Ucapan dingin yang mengalun bersamaan hembusan angin sore itu benar-benar menamparku. Sejak kapan mas Lean ada di sana? Masih dengan pakaian formal kantorannya, dia berdiri dengan angkuh di depan mobilnya dan mulai berjalan ke arah mobilku. "Mas Lean.." hanya itu yang mampu aku ucapkan sambil berjalan menuju mobilku.
Melihat matanya membuatku sadar bahwa dia salah paham akan apa yang dilihatnya barusan. Dia terlihat.... marah? Wow, dia benar-benar menyayangimu Roy. "bagaimana bisa kau sudah bersama laki-laki lain disaat adikku bahkan belum membusuk dibawah sana!!" Bentaknya.
"Tunggu dulu mas Lean, kau salah paham.. aku-" bahkan aku tak sempat lagi melanjutkan kalimatku karna mas Lean sudah menyeretku masuk ke dalam mobilku sedangkan dia memposisikan badannya membungkuk menghadapku sambil memegang gagang pintu mobil.
"Dengarkan aku baik-baik Abigael. Tindakan gilamu barusan itu akan mencoreng mukaku. Apa kau tidak mengerti? Kau menantu keluarga Caesar, dan semua orang tahu kisahmu dengan adikku dan tragedi apa yang menyebabkan akhirnya kau menjadi istriku. Jadi sebaiknya jaga sikapmu sebelum aku yang memberimu pelajaran menjaga sikap." setelah mengatakan kalimat dinginnya sampai tuntas, mas Lean menegakkan badannya dan membanting pintu yang baru saja menjadi aksesnya memarahiku di dalam mobil.
Demi Tuhan, bahkan punggungku masih setegang aliran listrik walaupun mas Lean sudah menjalankan mobilnya menjauh dari mobilku. Perlahan aku bergerak membenarkan posisi dudukku dan melajukan mobil untuk pulang.
***
"Pelankan suaramu Ris, orang lain bisa mendengarmu. Tenanglah, semuanya sudah tertutupi tanpa perlu kau cemaskan lagi. Kau sendiri yang tahu, apa yang kita korbankan sekalipun bukan itu yang ingin kita lakukan" itu suara papa mertuaku yang berusaha menenangkan mama entah dari kesedihan model apa. Pikiranku masih buntu mengingat kemarahan mas Lean.
Aku memutuskan pulang kerumah berharap bisa menemukannya disini. Nyatanya tidak, aku tak menemukannya dimanapun dirumah ini. Kenapa dia semarah itu padaku padahal aku tak melakukan apapun. Bahkan aku tak bisa dikatakan benar-benar berbicara dengan orang itu. Ah, orang itu, Adelio Cetta. Nama yang sangat dingin dan pribadi orangnya pun sangat mendukung.
***
Di meja makan, aku melihat mama tengah duduk menunggu seluruh anggota keluarga untuk makan malam. Aku duduk tepat disamping mama. Aku memegang tangan mama dan bertanya, "mama baik-baik saja?" Maksud pertanyaanku adalah karna kejadian tadi sore ketika aku pulang. Bahkan sekarangpun mata mama masih sembab.
"Mama tidak apa-apa El" katanya sambil mengulas senyum. Namun senyum itu masih mencetak kesedihan yang terlalu kentara "mama hanya merindukan Roy" sambungnya masih dengan senyum yang sama.
Aku memusut punggung tangan mama dan berkata "mama tau, kita bisa berbagi kesedihan bukan? Jangan menangis sendiri. Menangis berdua akan lebih seru ma. mama terlihat seperti kodok dengan mata bengkak seperti itu tahu. Bagaimana kalau nanti kita kompres setelah makan ma?" Ucapku berlagak ceria.
Mama mungkin mengerti maksudku bukan hanya untuk menghiburnya tapi juga untuk menghibur diriku. Akhirnya mama bisa tersenyum dengan sewajarnya senyum. Siapa yang tidak terpukul ketika melihat kondisi mama sekarang karna mama merindukan anaknya.
Disaat kehangatan mulai membanjiri kembali meja makan, papa turun bersama dengan mas Lean. Seketika itu juga punggungku kembali tegang, pikiranku mulai berkelana pada masalah tadi sore. Apakah sedari tadi dia dirumah? Tapi aku tidak melihatnya. Bagaimana jika dia membahas kejadian tadi sore? Walaupun itu kesalah pahaman mas Lean, tapi bisa saja pikiran kedua mertuaku akan diracuninya juga bukan? Bagaimanapun dia anak kandungnya disini.
"El, makananmu alan lenyek jika kau aduk lebih lama lagi". Aku terperanjat mendengar suara papa mengingatkanku tentang makanan yang ada di depanku. Ya bagus, bahkan aku tak sadar mama sudah menghidangkan makanan didepan hidungku.
Aku melihat ke arah papa yang ada di posisi kepala meja, dan menggumamkan maaf. Papa mengangguk tanda memaklimi dan memulai makan malamnya kembali. Aku melirik ke arah mas Lean, dan dia acuh tak acuh dengan kejadian tadi. Bahkan dia masih asik dengan handphone ditangan kirinya dan sendok di tangan kanannya.
Apa-apaan dia. Bahkan papaku sendiri akan di getok sendok nasi oleh mama jika masih membawa pekerjaannya ke meja makan. Apa aku harus mengingatkannya? Tapi, jika dia malah menyemprotku bagaimana?
"Jangan memelototiku. Makan saja makananmu El". Sendokku seketika jatuh ke lantai dengan dramatisnya. Sialan. Dia benar-benar membuatku mati serangan jantung. Suaranya bahkan menggelegar seantero ruang makan. Semua mata menuju kearahku sekarang. Bagus sekali. Apa yang harus aku katakan?
"El, kenapa melihat Lin seperti itu?" Pertanyaan mama kepadaku sarat akan harapan. Aku bisa membedakannya, tidak ma. Tidak. Mama salah. Rasa itu tidak ada, belum ada, atau mungkin bahkan tidak akan pernah ada. Yang paati rasa itu masih sangat jauh dari jangkauan kami ma. Maafkan El.
"Tidak ma, hanya saja mas Lean terlihat sangat sibuk sampai-sampai mengangkat handphonenya tinggi sekali di meja makan" ucapku akhirnya sambil melirik mas Lean.
"Lin, tinggalkan pekerjaanmu itu di meja kerjamu. Meja makan adalah kerajaan mama, jangan sesekali bekerja disini Lin. Kamu jarang sekali makan malam bersama dirumah, sekalinya makan dirumah apa kamu akan meninggalkan kesan seperti ini Lin? Istrimu sampai mempelototimu tahu"
"El tidak melotot mama" sergahku
"Aku sedang melihat-lihat rumah ma. Dan sekarang aku sedang membelinya" ucap mas Lean sambil membalikkan handphonenya mengarah kepadaku dan mama hingga kami bisa melihat bahwa jempolnya sedang menyentul tombol buy.
dan sekarang aku benar-benar melotot. Ala maksudnya membeli rumah di keadaan seperti ini? Apa yang rusak dalam otaknya? Disfungsi mungkin? Membeli rumah disaat orangtuanya baru saja kehilangan satu anaknya, dan dia ingin pergi meninggalkan mereka juga?
"Untuk apa membeli rumah Lin, kenapa tidak tinggal disini saja? Kami akan semakin kesepian jika kau juga pindah dan membawa El bersamamu. Selama ini kai jaranh pulang dan memilih mendekam di kamar ruang keejamu di kantor mama tidak pernah masalahkan, karna kau pasti akan tetap pulang juga Lin. Pertimbangkanlah lagi Lin, apakau tega meninggalkan kami? Disaat seperti ini?"
Benarkan tebakanku? Lihat, mama mulai ingin menangis lagi. Teeimakasih kepada manusia dingin tak berperasaan yang mengalami disfingsi otak karna sudah membuat mama bersedih lagi ladahal tadi aku sudah susah payah membuat mama tersenyum lagi.
"Dengarkan dulu apa alasan Lin ma. Jangan menghakiminya seperti itu" sergah papa. Oh ayolah pa? "Jadi kenapa kau membeli rumah baru son?" Tanya papa seraya melayangkan pandangannya ke arah mas Lean
"Aku dan El membutuhkan waktu untuk saling mengenal satu dan lainnya. Aku dan El membutuhkan ruang yang lebih sempit pa, dan disini bukan tempatnya. Kami bersatu dengan cara yang tidak biasa, bahkan kami masih saling canggung. Bukan begitu El? " ujarnya sambil melayangkan pandangan kearahku. What? " jadi aku ingin memulai dari awal bersama El. Hanya berdua pa. Dari perhitunganku itu akan lebih efektif dari segi waktu dan jumlah pemikiran yang kami butuhkan tanpa campur tangan orang lain. Dan semua yang efektif pasti efisien pa" ujarnya panjang lebar.
Dan uang ku lihat sekarang adalah papa yang mengangguk-angguk setuju dan mama yang tersenyum bahagia. Bahkan lebih bahagia dari saat aku membujuknya tadi. Oh God. Percayalah, dia hanya akan menciptakan dunia awkward antara kami berdua nantinya. Aku melayangkan pandangan kearahnya, kau sedang dalam usaha mencekikku dengan tangan tak kasat mata mas Lean?? Dan dia menjawab dengan senyum miringnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/98078650-288-k542985.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Revenge
Romansa"Kesalahanku hanya satu. Membiarkan kau berbalik" ucap Lio sebelum melumat bibir El tanpa ampun. El sesak nafas. Bukan hanya karena efek terkejut, tapi juga karna tuntutan dari bibir yang tengah melumatnya untuk segera membalas lumatan tersebut. Pik...