dhirga menghela napas panjangnya ketika melihat Anada yang tidak henti-hentinya menangis. Siapa yang tidak sedih, ketika anak yang sudah kita harapkan pergi tanpa pernah melihatnya? Begitupun dengan Anada.

"Dhirga, aku ibu yang jahat!" kata Anada.

"Enggak sayang! Enggak sama sekali," Dhirga menenangkan Anada. "Biarin dia pergi, relain dia, mungkin belum saatnya sayang..." kata Dhirga dengan senyum tulus mengembang di bibirnya.

"Tapi, Ga, aku udah bayangin gendong dia. Cium dia, dan hal menyenangkan lainnya..." kata Anada dengan suara parau.

Dhirga mengelus dahi Anada yang berkerut. "Aku juga Anada, tapi, kita harus kuat ya!" kata Dhirga.

Anada menggeleng. "Kamu bahkan enggak sedih?! Kamu keterlaluan Dhirga, dia anak kita. Anak kita." Anada menekankan kata anak kita.

"Bukan gitu—"

"Ya trus apa? Kamu bener-bener enggak sedih? Kamu bahkan enggak kelihatan nangis. Kamu jahat Dhirga!" Anada memalingkan wajahnya dari Dhirga.

Dengan cepat Dhirga kembali membalikan badan Anada untuk menatapnya. "Hei dengerin aku, kalo aku ikut nangis trus yang nenangin kamu siapa? Kalo aku ikut sedih, yang bisa buat kita semangat siapa? Biarin, dia pergi, Anada," Dhirga mengelus rambut Anada.

Tentu saja apa yang dikatakan oleh Dhirga masuk akal, dengan cepat Anada segera memeluknya. Dhirga sedikit meringis saat Anada memeluk dadanya. "Aw," ringis Dhirga sangat pelan, kemungkinan Anada tidak mendengarnya.

Tapi, Dhirga salah. Anada mendengarnya dengan cepat Anada melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Dhirga yang sangat kacau. "Ga, kamu enggak apa-apa? Kamu babak belur, siapa yang ngelakuin ini?" tanya Anada dengan cemas.

"Tadi kecopetan," jawab Dhirga.

"Kamu enggak bohong?" Anada menyipitkan matanya takut ada kebohongan tersembunyi dibalik senyum Dhirga.

Dhirga menggeleng. "Nggak sayang!" jawab Dhirga.

"Permisi," kata seseorang yang mengenakan jas putih yang berdiri tidak jauh dari ranjang yang entah kapan datangnya.

"Ya bagaimana Dok?" tanya Dhirga.

"Saya ingin berbicara dengan pak Dhirga sebentar, di ruangan saya. Bisa?"

Dhirga mengangguk kemudian menatap Anada seakan-akan meminta izin untuk meninggalkannya. "Kiya, nitip ya!" kata Dhirga kepada Kiya yang sibuk memandangi mereka sejak tadi.

Kiya mengangguk, kemudian Dhirga dan dokter itu berjalan menuju keluar ruangan milik Anada.

***

Jangan lupa cek work sebelah.

AMNESIA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang