Part 15

1.4K 46 2
                                    

Lio terpekur di kamarnya. Sedang merutuki tindakan semberononya barusan? Bukan. Ia hanya sedang mempertimbangkan akan mengambil ciuman lainnya dari El atau tidak, mengingat tamparan El masih sangat terasa di pipinya.

Setelah ciuman singkat itu berakhir, mendadak El menjadi patung menangis. Setelah beberapa saat bertahan dengan berdiri tegangnya, El mendadak mengangkat tangannya dan melayangkan sebuah tamparan di pipi Lio.

"Menyenangkan melihat matamu kebingungan mengartikan ciuman itu Aby" gumam Lio sambil kembali mengangkat tangannya ke bekas tamparan El, memusutnya singkat disana dan meringis.

"Tenaganya lumayan juga. Setidaknya aku yakin dia bisa melindungi anak-anaknya nanti. Tidak seperti dia" gumam Lio lagi sambil tersenyum membayangkan adik kesayangannya yang akan memasang muka sangar tiap kali dibanding-bandingkan dengan orang lain.

Teringat akan percakapan mereka sebelum insiden ciuman itu, membuat Lio kembali berlari mengambil Hpnya yang ditinggal diatas meja rias tadi ketika ia sibuk memperhatikan bekas tamparan El dipipinya.

Ia membuka S-plannernya, dan membatin ini sudah 2 bulan.

***

El masih saja menangis dikamarnya karena ciumannyang diberikan Lio kepadanya. Setelah tangisnya lumayan reda, akhirnya ia mengambil teleponnya dan mendial nomor Lin.

Setelah dering ke tiga, panggilanpun dianggat
"Kenapa El? Kukira kau lupa punya aku disini"

"Lin...." ucapnya sambil terisak

"Kau kenapa? Kenapa menangis? Lio tidak memberimu makan?" Tanya Lean dengan nada panik yang dibuat-buat. Bukan jahat, hanya saja Lean sudah kebal dengan tangis El hanya karena keinginannya tidak terpenuhi

"Dia memberiku makan kepiting cabe hijau tadi"

"Jadi kenapa kau menangis?"

"Lio menciumku"

Hening yang sangat panjang sebelum sebuah teriakan dari seberang telepon meyakinkan El bahwa Lean masih punya mulut diseberang sana "kunci kamarmu El. Aku akan segera kesana". Dan setelahnya telepon langaung terputus.

***

Lio menggedor pintu kamar El, mengingat wanita itu tidak keluar dari kamarnya setelah menutup pintu itu sejak 3 jam yang lalu. Yang dipikirkan Lio adalah dia tak ingin direpotkan dengan semua tumpukan makanan yang dibeli El disepanjang jalan ketika pulang tadi.

"Aby... kau harus menghabiskan jajananmu ini. Kau yang bilang tidak baik membuang uang”

Terdengar sahutan dari dalam kamar tak lama setelahnya. “Lin bilang aku harus mengunci pintuku”

“dan itu untuk apa?” tanya Lio tidak mengerti

“aku tidak tahu” jawab El lugas tanpa ragu. Lio memijit tulang hidungnya tak habis pikir dengan kelakuan El.

“baiklah, mari kita perjelas. Apa kau lapar?” tanya Lio sabar

“sedikit....” cicit El dari dalam kamar

“apa kau ingin jajananmu masuk kedalam perutmu atau aku masukkan kedalam tong sampah?”

“tentu saja masuk kedalam mulutku” teriak El murka. “jangan berani-beraninya membuang makanan ke tong sampah”

“Good.. jadi kau tahu bukan apa yang harus kau lakukan sekarang?”

“makan”

“tepat. Jadi buka pintunya sekarang”

“kau bisa mengantarkan makanan itu kedalam kamar kan?”

“aku bukan pembantumu Aby. Keluar dan ambil sendiri. Aku ada urusan diluar” ucap Lio kemudian pergi meninggalkan pintu kamar El yang menjadi pembatas antara dirinya dan wanita itu.

Di dalam kamar, El mengelus-elus perutnya merasakan lapar mendera. “tapi Lin bilang harus mengunci pintu..” kemudian ia tersenyum dan bergumam lagi “aku bisa mengunci pintu setelah aku keluar dari kamar. Tepat sekali” dan ia langsung merealisasikan gumamannya.

Keluar dari kamarnya, ia mendapati semua jajanannya ada di atas meja makan. Melihat ke sekitar, El menyadari ia tinggal sendiri sekarang. sang pemilik rumah rupanya benar-benar pergi. Akhirnya El menikmati makanannya sendiri hingga tandas.

“porsi makanku sangat aneh” gumamnya setelah melihat sampah jajanannya yang banyak.

Mengedikkan bahu ia kembali bergumam “mm lagipula Lin tidak akan tertarik padaku mau bagaimanapun aku menjaga bobot tubuh. Ck, kenapa tadi dia tiba-tiba menutup telepon begitu saja? Tidak sopan seperti biasa”

Seperti mengingat sesuatu, El mencelat dari kursinya dan pergi berlari ke kamarnya untuk mengambil kembali ponselnya. “dasar maniak sex itu. Pasti dia membawa wanita lagi kerumah” ujarnya sambil mencoba mendial nomor Lin.

Ketika sambungan itu diangkat langsung saja El melemparkan sumpah serapahnya bertubi-tubi. “dasar Lin sialan. Suami bajingan. Kau kira apa yang kau lakukan ? kau membawa wanita lagi kerumah? Kapan kau akan berhenti melakukannya? Dengan sengaja kau menendangku ke Kalimantan hannya untuk ini?”

“astaga El. bernafas dan bicara dengan wajar. Aku sedang dalam perjalanan menuju bandara” jelas Lean kalem

“bandara? Kau ingin kemana?” tanya El bingung

“tentu saja ke Kalimantan” hening yang sangat lama sebelum kemudian Lean kembali angkat bicara “dan dimana kau sekarang?”

Tersadar dari pikirannya, El menjawab “tentu saja dirumah Lio”

“di dalam kamar?”

“iya. Ponselku ketinggalan dikamar, jadi aku berlari ke kamar barusan”

“kau dari luar?”

“habis makan”

“bukankah tadi aku menyuruhmu mengunci pintu?”

“sudah ku lakukan”

“dan kenapa kau malah keluar? Aku menyuruhmu mengunci pintu supaya kau bisa aman dari serangan kedua Lio”

“aku lapar Lin, dan Lio bilang dia akan membuang jajananku ke tong sampah. Lagian apa sih yang sedang kau bicarakan? Serangan kedua apa?” tanya El gagal paham

“ya Tuhaan.. bagaimana bisa Roy mencintai wanita idiot sepertimu”

“aku tidak idiot. Kau saja yang tidak bisa berbicara” balas El

“dimana Lio?” tanya Lean lagi

“sedang keluar ada urusan katanya”

“kau dibelikan jajanan seberapa banyak sampai kau rela keluar kamar hanya demi makanan?”

“sangat banyak. Satu meja makan, dan aku sudah menghabiskannya”

“apa Lio berperilaku baik padamu? Minus kejadian dia menciummu tadi”

“dia baik, tapi menyebalkan”

“astagaa.. sebenarnya apa yang aku lakukan” desah Lean frustasi. Kemudian terdengar lagi suara Lean berbicara namun bukan kepada El “pak putar balik, saya gak jadi ke bandaranya

“loh kok gak jadi?”

“El coba jelaskan padaku, apa yang terjadi sebelum Lio menciummu”

“eh? Berujung kemana sebenarnya pertanyaanmu ini?” tanya El lagi

“jawab saja”

“em... aku berkata bahwa aku menyukai matanya, lalu aku biang aku ingin anakku mempunyai mata seperti miliknya. Kemudian dia menawarkanku untuk membuat anak bersama”

“idiot!!!” sentak Lean dari ujung telepon. Dan sambungan terputus.

Tersentak, El balas memaki ponselnya sendiri “kau yang idiot bajingan. Apa salahku kalau aku menyukai mata gelapnya. Dasar”

El berjalan keluar sambil menghentakkan kakinya dan menggerutu. Saat menuruni tangga, El melihat Lio sudah pulang dengan berkantong-kantong belanjaan.
“ku kira kau punya urusan diluar. Ternyata pergi belanja?” tanya El santai

“ini milikmu. Dan semua ini ku potong dari gaji pertamamu. Kau akan mulai bekerja besok” ucapnya menjelaskan perihal kantong belanjaan ditangannya itu yang sesang beralih tangan pada El.

“siapa yang meminta kau untuk membelikanku pakaian?” tanya El saat melihat isi kantong-kantong belanjaan itu

“jadi kau ingin memakai kemejaku setiap hari?” tanya Lio balik kemudian menaiki tangga dan masuk ke kamarnya.

El masih sibuk memerikasa satu persatu isi tas belanjaan itu dan bergumam “uh.. oh.. seleranya bagus”

Tak lama El kembali berseru karena mendapati satu kantong belanjaan berisi dalamannya “kau tidak malu memilih dalaman wanita? Kenapa tidak mengajakku sajaaa...” tanya El dari lantai bawah yang tentu saja tidak mendapat balasan.


***

Your RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang