❝ Dear Jimin, aku tidak mengerti apa yang kau inginkan saat ini. Tapi kau membuat posisiku terhadap posisinya menjadi sulit. Dan aku tahu satu-satunya pihak yang bermasalah adalah aku. ❞
Hyejung akhirnya bisa melangkah lebih baik, setidaknya tidak lagi tertatih susah payah. Luka di lututnya sudah diobati, tapi tidak dengan luka di hatinya. Luka yang satu itu malah semakin membesar. Dia berjalan hati-hati menuju rumahnya, dengan mengeratkan genggaman pada tali tas ransel, langkahnya seketika berubah tergesa-gesa.
Di tengah perjalanannya, mendadak dia merasa sesak di dada, membuatnya tidak sanggup lagi untuk melangkah. Ia akhirnya berhenti dan berjongkok sebentar. Mengepalkan tangan, siap untuk memukul dadanya. Menurutnya itu merupakan salah satu cara untuk mengurangi rasa sesak. Ia memukul sekuat tenaga, tidak peduli seberapa sakitnya. Hyejung hanya ingin sesaknya lekas hilang. Kalau bisa selamanya.
Bunyinya terdengar menggebu-gebu, tapi di tengah kegiatannya, tangannya terasa mulai lemas tidak bertenaga lagi. Mungkin dia terlalu kencang sehingga menguras tenaganya. Meski begitu, dia tidak ingin mengurangi pukulan pada dadanya. Sampai ada sebuah tangan mencegah pukulan itu. Tangan kasar tersebut mencengkram salah satu pergelangan tangannya.
Hyejung menatap ke arah kaki dan sepatunya, karena hanya itu yang bisa ia lihat sekarang. Itu sepatu pria, dan tidak asing lagi. Tanpa berpikir banyak, dia tahu jelas siapa pemiliknya. Beberapa menit terdiam, pria itu ikut berjongkok, lantas menyamakan posisinya dengan Hyejung agar bisa melihat wajahnya lebih jelas.
Tatapan mata mereka bertemu saat Hyejung mulai membalas tatapannya. Entah matanya salah lihat karena minim penerangan atau tidak, tapi Hyejung dapat melihat mata pria itu memerah. Sepertinya habis menangis atau mungkin dia merasa terbebani dengan stress. Antara dua hal itu yang ia tebak.
Melihat wajahnya membuat Hyejung kembali teringat dengan beberapa menit yang lalu, sebelum ia ada di tempat sekarang, berjongkok bersama pria itu.
**
Flashback.
"Terimakasih, Seulgi. Aku akan benar-benar jatuh jika tidak ada dirimu." Ujar Hyejung sopan, sambil memberi sedikit senyuman.
"Tidak masalah, omong-omong, bisa kita bicara?" Gadis itu menuntun Hyejung ke kursi yang tidak jauh dari pandangan.
Meski awalnya Hyejung ragu, ia akhirnya memutuskan untuk mengikuti. Ia penasaran apa yang gadis itu inginkan. "Kenapa kau bisa ada di sekitar sini dan berkeliaran di malam hari?"
Seulgi yang berhasil membuat Hyejung duduk tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Plester dan satu kotak tissue. "Pertama-tama, ayo bersihkan dulu lukamu, baru bertanya."
Gadis itu mulai mengambil posisi jongkok tepat di hadapan kedua lutut Hyejung. Dengan telaten dan tanpa persetujuan dari Hyejung, ia membersihkan lukanya dengan tissue. Sedangkan untuk darah yang mengering, ia menuangkan air dari botol minum yang ia bawa di tasnya. Bagi Hyejung situasi ini terlalu canggung. Bagaimana bisa gadis itu melakukannya seolah mereka dekat?
Dan apa yang dilakukan Seulgi ini sangat di luar dugaan.
"Kenapa kau bisa seperti ini?" Tanya Seulgi sembari terus membersihkan.
"Sebetulnya kau tidak perlu melakukan ini padaku." Hyejung akan mengambil tissue itu dari tangan Seulgi, tapi gadis itu secepat mungkin menghindar.
Dia terkekeh, "Sepertinya jawaban atas pertanyaanku tadi bukan itu."
Ragu, tapi Hyejung akhirnya hanya diam. Sedangkan gadis itu mulai membuka bungkus plester. "Aku tidak sengaja terselengkat ranting pohon." Ujarnya pelan, tentu saja Hyejung berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Still | PJM
Fanfic[COMPLETED] Persahabatan antara seorang pria dan wanita tidak ada yang abadi, sama halnya dengan kisah mereka. Berjuang untuk sekedar bertahan, atau bahkan memilih untuk menyerah. Sikap Jimin yang sulit ditebak, sampai cinta sebelah pihak Hyejung y...