DUA PULUH SEMBILAN : Problem

254K 18.1K 1K
                                    

Setelah masuk ke dalam lift Aldrich menekan tombol nomor empat agak lama, tujuannya adalah agar sidik jarinya bisa terbaca.

Tempat yang sekarang akan ia tuju adalah tempat khusus yang hanya orang tertentu saja yang tahu, berada empat lantai di bawah tanah. Bukan lantai empat yang sesungguhnya.

Sedetik kemudian pintu tertutup karena sidik jari Aldrich terbaca, ia sebenarnya agak heran. Setelah beberapa tahun ia keluar ternyata sidik jarinya belum dihapus dari data perusahaan.

Lift membawanya turun dengan cepat, tak lama pintu kembali terbuka dan menampakkan lorong panjang berwarna putih tanpa noda. Jika dilihat sekilas lorong itu akan mengingatkanmu dengan lorong yang berada di rumah sakit. Karena sama-sama putih dan bersih.

Ia berjalan dengan tenang, walaupun jauh di lubuk hatinya ia merasa khawatir. Bukan karena khawatir tentang dirinya yang bisa diibaratkan sedang masuk ke dalam kandang harimau yang kelaparan, tetapi mengenai Yura. Bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi pada perempuan itu.

Benjamin yang berdiri di luar pintu utama lantai rahasia itu tersenyum kecil ketika melihat kedatangan Aldrich.

"Iblis muda kita sudah datang," ucapnya lantang. Mendengar itu Aldrich tidak begitu senang.

"Masuklah, ayahmu sudah menunggu." Aldrich mendengus kasar. "Bukankah sudah kukatakan bahwa jangan sebut dia ayahku? Menjijikkan."

"Tetapi aku senang mengucapkan hal itu." Aldrich menatap Benjamin tajam, tetapi laki-laki itu bertindak seolah tidak terjadi apa-apa.

"Cepatlah masuk Aldrich, kau kan tahu dia tidak suka menunggu."

Aldrich mendorong pintu itu dan masuk ke dalam ruangan yang luas, di tengahnya terdapat ruangan lagi yang dikelilingi oleh kaca tebal anti peluru. Di sana terlihat seorang laki-laki paruh baya yang duduk di kursi besar, ia menyeringai ketika melihat Aldrich masuk.

Aldrich tetap memasang wajah datarnya, tanpa harus menoleh pun ia bisa tahu ada beberapa orang yang bersembunyi di balik berbagai benda besar yang sengaja diletakkan di sana. Mereka menggenggam pistol kecilnya masing-masing. Tetapi ia berani bertaruh, walaupun benda itu kecil tetapi efeknya jika ditembakkan tidak akan main-main.

Apa setan tua itu khawatir jika Aldrich melakukan sesuatu? Diam-diam Aldrich tertawa dalam hati karena merasa geli.

"Kau sudah datang?" tanya Jonathan saat pintu kaca itu terbuka secara otomatis.

"Apa kau buta? Aku berdiri di hadapanmu." Jonathan tersenyum tipis, menyadari bahwa Aldrich tidak berubah sama sekali. Anaknya itu tetap saja bersikap dingin dan ketus padanya.

"Duduklah, aku ingin berbicara padamu mengenai sesuatu." Aldrich duduk dengan malas-malasan di kursi yang ditunjuk.

"Mengapa kau memaksaku untuk datang ke tempat laknat ini? Dan berani-beraninya kau mengancamku mengenai sesuatu yang seharusnya tidak ada campur tanganmu." Jonathan malah terkekeh.

"Sopan sedikit jika berbicara dengan yang lebih tua, apalagi aku ini ayahmu." Aldrich berdecih. "Aku tidak sudi mengakuimu sebagai ayah."

"Terserahlah, aku tidak mengundangmu untuk membicarakan status keluarga." Aldrich mendengus. "Katakan saja apa tujuanmu mengundangku ke sini keparat."

"Baiklah." Jonathan menyodorkan sebuah kertas yang bertuliskan berbagai kalimat yang justru membuat Aldrich tertawa.

"Aku serius Aldrich Bale." Aldrich menggelengkan kepalanya. "Tapi aku tidak peduli sama sekali."

"Kembali bekerja denganmu? Jangan harap," lanjutnya.

"Seharusnya kau tersanjung mendapatkan kesempatan ini lagi," jawab Jonathan dengan suara tenang luar biasa. Sepertinya keluarga Bale memang memiliki bakat untuk menyembunyikan emosi.

My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang