Dave mengayunkan kakinya yang tidak menyentuh tanah, semilir angin malam terasa begitu menusuk kulit. Tetapi ia tidak peduli, rasa kesepian dan sendirian di hatinya jauh lebih menyakitkan.
Aldrich belum pulang walaupun malam sudah begitu larut, padahal ia sudah menunggu laki-laki itu sejak sore.
Aldrich adalah orang dengan kemungkinan terbesar yang akan membalas segala ocehannya, dibandingkan dengan yang lain Aldrich rasanya jauh lebih baik. Justin selalu berdiam diri di kamar dan sibuk dengan ponselnya, Lionel juga sibuk dengan ambisinya untuk menjadi yang terkuat dan mengalahkan Aldrich, saudara-saudaranya yang lain juga sama saja.
Dave membenci mereka, mereka egois.
"Apa yang kau lakukan di luar malam-malam begini?" Dave mendongak, memilih diam dan mengayunkan tubuhnya pada ayunan yang mulai berdecit.
Justin menyibak poninya yang panjang hingga mencapai matanya. "Menunggu seseorang? Aldrich?"
Justin ikut duduk di ayunan yang kosong di sebelah Dave, rambutnya yang panjang diikat tertiup angin. "Kenapa kau murung seperti itu?"
"Apa pedulimu?" balas Dave ketus.
"Biasanya kau mengoceh tidak berhenti dan sekarang malah diam, itu membuatku merasa aneh."
Dave memandang langit yang kelam, tidak terlalu banyak bintang terlihat di sana.
Justin terbatuk sesaat dan memeluk tubuhnya sendiri yang sebenarnya sudah memakai jaket hangat, hal itu membuat Dave mendelik. "Sudah tau penyakitan, mengapa malam-malam malah keluar rumah?"
Justin berdecak. "Aku merasa tersinggung jika disebut penyakitan."
"Tapi faktanya begitu."
"Tapi aku hanya memiliki satu penyakit saja."
Dave mengembuskan napas bosan, lalu tiba-tiba berteriak kesal. "Aku ingin keluar dari sini!"
"Mengapa ingin keluar dari sini? Di luar berbahaya untuk orang sepertimu."
"Lalu apa bedanya dengan di sini? Rumah ini sama saja dengan sebuah penjara." Dave berujar dengan napas sesak, matanya terasa panas dan siap meneteskan air mata kapan saja.
"Bahkan laki-laki tua sialan itu tidak membiarkanku pergi ke sekolah."
Justin kembali menyibak rambutnya tetapi kini dengan kening mengernyit. "Sebentar, memang berapa umurmu?"
"Delapan belas, dan aku belum pernah menginjakkan kakiku di sekolah menengah atas." Tangan Dave mencengkram kuat, mencoba menyalurkannya seluruh kekesalannya di sana.
"Kuharap Aldrich nanti mau membiarkanku sekolah."
"Apa?"
"Ayah kan sudah memperkenalkan Aldrich sebagai penerusnya, aku harap dia cepat-cepat mati dan digantikan Aldrich."
Mendengar itu, Justin malah terkekeh. "Semoga saja."
"Oh." Dave mendongak ketika mendengar suara deru mobil yang ia hapalkan dengan baik, itu mobil Aldrich. Oleh karenanya ia segera berlari dengan air mata yang belum mengering di pipinya, meninggalkan Justin yang hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dan benar saja, Aldrich sudah keluar dari mobilnya dengan wajah seperti biasanya. Selalu datar.
"Apa kau sudah bersenang-senang dengan kekasihmu?" Aldrich memandang Dave dengan alis naik sebelah.
"Apa?"
"Kau sudah bersenang-senang dengan kekasihmu?"
Aldrich memicingkan matanya. "Kau menangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Romance[ SUDAH TERBIT DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA • BEBERAPA CHAPTER TELAH DIUNPUBLISH ] Tentang kisah cinta yang tak biasa, tentang dua luka yang saling menyapa, tentang rasa yang tak pernah sudah. Dulu, Shin Yura menilai seseorang dari fisiknya. Du...