Part3

2.3K 76 4
                                    

Aku masih menatapnya, dan dia balas menatapku. Tentu saja dengan kebingungan yang sama besarnya. Aku mulai bertanya-tanya apakah dia salah satu teman Roy? Tapi siapa? Aku tak pernah melihat dia bersama Roy selama ini. Aku juga tak melihatnya hadir di acara resepsiku waktu itu.

Aku kembali bertanya padanya, "siapa kau?". Sunyi untuk sementara waktu setelah pertanyaanku terlontar dan dia masih setia menatapku yang bersimpuh di dekat makam sedangkan leherku sudah mulai pegal menatapnya yang berdiri menjulang didepan ku. Akhirnya aku berdiri dan menepuk-nepuk pantatku dari tanah dan daun-daun kering yang menempel di pakaianku.

"Apa yang kau lakukan di depan makamnya?", aku hampir saja terjungkal karna ucapannya barusan. Tidak, dia tidak berteriak, bahkan suaranya bukan jenis suara yang sangat tinggi. Sungguh, bahkan suaranya tergolong lembut. Yang membutku terjungkal adalah deru nafasnya yang menyapu pelipisku ketika dia bersuara, sangat jelas sekali bahwa dia baru saja berbicara tepat di depan lubang telingaku.

"Maaf tuan, tolong berbicara dengan jarak yang normal saja. Karna aku bukannya tuli. Malah kau yang terindikasi tuli. Aku sudah bertanya dua kali padamu, siapa kau? Kenapa menatapku seperti itu? Dan apa yang kau perhatikan sedari tadi? Aku menyadari kau datang ke makam tapi ku kira kau akan mengunjungi makam lain dan bukannya menghampiri makam ini", nafasku tersengkal diakhir kalimatku karna banyaknya pertanyaan yang ku lontarkan sekaligus detak jantungku yang masih belum kembali normal.

Dia menyipitkan matanya membuatku semakin terintimidasi oleh mata hitam cemerlang itu. Ah sial, apa aku pergi saja? Mungkin dia teman Roy dari luar kota atau sejenisnya. "Kenapa pipimu?" Eh? Pertanyaan apa itu?

"Kenapa memangnya dengan pipiku" jawabku sinis. Yang benar saja, dia masih tak menjawab pertanyaanku

"Banyak jejak anak sungai disana. Kau menangisinya? Bahkan jika warna air matamu berubah jadi merah dan bola matamu herubah jadi hijaupun dia takkan bangkit lagi" wah itu kalimatnya yang paling panjang sedari tadi. Tunggu apa tadi yang dia katakan?

"Apasih sebenarnya yang ingin kau lakukan disini..." ucapku sambil mengapus jejak air mataku. Sialan!!! "Kau ingin mengunjungi makam Roy? Siapa kau? Aku tak pernah melihat Roy bersamamu sebelumnya"

"Aku bukan pasangan gay nya jika itu yang ingin kau tanyakan". Sempurna sangat sempurna. Mataku melotot tak percaya dengan kesimpulan aneh yang dia ucapkan dan mulutku tak bisa mengatup lagi.

"Itu bahkan bukan inti dari pertanyaanku" ucapku

"Aku Adelio Cetta" lagi. Engsel mulutku akan benar-benar tak berfungsi setelah ini. Akhirnya dia menjawab pertanyaan pertamaku dan tanpa melihat ku? Aku mengikuti arah tatapannya. Mata itu kini terkunci pada makam Roy begitupun dengan mataku.

Kami kembali terdiam dengan pemikiran masing-masing. Aku dengan pikiranku tentang siapa dia dan bagaimana bisa Roy berteman dengan manusia aneh seperti ini. Sedangkan dia? Aku tak tau apa yang sedang difikirkannya. Namun terlihat sekali tulang rahangnya mengeras. Tak tau rem mulutku entah kemana, dan bagaimana bisa aku bertanya padanya seakan-akan kami benar-benar dekat. "Kau juga merasakannya bukan? Bagaimana bisa dia pergi secepat itu".

Setelah mengucapkan kalimat itu, dengan masih menatapnya, alis mataku berkedut karna melihat senyum aneh terukir di bibirnya. Namun hanya sebenter, karena setelah itu dia malah menatapku kembali dingin. Kemudian dia melangkah pergi. Sebelum dia benar-benar jauh, dia berhenti sebentar "selamat atas pernikahanmu..." kemudian dia memutar kepalanya untuk melihatku, dan melanjutkan kalimatnya "apa kau bahagia?". Setelah menyelesaikan kalimatnya, diapun melangkah menjauh dan masuk ke dalam mobilnya.

Pertanyaannya membuatku limbung. Apa kau bahagia? Apa aku bahagia? Masih dengan memikirkan pertanyaannya, aku melangkah menjauh dari makam dengan kepala tertunduk.

"Kau bersama laki-laki lain tepat didepan makam adikku yang masih basah El?"

Your RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang