Dinginnya malam di kota Seoul sukses membuat siapapun yang melintasi jalanan dapat merasakan desirannya seketika, terutama mereka yang tidak terlalu kuat dengan cuaca dingin. Suara klakson kendaraan beroda empat, maupun beroda dua yang memadati jalan memenuhi gendang telinga.
Gadis itu merasa tubuhnya kembali membeku, dan pendengarannya mendengung tidak jelas. Ia masih pada posisinya, sambil menutupi bibir. Pipi yang telah basah dan make up yang sedikit luntur karena buliran air mata yang terus mengalir dan tidak mampu dibendung.
Bibirnya mendadak terasa kelu, tidak sanggup mengucapkan barang satu katapun sejak apa yang baru saja terjadi padanya beberapa menit lalu. Pandangan matanya memburam seiring air mata menutup akses pengelihatan, dan ia benci dengan kenyataan kalau dia menangis. Dia sendiri tidak mengerti kenapa berakhir mengeluarkan air mata dan emosi yang tidak bisa dikontrol.
Ia susah payah membuka suara, tapi rasanya terlampau sulit. Dengan mengumpulkan sisa tenaga yang dimiliki, bibirnya yang bergetar hebat akhirnya angkat bicara. "Kenapa—kau melakukannya?" Dia terbata. Tidak sepenuhnya mampu berbicara dengan pelafalan yang baik.
Berat. Sungguh. Dia seperti orang bodoh sekarang. Tidak pula mengerti kenapa ia gugup. Dan juga tidak paham dengan respon reflek yang diberikannya tadi—kenapa dia membalas ciuman pria itu. Dia melangkah mundur, menjauhi pria itu. Seharusnya dia senang orang yang disukai menciumnya untuk pertama kali.
Tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan?
Jimin menatap kosong ke arahnya, sama-sama mematung melihat gadis itu terus menjauh darinya. Tapi di dalam libuk hati, dia tidak bisa untuk tidak mengutuk diri sendiri. Kenapa? Kenapa dia melakukannya? Dia sendiri masih mencari tahu sejak tadi. Perasaan ingin sekali menggapai gadis itu pasti ada, tapi dia sadar bahwa rasanya untuk meraih helai rambutnya saja terlalu sulit.
"Dan—kenapa kau meminta maaf sebelumnya?" Suara gadis itu terdengar serak, terlihat sekali kalau dia susah payah mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Bahkan suaranya nyaris tidak terdengar dengan jelas.
"Maaf, Jung. Aku—" Barangkali hanya kalimat maaf yang bisa Jimin lontarkan disaat dirinya belum sanggup menemukan jawaban atas perbuatannya sendiri.
Gadis itu merengkuh diri sendiri, dan hal itu sukses membuat Park Jimin menyadari. Terlihat pria itu segera melepas jasnya, kemudian memasangkan dengn hati-hati pada tubuh Hyejung yang kurus. "Maaf telah membuatmu kedinginan." Sekali lagi dia mengucapkan maaf.
Hyejung menggeleng, perlahan melepas jas itu dan memberikannya kembali pada si pemilik. Tidak tahu kenapa dia merasa sangat tidak pantas untuk memakainya. Dia meraih tangan Jimin, menggantungkan jas itu pada telapak tangannya karena sejak tadi Jimin bahkan terlihat enggan untuk menerimanya kembali. "Seharusnya kau berikan ini pada Seulgi, bukan padaku."
"Kau temanku, Jung. Apa salahnya? Bahkan kau lebih berarti." Jimin mendesis, mendadak tidak mengerti kenapa dia berkata seperti itu. Tidakkah ucapannya bisa saja membuat salah paham?
Hyejung menatap tanah, kemudian memandang high heels-nya dan sepatu hitam pria di hadapannya secara bergantian. Jarak mereka bahkan hanya sekitar dua jengkal. Sedangkan Jimin, maniknya terus menatap Hyejung dengan penuh penyesalan. Ya, dia sangat menyesal.
"Jika aku memang temanmu, kau tidak akan melakukannya." Gadis itu berkata, membela diri.
Benar, kalau Jimin memang temannya, dia tidak seharusnya melakukan itu. Lantas Jimin meraih dagu runcing gadis itu. Ia mengangkatnya sedikit agar bisa menatap mata indah itu lebih jelas. Dia yakin, gadis itu akan menangis lagi. "Maafkan aku, Jung. Aku tidak bermaksud—aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Alasanku mungkin tidak masuk akal, tapi aku terbawa suasana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Still | PJM
Fanfiction[COMPLETED] Persahabatan antara seorang pria dan wanita tidak ada yang abadi, sama halnya dengan kisah mereka. Berjuang untuk sekedar bertahan, atau bahkan memilih untuk menyerah. Sikap Jimin yang sulit ditebak, sampai cinta sebelah pihak Hyejung y...