Yura terduduk, masih menatap Dave yang kini memegang bahunya sendiri, mencoba menghentikan darah yang terus menerus keluar.
Tubuh Yura terasa membeku, bahkan berkedip saja rasanya sulit sekali. Ingin membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu, tetapi apa daya lidahnya kelu. Seperti dalam mimpi, ketika ia ingin berteriak keras-keras tetapi yang ada mulut hanya bergerak tanpa terdengar seruan-seruan yang diinginkan.
"Da-Dave."
Dave menoleh dengan wajah yang mulai pucat. Yura kebingungan ketika ekspresi itu tidak terlihat kesakitan, walaupun sebelum Yura sudah menduga ini sebab ia tahu bahwa Dave adalah seorang masokis. Ekspresi itu tidak pula ketakutan, tetapi terlihat marah dengan rahang yang terkatup rapat.
"Jangan pedulikan aku, segera masuk dan telepon Aldrich." Dave berucap dengan wajahnya yang kini serius, tidak lagi kekanakan seperti biasanya.
Yura mengangguk, berdiri dengan lutut lemas dan bergetar menuju ke dalam apartemen. Sempat tersandung lalu jatuh, tetapi dengan segera ia bangun karena ingin cepat-cepat meminta bantuan.
Dave berpegangan dengan tangannya yang bebas pada terali di balkon, berdiri dan memandang ke arah di mana ia melihat si penembak tadi. Tetapi tidak terlihat siapa-siapa lagi, matanya yang awas hanya bisa menangkap pemandangan balkon yang gelap dan jendela yang tertutup.
Kemana orang sialan itu pergi?
Dave tahu, bahwa target penembakan bukanlah dirinya, melainkan Yura. Karena peluru itu pasti akan tepat mengenai Yura, bukan Dave yang tadi agak membungkuk ketika menukar posisinya.
Dave berdesis sebal karena orang itu pergi, lain kali ia tak akan membiarkannya lolos.
Dave mengabaikan rasa sakit yang melanda, kemarahan yang meluap-luap lebih menguasainya saat ini. Dibiarkan dengan baik sakit itu hingga menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Sial, pasti Dave sudah kekurangan darah.
Tapi ia tidak akan bisa ke rumah sakit, karena hal itu akan mengundang berbagai urusan yang tidak seharusnya diketahui polisi ataupun pihak rumah sakit. Seperti bagaimana Dave tertembak? Apa kira-kira alasan di baliknya atau segala hal lainnya.
Dave lemas, darah itu tak akan bisa dihentikan untuk terus keluar.
Tepat ketika hampir saja ia terduduk lagi, seseorang menahan tubuhnya dari belakang. Jelas bukan Yura karena perempuan itu pasti tidak akan berani ketika ada darah yang terus menerus keluar dari bahu Dave.
Dave menoleh, dan mendapati Charlie yang kini memapahnya ke dalam.
***
Yura masih menggigiti kukunya dengan gugup meskipun proses yang dianggap olehnya mengerikan sudah berlalu, yakni proses mengeluarkan peluru itu dari tubuh Dave.
Memang tidak terdengar rintihan sakit seseorang, tapi wajah Dave yang sepucat mayat membuat Yura sangat khawatir. Bagaimana jika ada yang terjadi pada Dave? Bagaimana jika peluru itu seharusnya mengenainya? Bagaimana jika ada kemungkinan tidak mengenakkan menimpa Dave?
Yura menelan salivanya kasar, tubuhnya menggigil walaupun tidak kedinginan. Sudah keburu kebal gara-gara tegang luar biasa. Melihat Dave yang berbaring di atas tempat tidur di kamarnya membuat dunia Yura serasa jungkir balik, rasanya sakit seperti melihat anggota keluarga dalam sebuah bahaya besar.
Aldrich memeluk Yura dari samping, bersikap menenangkan. Sesekali mengelus pundak dan punggung jika dirasa perlu. Mereka berdua bersandar pada dinding kamar yang polos dan berwarna putih.
Sedangkan Charlie, yang baru menyelesaikan pekerjaannya yakni mengeluarkan peluru dari Dave berkacak pinggang, memejamkan mata karena merasa lelah.
Dave sendiri menutup sebelah matanya selama beberapa saat, merupakan kebiasaan jika ia lelah dan mengantuk tetapi tidak ingin tertidur.
Yura menoleh, menatap Aldrich yang kini juga sedang menatap ke arahnya.
"Apa?" tanya laki-laki itu.
"Bagaimana keadaan Dave sekarang?"
Aldrich membawa Yura untuk duduk di kursi kayu kecil di sana. "Dave akan baik-baik saja, tidak usah khawatir seperti itu."
Tetapi tetap saja Yura tidak dapat tenang dan tetap merasa khawatir, bagaimanapun juga semua ini salahnya.
Kalau saja Dave tidak melindunginya, semua ini pasti tidak akan terjadi.
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri."
Yura mengangguk dengan enggan, lalu beralih menatap Charlie yang kini duduk di sisi tempat tidur dengan gurat lelah terlihat jelas di wajahnya yang tampan.
"Lalu ... bagaimana Charlie bisa begitu cepat datang ke sini?" tanya Yura, ia bingung mengapa baru beberapa saat ia menelepon Aldrich dengan terbata, Charlie sudah datang dengan segala peralatan yang diperlukan.
"Dia sekarang tinggal di apartemen ini."
Yura mengernyit, tidak mengerti. "Bukankah apartemen ini khusus perempuan?"
"Tidak, kalau iya maka Charlie bukanlah penghuni lantai dua."
"Mengapa dia sekarang tinggal di sini?"
"Rumah sakit tempatnya bekerja lebih dekat, lagipula dia juga bisa mengawasimu. Karena keadaan Dave tidak memungkinkan, untuk sekarang."
Yura menatap Dave yang sepertinya malah tertidur, wajah laki-laki kekanakan itu masih tampak pucat. Seakan seluruh darah telah disedot keluar.
"Kau tidak perlu khawatir, Shin Yura. Urusan ini akan segera usai."
"Aku pun berharap begitu," balas Yura lemah.
Charlie berdiri, melipat tangan di dada dan menghampiri Aldrich.
"Aldrich, aku lelah dengan semua ini. Bisakah masing-masing dari kita melakukan apa yang kita sukai? Aku tidak ingin lagi berurusan dengan urusan-urusan seperti ini."
Aldrich mendelik. "Kau pikir aku menyukai ini? Tidak, Charlie. Aku juga ingin keluar dari dunianya Jonathan. Apalagi jika hal ini sampai membahayakan orang yang kusayangi."
Charlie menyunggingkan senyum miring. "Aku ingin keluar saja dari perusahaan ini, persetan dengan segala konsekuensi yang harus kuhadapi. Mendapatkan senyuman seorang gadis kecil yang sudah kuobati jauh lebih baik dari setumpuk harta yang malah membuatku muak."
"Apa mudah bagi kita untuk keluar sepenuhnya? Kau pasti tahu Jonathan akan melakukan sesuatu jika itu terjadi."
"Karena itulah kita harus menemukan solusi yang terbaik."
"Apalagi orang ini." Aldrich berdesis marah, "berani-beraninya dia sampai ingin mencelakakan wanitaku."
Charlie mendesah pelan, sangat pelan. "Apakah Tuhan akan mengabulkan permintaan orang seperti kita? Jika iya, aku ingin semuanya segera berakhir, dan jika aku diberi kesempatan, aku ingin sebuah kehidupan yang tenang."
Aldrich menatap Dave lurus-lurus. "Apakah ada kesempatan sebesar itu untuk kita? Rasanya tidak."
Aldrich tersenyum pahit.
"Kurasa ... tentu, Tuhan selalu memaafkan jika kita berusaha bukan?"
Yura memilih diam karena tidak mengerti tentang topik apa yang sedang dibicarakan antara Aldrich dan Charlie. Sebab yang ia pikirkan sekarang adalah keselamatan mereka semua.
Sepertinya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, Yura masih harus bergelut dengan perasaan takut yang begitu menyiksa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Psychopath Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Romance[ SUDAH TERBIT DI SELURUH TOKO BUKU DI INDONESIA • BEBERAPA CHAPTER TELAH DIUNPUBLISH ] Tentang kisah cinta yang tak biasa, tentang dua luka yang saling menyapa, tentang rasa yang tak pernah sudah. Dulu, Shin Yura menilai seseorang dari fisiknya. Du...